Menu Close
Organisasi Dharma Wanita Persatuan. Akun Instagram @dharmawanitapersatuan.id

Terjebak ‘Ibuisme’: mampukah Dharma Wanita menjadi organisasi progresif dalam perjuangan kesetaraan gender?

Sejak reformasi bergulir pada awal 2000an, pemerintah Indonesia telah mendorong inisiatif pengarusutamaan gender di berbagai kementerian/lembaga negara, tetapi hasilnya belum sesuai harapan. Salah satu alasannya kemungkinan besar karena mayoritas institusi pemerintah masih melanggengkan paham “ibuisme”, khususnya lewat organisasi kemasyarakatan Dharma Wanita Persatuan.

Ibuisme negara merupakan ideologi gender yang memosisikan istri sebagai pendamping suami sekaligus ibu rumah tangga yang salah satu tugas utamanya adalah mengurus dan membesarkan anak. “Tugas utama” tersebut dituangkan dalam Panca Dharma Wanita.

Dharma Wanita Persatuan (DWP)–sebelumnya disebut Dharma Wanita–merupakan organisasi warisan Orde Baru yang menjadi bentuk upaya pemerintah melanggengkan nilai-nilai patriarki dan menundukkan rakyatnya hingga unit terkecil, yaitu keluarga dan lebih khususnya lagi perempuan, dalam sistem komando seperti dalam militerisme.

Di usianya yang ke-24 tahun tepat tanggal 7 Desember ini, organisasi DWP yang saat ini diketuai oleh Franka Makarim, istri dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, kabarnya makin menjunjung kesetaraan gender dan berusaha lepas dari paradigma sebagai subordinat laki-laki

Namun, belum lama ini, DWP justru menuai kontroversi lewat kemunculan tajuk “Pemberdayaan Perempuan dalam Mendukung Tugas Suami”. Tajuk tersebut jelas mengundang banyak kritik dari aktivis gender di tanah air.

Mungkinkah DWP masih bisa diharapkan menjadi organisasi perempuan yang progresif?

Sejarah Dharma Wanita: warisan Orde Baru yang bermasalah

Dharma Wanita merupakan organisasi perempuan yang diinisiasi almarhumah Tien Suharto, istri dari Presiden Suharto, di era kejayaan Orde Baru. Organisasi ini dibentuk sebagai alat propaganda ideologi gender negara–atau disebut ibuisme negara.

Dalam konsep ibuisme, perempuan adalah pendamping laki-laki dan bertanggung jawab terhadap tugas domestik, termasuk melahirkan dan mengurus rumah tangga.

Pada awal periode reformasi 1998-1999, organisasi Dharma Wanita menuai begitu banyak kritik karena dianggap melanggengkan patriarki dengan membatasi peran perempuan hanya pada ranah domestik. Dharma Wanita kemudian bertransformasi dengan nama baru: Dharma Wanita Persatuan–sesuai nama kabinet presiden di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid, yaitu Kabinet Persatuan Nasional.

DWP diharapkan bisa lebih demokratis dari pendahulunya dan tak lagi menjadi alat kontrol negara atas pilihan-pilihan perempuan. Tak sedikit sarjana yang menulis tentang meredupnya pengaruh Dharma Wanita setelah era reformasi bergulir, namun ini tak sepenuhnya benar.

Ideologi Ibuisme di era reformasi

Tercatat setidaknya ada 1,9 juta pegawai negeri sipil (PNS) laki-laki di Indonesia yang istri-istrinya terus menjadi sasaran penyebaran ideologi Dharma Wanita, termasuk perempuan-perempuan muda generasi milenial yang lahir di periode 1980an dan sesudahnya.

Dalam berbagai forum, DWP seringkali menekankan bahwa organisasi ini tak lagi ikut-ikutan agenda politik pemerintah, terutama pada masa pemilihan umum (pemilu). Memang, pada era Orde Baru, DW kerap dijadikan alat kampanye untuk mendulang suara bagi Partai Golkar–partai yang berkuasa saat itu.

Namun, penekanan tersebut nyatanya tidak membuat DWP benar-benar berhenti berpolitik. Sebab, mengatur apa yang menjadi peran perempuan dan bukan peran perempuan lewat institusi negara pada dasarnya adalah bagian dari politik–tepatnya politik keseharian.

Di era reformasi, DW direinstitusionalisasi lewat interpretasi yang menyesatkan tentang Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi ini. Deskripsi anggota yang disebutkan yaitu istri ASN secara serampangan diterjemahkan sebagai keanggotaan ‘wajib’ dengan iuran rutin bagi seluruh istri ASN. Ini sangat bertolak belakang dengan semangat reformasi yang menjadikan DW sebagai organisasi kemasyarakatan yang bersifat sukarela dan menghormati kebebasan berekspresi setiap perempuan.

Tak hanya itu, pegawai perempuan di instansi pemerintah tertentu pun dianggap sebagai anggota otomatis dan harus membantu kegiatan-kegiatan DWP karena mereka “wanita”.

Ruh militeristik juga mewujud dalam kewajiban berseragam dalam berkegiatan, yang merepresentasikan pentingnya kesatuan pandangan dan kurangnya ruang untuk ekspresi individu.

Gaji para suami yang berstatus ASN pun dipotong setiap bulannya untuk iuran DW yang besarannya bervariasi tiap instansi, meski status organisasi ini seharusnya, sesuai semangat reformasi, adalah sukarela. Namun kenyataannya, lewat klaim ‘kewajiban keanggotaan’ bagi istri ASN, organisasi ini juga menjangkau non-ASN di beberapa institusi.

Jika menelusuri arsip media, terlihat bahwa kegiatan DW yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia maupun di perwakilan Indonesia di luar negeri, masih didominasi kegiatan di ranah domestik, seperti pelatihan merangkai bunga meja, menari dan bermain alat musik tradisional, keterampilan memasak, bakti sosial, pendidikan pengasuhan anak, yang sejenisnya yang bertujuan mendukung narasi pembangunan.

Tentu saja itu semua adalah kegiatan yang bermanfaat, tetapi tidak seharusnya diasosiasikan sebagai kegiatan perempuan semata. Sebab, ini akan berimplikasi pada terbatasnya ruang imajinasi bagi perempuan yang bergabung di DWP terhadap minat dan aspirasi yang lebih luas.

Harapan bahwa DWP akan bertransformasi menjadi organisasi yang mendorong perempuan berpikiran mandiri, kritis, dan demokratis juga tampaknya masih jauh dari harapan.

Mekanisme pemilihan ketua DW secara demokratis yang dulu tertuang dalam Anggaran Dasar DWP 1999 ternyata telah dikembalikan ke cara lama, yaitu mengikuti jabatan suami. Ketua tidak dipilih karena visi misi dan kapabilitasnya, melainkan semata karena transfer kekuasaan dari suami (ex-officio).

Mengapa perempuan muda bergabung?

Hasil wawancara mendalam penulis pertama dengan 27 responden dari tiga institusi berbeda mengungkap bahwa tak sedikit dari perempuan yang bergabung dalam DWP percaya bahwa keanggotaannya bersifat otomatis, dan khawatir apabila mereka tidak aktif maka karier suaminya akan terdampak. Ada pula dari mereka yang merasa terangkat status sosialnya dengan memiliki kesibukan di luar rumah dan mengasah kemampuan berorganisasi dengan menjadi pengurus.

Namun demikian, tak sedikit yang mengalami tekanan psikologis karena harus bergabung dalam organisasi yang belum tentu sesuai dengan aspirasi dan kesamaan minat antara para anggotanya, apalagi ketika ada nuansa pemaksaan dalam keanggotaan yang menimbulkan praktik perundungan (bullying). Ini kerap terjadi karena posisi perempuan dalam organisasi DWP mencerminkan jabatan suami, sehingga perempuan yang suaminya adalah ASN level menengah ke bawah berada di posisi yang lemah, bahkan seringkali tertindas.

Di saat yang sama, kegiatan-kegiatan yang menjadi fokus DWP juga terus mencerminkan nilai-nilai patriarki alih-alih kesetaraan gender. Contohnya dalam asosiasi perempuan dengan tugas-tugas perawatan, kesenian, dan kegiatan sosial. Meskipun belakangan ini segelintir kegiatan DWP juga memberi perhatian terhadap isu kekerasan seksual, semangat kesetaraan gender dan perlindungan atas hak-hak perempuan tak jarang berbenturan dengan nilai-nilai yang dipromosikan oleh ibuisme negara yang mengakar kuat pada patriarkisme.

Kami melihat bagaimana para istri ASN “didisiplinkan” lewat berbagai kegiatan DWP yang sangat berbasis gender.

Perempuan terus menerus dipandang dari sisi femininitas, emosionalitas, dan kerja-kerja perawatan, dan bahwa pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih cocok untuk perempuan dan tidak untuk laki-laki.

Kami memandang bahwa imajinasi tentang istri ASN yang terus menerus dibingkai lewat kaca mata ibuisme negara turut berdampak pada bagaimana ASN perempuan diperlakukan di tempat kerjanya.

Misalnya, pekerjaan-pekerjaan administratif dan bernuansa estetika yang kerap dianggap nonsubstansi juga banyak dibebankan pada pegawai ASN perempuan dibandingkan laki-laki.

Peluang kesetaraan gender ke depan

Dengan nuansa ideologi ibuisme negara yang sangat kental, untuk mentransformasi DWP perlu langkah-langkah seperti mengubah nama organisasi agar tidak lagi menormalisasi konsep Dharma–yang bermakna pengabdian tanpa syarat dari perempuan.

Petinggi DWP dan lembaga pemerintah perlu mempertegas sifat sukarela dari DWP karena pemaksaan keanggotaan, termasuk pemotongan iuran untuk DWP secara rutin, bertentangan dengan semangat hak asasi manusia dan kesetaraan gender.

Dengan kondisi saat ini, jelas tidak terdapat kesetaraan karena istri-istri ASN saja yang dibebankan untuk mendukung tugas suami dengan bentuk dukungan yang seragam. Kesetaraan akan tercapai ketika pasangan ASN bebas mendukung pasangannya dengan caranya masing-masing dan mengekspresikan dirinya dengan bergabung dalam organisasi yang sejalan dengan aspirasi mereka.

Selain itu sebagai organisasi perempuan yang ke depan ingin mengusung isu kesetaraan gender maka perlu membicarakan isu perempuan di luar ranah domestik/rumah tangga dan melepaskan diri dari narasi pembangunan pemerintah. Organisasi ini perlu menguatkan demokratisasi, kesetaraan dalam berserikat agar tidak terbentur dengan status quo dalam memperjuangkan kemajuan perempuan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now