Menu Close

Tanpa HAM tidak ada legitimasi melawan terorisme di Indonesia

Bayangan seorang tentara berjaga di depan salah gereja yang diserang oleh teroris Minggu lalu. Fully Handoko/EPA

Rentetan peristiwa terorisme belakangan membuka kembali perbincangan yang sama sekali tidak baru. Namun, ini kerap muncul ketika peristiwa terorisme meluap. Dengan nada “marah”, banyak kalangan menuding hak asasi manusia (HAM) tak relevan diperbincangkan pada kasus terorisme.

Tidak hanya isu soal agama dan komunisme, isu HAM pun kerapkali kesannya menjadi komoditas politik.

Kita dapat mengunjungi kembali apa yang terjadi pada kontestasi pemilihan umum (pemilu) 2014. Kala itu, salah satu narasi dominan yang dibangun oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah perlindungan hak asasi manusia. Narasi ini yang kemudian mereka tuangkan dalam prioritas visi-misi: Nawacita.

Joko Widodo mengangkat isu HAM sebagai salah satu platform kampanye pemilihan presiden pada 2014. Bagus Indahono/EPA

Narasi hak asasi manusia juga dipakai untuk “menyerang” pasangan calon lain. Frasa pelanggar HAM melekat dan sedikit banyak berpengaruh pada elektabilitas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Bahkan secara langsung dan terbuka, pertanyaan soal pelanggaran HAM diangkat pada debat calon presiden-wakil presiden.

Selang dua bulan setelah menang pemilu, Tim Transisi Presiden melalui Sekretaris Kabinet saat itu, Andi Widjojanto, menyatakan tidak ada HAM dalam agenda prioritas Presiden. Pernyataan itu mengejutkan bukan hanya karena disampaikan dalam waktu sangat dekat dengan terpilihnya Presiden Joko Widodo, tetapi juga karena drastisnya perubahan sikap pemerintah.

Minggu ini, hampir empat tahun kemudian, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menyampaikan secara publik untuk menyingkirkan HAM dan mengutamakan keamanan dan stabilitas. Ia mengeluarkan pernyataan ini dalam rangka mendukung percepatan pembahasan RUU Terorisme di DPR.

Pernyataan Tjahjo keluar hampir bersamaan dengan keterangan pers yang diedarkan oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo. Politikus asal Partai Golkar (partai pendukung pemerintah) itu menyatakan bahwa penyelamatan bangsa dan negara harus diutamakan. “Kepolisian tidak perlu takut melanggar HAM karena HAM nanti bisa dibahas belakangan”, kata Bambang dalam keterangan persnya.

Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara dan bagian dari elite politik yang mendukung pemerintah Joko Widodo, sebelumnya juga menyampaikan pernyataan dengan muatan sama. Dengan nada yang lebih keras, ia bahkan menyerukan untuk “menyingkirkan semua bualan soal HAM teroris.”

Selain elite politik yang menyampaikan soal pengesampingan (kalau tidak ingin disebut penyingkiran) HAM, gagas pikir demikian juga merambat di beberapa pegiat sosial—baik disampaikan secara diam-diam maupun terbuka di ruang publik maupun grup-grup percakapan virtual.

Di tengah arus pendapat demikian, muncul pertanyaan mendasar: apakah kita mengerti soal HAM?

Apa itu HAM?

Hak asasi manusia adalah sejumlah hak yang melekat, penuh, dan tidak bisa direnggut dari seorang manusia karena ia dihargai sebagai manusia. Hak-hak ini dijamin dalam hukum internasional dan hukum Indonesia sebagai tameng pelindung dari segala bentuk kesewenang-wenangan—baik kesewenang-wenangan dari otoritas negara maupun individu, kelompok, atau korporasi. Maka, negara, dengan berbagai aparaturnya, wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia warga negara.

Namun, dalam konteks pembicaraan HAM pada kasus terorisme saat ini, HAM tampaknya direferensikan bukan sebagai jaminan perlindungan. Secara sangat sempit, HAM bahkan dikerdilkan menjadi sebatas soal apakah teroris dapat ditembak mati atau tidak. HAM yang harusnya dimaknai sebagai perlindungan bagi warga negara seakan-akan berubah menjadi penghalang dalam pemenuhan perlindungan itu sendiri.

Pahadal, melekatnya HAM pada manusia bermakna HAM tak bisa dilepaskan bahkan dalam konteks kasus terorisme. Dalam kasus-kasus terorisme, hak asasi manusia dibunuh dan gugur berkali-kali. HAM direnggut ketika teroris mencabut hak hidup korban secara sewenang-wenang. Sama halnya dengan hak hidup pelaku yang juga tercerabut dalam kondisi ia ditembak mati oleh aparat. Hak hidup sebagai bagian paling fundamental dari HAM sama-sama dalam posisi terenggut. Pada akhirnya, baik HAM pelaku, HAM korban, maupun HAM orang lain (hak atas rasa aman) menjadi hilang.

HAM juga dilanggar ketika rasa aman (keselamatan) publik terganggu. Hak atas rasa aman adalah bagian dari HAM. Oleh karena itu, upaya untuk membenturkan keselamatan publik dengan HAM adalah posisi yang ambivalen.

Apabila kita menepis HAM dalam konteks terorisme, maka apa dasar pemenuhan hak kepada korban? Hak atas remedi berupa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi merupakan HAM. Wacana pengesampingan HAM dalam kasus terorisme pada akhirnya dapat mencabut pemenuhan terhadap hak orang yang lain.

Mengesampingkan HAM berarti kita memposisikan negara untuk melawan terorisme tanpa adanya legitimasi HAM berupa jaminan perlindungan warga negara akan tetap dihormati. Jadi, apakah benar kita ingin fatalis dan menyingkirkan HAM dalam kasus terorisme?

Bandul keseimbangan

Menghargai hak seorang manusia dan menyandingkannya dengan perlindungan hak orang lain tidaklah sederhana.

Secara global, wacana pengesampingan HAM ini pernah muncul pasca serangan 9/11 yang mengejutkan. Presiden Amerika Serikat kala itu, George W. Bush, dalam pernyatannya pada 16 September 2001, menyatakan perang terhadap teror. Penggunaan istilah war on terror ini kemudian menjadi slogan kampanye dan program militer secara global untuk memberantas terorisme dengan pendekatan perang.

George W. Bush ketika menjabat Presiden AS. EPA/Shawn Thew

Presiden George W. Bush pada saat itu kemudian membingkai kampanye dengan dikotomi “with us or against us”. Ia memposisikan pihak yang tidak setuju dengan pendekatan perang terhadap teror artinya melawan atau tidak setuju dengan upaya pemberantasan terorisme.

Padahal posisinya tidak selalu dikotomis seperti itu. Menolak pendekatan perang dan keterlibatan militer dalam pemberantasan terorisme tidak sama dengan setuju dengan terorisme. Sebaliknya yang dituntut adalah mekanisme akuntabilitas terhadap penggunaan kekuasaan negara atas nama publik.

Pendekatan perang yang dilakukan Amerika Serikat ini berujung pada ditenggarainya praktik penyiksaan, penangkapan tidak sah, tindakan mematai-matai publik secara tidak wajar, dan hingga jatuhnya korban yang tidak bersalah.

Praktik ini berujung ketidakpercayaan terus-menerus karena pendekatan perang itu tidak membuka jalan bagi mekanisme akuntabilitas.

Ketidakpercayaan ini yang memaksa Presiden Amerika Serikat berikutnya Barack Obama, menutup program War on Terror pada 23 Mei 2013. Namun, penutupan masih menyisakan persoalan dan ketidakpercayaan dengan wacana penolakan Gina Haspel sebagai Direktur CIA belakangan ini. Ia dituduh terlibat dan mendalangi penyiksaan terhadap Abu Zubaydah dan Abd al-Rahim al-Nashiri pada medio 2002.

Dari sisi efektivitas, pendekatan perang ini juga tidak menutup serangan terorisme yang dilakukan secara terbuka. Bahkan ditengarai jaringan terorisme berubah menjadi jaringan klandestin (bawah tanah) yang bisa meledak sewaktu-waktu karena salah satunya faktor kemarahan terhadap pendekatan perang yang dilakukan rezim Bush di masa lalu.

Bahkan yang mencengangkan adalah apa yang terjadi di Filipina. Pendekatan perang yang dilakukan terhadap terorisme justru menunjukkan intensitas serangan terorisme berada pada angka yang cukup tinggi. Presiden Rodrigo Duterte yang melanjutkan pendekatan militer dari terdahulunya, memulai perang “Battle of Marawi” pada 2017 dengan dasar penumpasan teroris yang menyerang Kota Davao setahun sebelumnya. Tidak luput, Presiden Duterte juga menambahkan dua organisasi yaitu Communist Party dan New People’s Army dalam daftar organisasi teroris.

Pada 2016, ada 633 serangan teroris di Filipina. Pada 2017, serangan terorisme di Filipina tidak menunjukkan penurunan signifikan apalagi terselesaikan. Bahkan Global Index pada 2017 menempatkan Filipina dalam peringkat 12 negara paling terdampak dengan terorisme.

Contoh di AS dan Filipina menunjukkan bahwa selain tidak efektif, ada salah satu hak asasi manusia yang diabaikan, yaitu hak atas rasa aman publik.

Penegakan hukum yang efektif

Di Indonesia, terorisme dikategorikan sebagai tindak pidana, maka respons terhadap terorisme harus melalui sistem peradilan pidana. Aktor penindaknya adalah penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. TNI (militer) bukanlah institusi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.

Kunci bandul keseimbangan antara penegakan hukum yang efektif dengan perlindungan HAM berada pada mekanisme akuntabilitas penegakan hukum. Perlunya akuntabilitas dalam penegakan hukum disandarkan pada dua hal mendasar.

Pertama, legitimasi penegakan hukum untuk melindungi publik dari ancaman terorisme diperoleh dari prinsip-prinsip HAM.

Kedua, institusi yang bertugas mengatasi kejahatan terorisme juga menjalankan tugas penegakan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Kepolisian, misalnya, tidak hanya bertugas menangani terorisme tetapi juga tindak pidana pencurian bahkan sampai pelanggaran lalu lintas.

Apabila HAM disingkirkan, apa legitimasi penegakan hukum kepolisian dan apa jaminan perlindungan publik dari tindakan sewenang-wenang?

Oleh karena itu, dorongan melindungi HAM dalam kasus terorisme bukan berarti mencegah agar terorisme ditindak. Urgensi wacana HAM diarusutamakan dalam pemberantasan terorisme adalah sebagai wujud untuk penikmatan HAM.

Pada akhirnya, jika memang semua salah HAM, sudah sejauh apa memang HAM dipenuhi di negeri ini?

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now