Menu Close

Tentang childless: Apa kata para perempuan yang hidup tanpa anak – tapi bukan karena pilihan

Serial animasi Bluey. ABC

Dalam suatu episode Film Bluey (serial animasi produksi Disney), Onesies, Bluey yang berusia enam tahun bertanya kepada ibunya, Chilli, ada apa dengan Bibi Brandy, yang datang berkunjung untuk pertama kalinya dalam empat tahun.

“Apakah dia sedang sedih?” Bluey bertanya. “Dan mengapa kita hanya bertemu dengannya sekali dalam hidup kita?”

Film tersebut mengisyaratkan bahwa Brandy tidak dapat memiliki anak.

“Maaf, sudah lama sekali,” kata Brandy kepada saudara perempuannya. “Sulit rasanya untuk bertemu dengan kalian semua, paham kan?”

“Aku tahu,” jawab Chilli, meraih tangan kakaknya.

Adegan tersebut menjadi salah satu contoh bagaimana tayangan ini mencoba menyentuh masalah kompleks yang terjadi di masyarakat, dan mengundang tanggapan positif dari penontonnya. Contohnya adalah komentar seseorang di akun Facebook film tersebut, “terima kasih Bluey, karena menampilkan pihak yang ‘tidak memiliki anak bukan karena pilihan’”.

Hampir satu dari enam pasangan di seluruh dunia pernah mengalami infertilitas. Mereka yang tidak, memiliki anggota keluarga, kolega, atau teman yang mengalaminya.

Menyoroti pengalaman-pengalaman semacam ini dapat membantu banyak orang yang mengalaminya merasa tidak terlalu sendirian dan dapat mengurangi rasa malu mereka akan stigma negatif yang, sayangnya, kerap menghantui orang yang didiagnosis infertil.

Liputan media cenderung hanya fokus pada program bayi tabung (in vitro fertilization/IVF). Tapi Film Bluey menyoroti aspek penting lain dari infertilitas: dampak emosional dan sosial dari tidak memiliki anak terus berlanjut walaupun sudah melewati masa produktif untuk bisa berupaya hamil.

‘Permintaan maaf dan kegagalan’

Sebagai bagian dari penelitian saya tentang pengalaman infertilitas, saya mewawancarai perempuan generasi tua yang hidup tanpa anak karena terpaksa. Bagi para perempuan ini, yang sekarang berusia 60-an dan 70-an, pengalaman mereka tentang infertilitas – yang kerap tidak terlihat dalam diskusi publik – telah berdampak panjang pada kesehatan mental dan rasa inklusi mereka.

Beberapa dari mereka berbagi cerita ketika mengalami keguguran berkali-kali; beberapa dari mereka tidak pernah menemukan penyebab pasti ketidaksuburannya; beberapa akhirnya bisa punya anak, sementara yang lain tidak.

Bagi perempuan yang tidak dapat memiliki anak, mereka merasakan dampak ketidaksuburan pada identitas dan hubungan sosial dalam waktu yang lama, bergema sepanjang hidup mereka selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun bahkan setelah mereka berusaha memiliki bayi.

Heather* dan suaminya kini berusia 60-an. Pada usia 36 tahun, setelah mencoba hamil selama tiga tahun, Heather mengalami keguguran di usia delapan minggu kehamilannya. Mereka kemudian menjalani delapan siklus IVF, tanpa hasil, dan akhirnya memutuskan untuk menghentikan pengobatan.

Keguguran itu, yang terjadi setelah dia melihat detak jantung bayinya dan mengalami mual hebat di pagi hari, membuatnya sangat trauma. Baginya, kehamilannya tetap terasa istimewa dan berarti.

Hampir 30 tahun kemudian, ada situasi yang masih dia hindari karena dapat memicu emosi dirinya. Sejak pensiun, dia menjadi aktif di University of the Third Age (gerakan internasional untuk pendidikan dan stimulasi bagi orang lanjut usia) namun menghindari beberapa kelas karena terus-menerus ada percakapan tentang cucu:

Mereka bertanya kepada saya tentang anak dan cucu, dan saya harus memberi tahu mereka “tidak, kami tidak punya”. Dan itu hampir terasa seperti meminta maaf […] permintaan maaf dan kegagalan.

Bagi Mary*, yang berusia 70-an pada saat kami wawancarai, menjadi tua berarti menghidupkan kembali trauma ketika menghadiri pesta ulang tahun anak-anak teman-temannya.

Dia ingat ketika berusia 30-an, ia harus meninggalkan pesta itu karena terasa “terlalu berat” baginya, dan perasaan itu muncul kembali ketika teman-temannya sudah menjadi kakek-nenek. Dia merenungkan, “saya kehilangan teman-teman saya lagi.”

Renee*, usia 59 pada saat wawancara, mengatakan bahwa kini tidak ada lagi orang yang bertanya apakah dia punya anak. “Sekarang, yang ditanyakan adalah cucu,” katanya.

Dampak berkelanjutan dari tidak memiliki anak juga dirasakan di dalam keluarga.

Greta*, 54 tahun, tidak punya anak, sementara saudara perempuannya punya. Ibunya telah pindah ke negara bagian lain untuk tinggal bersama putri dan cucunya itu di bulan-bulan terakhirnya.

Saya sangat senang, sekarang, karena ibu saya punya waktu untuk bersama mereka, walaupun pada saat itu rasanya cukup memilukan.

Dia merenungkan berapa banyak orang yang tidak punya anak jadi kehilangan hubungan dengan keluarga mereka secara dari generasi ke generasi. “Itu dampak jangka panjangnya. Kalau saya sudah tua, siapa yang akan mempedulikan saya?”, katanya.

Hidup yang berwarna dan lengkap

Terlepas dari kesedihan berkelanjutan mereka, para perempuan yang saya ajak bicara menekankan bahwa hidup mereka tetap berwarna dan terasa lengkap meskipun tidak memiliki anak. Ini termasuk memiliki karier internasional yang sukses, sekolah lebih tinggi dan perubahan karier, menjalankan bisnis sendiri, menjadi orang tua tiri dan kakek-nenek tiri.

Tetapi orang-orang yang tidak memiliki anak bukan karena pilihan bisa terus hidup dengan kenyataan ini lama setelah bertahun-tahun mencoba untuk hamil.

Kita semua perlu mendengar cerita yang mencerminkan pengalaman hidup kita sendiri, untuk merasa dilihat, untuk merasa memiliki. Membawa pendekatan yang lebih inklusif dan perspektif yang lebih panjang ke diskusi-diskusi publik tentang infertilitas akan membantu menghilangkan rasa terisolasi yang sering dirasakan oleh perempuan yang tidak memiliki anak bukan karena pilihan.

Mungkin kelihatannya ironis dan pahit, bahwa perlu film animasi anak-anak untuk bisa menyadarkan kita akan hal ini.

*Nama-nama yang disebutkan merupakan nama samaran.


Read more: Half of women over 35 who want a child don't end up having one, or have fewer than they planned


This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now