Menu Close

Tak siap menghadapi hari Senin? Coba bajak otakmu

Memikirkan hari Senin kadang membuat kita stres. Rachata Teyparsit/shutterstock

Jika kamu benci hari Senin, kamu tak sendirian.

Setelah beberapa hari libur kerja, banyak dari kita yang mengalami kesulitan untuk kembali ke rutinitas dan tanggung jawab pekerjaan. Bahkan, kamu bisa mengalami ketakutan dan kecemasan pada akhir pekan, biasa kita kenal dengan sebutan “Sunday scaries”.

Kamu mungkin tak selalu bisa mengubah jadwal atau tuntutan kerjamu agar membuat hari Seninmu lebih menyenangkan, tetapi kamu dapat “memprogram ulang” otakmu untuk bisa melihat minggumu secara berbeda.

Sebab otak kita menyukai prediktabilitas dan rutinitas. Riset menunjukkan bahwa kurangnya rutinitas terhubung dengan penurunan kesejehateraan dan tekanan psikologis. Meskipun akhir pekan lekat dengan waktu yang santai dan menyenangkan, otak kita sebetulnya bekerja keras untuk menyesuaikan dengan perubahan rutinitas yang tiba-tiba ini.

Kabar baiknya, otak kita tak butuh terlalu banyak usaha untuk menyesuaikan dengan kebebasan dan kurangnya rutinitas pada akhir pekan. Namun, beda masalahnya ketika kita kembali ke aktivitas yang kurang menyenangkan, seperti menggarap hal-hal yang harus dikerjakan pada Senin pagi.

Salah satu cara untuk menyesuaikan dengan perubahan setelah lewatnya akhir pekan adalah mengenalkan rutinitas yang bertahan sepanjang minggu dan mampu membuat hidup kita lebih bermakna. Bisa saja ini termasuk menonton acara TV favoritmu, berkebun atau pergi ke gym. Akan sangat membantu untuk melakukan hal-hal ini pada jam yang sama setiap harinya.

Rutinitas meningkatkan rasa koherensi, suatu proses yang membuat kita memahami teka-teki peristiwa-peristiwa yang terjadi di kehidupan. Ketika kita sudah menetapkan rutinitas, entah itu bekerja lima hari dalam seminggu dan mengambil dua hari libur atau terlibat dalam serangkaian aktivitas tiap harinya, hidup kita lebih bermakna.

Rutinitas penting lain yang perlu diterapkan adalah rutinitas tidur. Studi menunjukkan bahwa untuk bisa menikmati hari Senin, waktu tidur yang konsisten bisa jadi sama pentingnya dengan berapa lama kamu tidur atau kualitas tidurmu.

Perubahan dalam pola tidur dapat menimbulkan “jetlag sosial”. Sebagai contoh, tidur telat dari biasanya dan lebih lama saat hari libur dapat menimbulkan ketidaksesuaian antara jam tubuh dan tanggung jawab sosial. Ini berkaitan dengan tingkat stres yang lebih tinggi pada Senin pagi.

Cobalah untuk menetapkan waktu tidur dan bangun, serta hindari tidur siang. Kamu mungkin juga bisa membuat rutinitas “istirahat” selama 30 menit sebelum tidur, dengan mematikan atau menyimpan perangkat digitalmu dan mempraktikkan teknik relaksasi.

Membajak hormonmu

Hormon juga dapat memainkan peranan untuk menentukan apa yang kita rasakan tentang hari Senin.

Kortisol, misalnya, adalah hormon multifungsi yang penting. Hormon ini membantu–di antaranya–mengontrol metabolisme, mengatur siklus tidur-bangun, dan respons kita terhadap stres. Hormon ini biasanya dilepaskan sejam sebelum kita bangun tidur (ia membantu kita untuk merasa terbangun) dan terus menurun hingga keesokan paginya, kecuali jika kita berada di bawah tekanan.

Ketika mengalami stres akut, tubuh kita tak hanya melepaskan kortisol tapi juga adrenalin sebagai persiapan untuk “perang” atau “kabur”. Ketika ini terjadi, jantung kita akan berdebar kencang, telapak tangan kita berkeringat, dan kita bisa saja bertindak impulsif.

Ini adalah saat ketika amygdala kita (area kecil berbentuk almond di dasar otak kita) membajak otak kita. Hal ini menciptakan respons emosional yang sangat cepat terhadap stres, bahkan sebelum otak kita bisa memproses dan memikirkan apakah respons ini diperlukan.

Namun, jika tak ada ancaman nyata, respons ini akan dimitigasi begitu kita bisa berpikir–mengaktifkan korteks prefrontal kita yang bertanggung jawab terhadap kemampuan nalar dan eksekusi. Ini adalah perang konstan antara emosi dan logika kita, dan membuat kita terbangun tengah malam ketika kita terlalu stres atau cemas.

Tak heran jika level kortisol kita, yang diukur lewat sampel ludah para pekerja penuh waktu, cenderung lebih tinggi pada hari Senin dan Selasa, dengan level terendah tercatat pada hari Minggu.

Sebagai hormon yang berkaitan dengan stres, kortisol berfluktuasi tiap hari, tetapi tidak secara konsisten. Pada hari kerja, begitu kita bangun, level kortisol kita menjulang dan variasinya cenderung lebih tinggi ketimbang pada akhir pekan.

Untuk melawan ini, kita perlu mengakali amygdala kita dengan melatih otak kita untuk hanya menyadari ancaman-ancaman nyata saja. Dengan kata lain, kita perlu mengaktifkan korteks prefrontal kita secepat mungkin.

A young office worker with short hair and glasses wearing a green button up shirt sits at their desk with their eyes closed and airpods in, meditating with their hands in a meditation position, forefingers touching thumbs
Ambil waktu sejenak dalam harimu untuk meregulasi level kortisolmu. Krakenimages.com/Shutterstock

Salah satu cara terbaik untuk mencapai hal ini dan menurunkan stresmu adalah dengan aktivitas relaksasi, terutama pada hari Senin. Misalnya dengan mempraktikan “mindfulness” (kesadaran penuh), yang diasosiasikan dengan penurunan kortisol. Menghabiskan waktu di alam adalah salah satu metodenya–keluar rumah begitu Senin dimulai atau ketika jam makan siangmu dapat membuat perubahan signifikan terhadap bagaimana kamu melihat awal minggumu.

Beri jeda waktu sebelum kamu mengecek ponselmu, media sosial atau berita. Ada baiknya menunggu puncak kortisol menurun secara alami, yang terjadi kira-kira satu jam setelah bangun tidur, sebelum kamu terpapar stresor eksternal.

Dengan mengikuti tip sederhana ini, kamu dapat melatih otakmu untuk percaya bahwa hari kerja bisa (hampir) sebaik akhir pekan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now