Menu Close

Terapi masa depan dengan vesikel ekstraseluler: bagaimana hasil samping sel punca ini bisa jadi kurir senyawa obat?

Vesikel ekstraseluler, hasil samping dari sel punca sebagai inovasi terapi bebas sel. Jason Drees/Shutterstock

Apakah kamu pernah berpikir bagaimana ekor cicak dapat tumbuh kembali setelah terputus?

Cicak, termasuk dalam kelas reptilia, adalah hewan yang mampu menumbuhkan kembali ekornya yang telah putus. Hal ini diperoleh karena adanya peranan gen-gen tertentu yang dapat mempercepat regenerasinya. Kemampuan khusus ini hampir tidak dimiliki oleh hewan pada golongan kelas lainnya.

Seperti itulah analogi untuk menjelaskan sel punca atau stem cells yang sangat menjanjikan sebagai terapi berbagai macam penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus dan parkinson.

Sel punca dikenal sebagai jenis sel yang memiliki potensi besar di bidang kedokteran. Secara umum, sel punca memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel yang baru.

Hasil samping dari sel punca untuk kesehatan

Berdasarkan asalnya, sel punca dapat dikelompokkan menjadi sel punca embrionik, sel punca pluripotensi terinduksi, dan sel punca dewasa.

Sel punca embrionik merupakan sel punca yang didapatkan dari sel-sel embrio. Sedangkan, sel punca pluripotensi terinduksi dan sel punca dewasa merupakan sel yang didapatkan dari sel-sel tubuh dewasa, seperti sel kulit, sel otot, sel lemak, dan sel tubuh yang lainnya.

Selain sel, produk turunan dari kultur atau pembiakan sel punca yakni vesikel ekstraseluler juga merupakan salah satu inovasi yang daoat dimanfaatkan untuk terapi. Vesikel ekstraseluler merupakan “kantong” kecil dengan rentang ukuran 30 hingga 1000 nanometer yang dikeluarkan oleh sel dan terbentuk melalui proses pembelahan dari membran sel.

“Kantong” tersebut secara umum berperan sebagai kurir atau pembawa dalam proses komunikasi antarsel. Vesikel ekstraseluler membawa komponen bioaktif dari sel asal sehingga dapat memengaruhi sel target.

Secara umum, vesikel ekstraseluler tersebut banyak ditemukan dalam media kultur pertumbuhan sel punca.

Terapi bebas sel berbasis vesikel ekstraseluler

Jumlah vesikel ekstraseluler yang dikeluarkan oleh sel sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perlakuan terhadap sel merupakan salah satu faktor utama yang dapat memberikan dampak pada vesikel ekstraseluler.

Salah satu contohnya, penambahan glukosa dengan kadar tertentu pada kultur sel akan memengaruhi tinggi rendahnya jumlah vesikel ekstraseluler yang dikeluarkan.

Di laman database uji klinik National Institutes of Health (NIH) kini terdapat 166 dokumen terkait proses uji klinis pemanfaatan vesikel ekstraseluler untuk berbagai penyakit.

Salah satu uji klinis menunjukkan bahwa vesikel ekstraseluler dapat dimodifikasi dan diinjeksi bersama dengan senyawa obat kanker, sehingga vesikel tersebut mampu berperan sebagai “kurir pembawa senyawa obat” untuk menuju target sel kanker.

Selanjutnya, senyawa obat yang telah dibawa oleh “kurir” dirilis ke dalam sel target atau sel kanker (Gambar 1). Hal ini menyebabkan sel kanker mati tanpa mengganggu sel sehat di sekitarnya, dan kandidat terapi berbasis vesikel ekstraseluler dapat berjalan dengan baik.

Gambar 1. Diagram skematis terkait terapi kanker dengan menggunakan vesikel ekstraseluler. Arif Nur Muhammad Ansori/Biorender

Penemuan menarik juga menunjukkan bahwa vesikel ekstraseluler mampu menembus salah satu dinding paling selektif yakni dinding otak yang terdapat di sistem saraf pusat. Ukuran vesikel ekstraseluler yang sangat kecil memungkinkannya untuk menembus dinding tersebut.

Hal itu menunjukkan bahwa pengembangan vesikel ekstraseluler amat menjanjikan sebagai agen terapi penyakit-penyakit sistem saraf pusat. Misalnya, alzheimer dan parkinson.

Selain itu, vesikel ekstraseluler juga diketahui memiliki potensi tinggi pada terapi diabetes melitus (DM). Injeksi vesikel ekstraseluler pada hewan model diabetes menunjukkan bahwa vesikel tersebut mampu mempercepat proses penyembuhan luka diabetes melalui peningkatan mekanisme anti-inflamasi.

Oleh karena itu, vesikel ekstraseluler diproyeksikan mampu untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai agen terapi bebas sel untuk berbagai penyakit di masa depan. Selain itu, efek samping dari terapi ini sangat rendah.

Salah satu uji klinis fase I pada pasien yang sedang berjalan dipimpin oleh Brandon Smaglo dari M.D. Anderson Cancer Center, Amerika Serikat (NCT03608631). Tim ini menggunakan vesikel ekstraseluler untuk terapi melawan kanker pankreas.

Tantangan ke depan

Vesikel ekstraseluler sebagai “kantong” berukuran nano yang dikeluarkan oleh sel diketahui memiliki berbagai kelebihan, yakni mampu menembus membran selektif, mampu berperan sebagai “agen pembawa obat” hingga diketahui memiliki efek samping yang rendah.

Namun, pengembangan vesikel ekstraseluler sebagai agen terapi memiliki beberapa tantangan. Tantangan terbesar berkaitan dengan metode teknis pada proses pengembangan vesikel ekstraseluler tersebut. Misalnya, perlu standar protokol produksi vesikel ekstraseluler hingga standar teknis terkait proses isolasinya.

Proses produksi vesikel ekstraseluler sejauh ini belum efisien karena membutuhkan tempat dan media kultur sel dalam jumlah yang besar. Sebab, pembuatan vesikel ekstraseluler dengan jumlah yang cukup, memerlukan kultur sel dalam jumlah banyak.

Proses kultur sel dalam jumlah besar juga meningkatkan risiko kontaminasi, sehingga standar produksi vesikel ekstraseluler perlu diperketat.

Selain standar produksi vesikel ekstraseluler, tata cara isolasi vesikel ekstraseluler masih menjadi tantangan.

Ada berbagai jenis metode yang dapat digunakan untuk melakukan proses isolasi vesikel ekstraseluler dari sel punca. Namun, sejauh ini belum diketahui metode mana yang paling optimal.

Oleh karena itu, kita memerlukan penetapan standar proses isolasi vesikel ekstraseluler sehingga proses yang dilakukan dapat lebih mudah dan optimal.

Dalam proses pengembangannya menjadi agen penghantar obat, ukuran vesikel yang relatif kecil juga menjadi tantangan tersendiri.

Faktor ukuran cukup penting karena menentukan berapa jumlah senyawa obat yang dapat diinjeksikan ke dalam vesikel ekstraseluler. Sementara, jumlah senyawa obat turut memastikan efisiensi suatu terapi.

Guna mengatasi tantangan ini, kita memerlukan dosis optimal antara rasio senyawa obat dengan jumlah vesikel ekstraseluler yang diinjeksikan ke tubuh pasien.

Itulah tantangan-tantangan dan langkah yang dapat kita lakukan guna memaksimalkan potensi pemanfaatan vesikel ekstraseluler.

Ke depan, vesikel ekstraseluler diharapkan mampu dikembangkan menjadi salah satu inovasi alternatif terapi yang dapat diaplikasikan secara luas.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now