Menu Close
shutterstock.

Terlalu manis untuk dibiarkan: pentingnya cukai minuman bergula untuk meredam kasus diabetes Indonesia

Angka peningkatan kasus diabetes tipe 2 di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Saban tahun jumlah pengidapnya melonjak. Dalam kurun 2013-2018, prevalensi diabetes tipe 2 di kalangan individu berusia 15 tahun ke atas meningkat dari 6,9% menjadi 8,5%.

Berdasarkan data International Diabetes Federation tahun 2021, Indonesia menempati peringkat ke-5 sebagai negara dengan jumlah pengidap diabetes usia dewasa terbanyak di dunia, yaitu sekitar 19,5 juta penderita yang rentang usianya 20-79 tahun.

Diabetes melitus—kerap disebut sebagai pembunuh senyap—merupakan salah satu penyakit kronis penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Menurut data Institute for Health Metrics and Evaluation, diabetes merupakan penyakit kronis penyebab kematian tertinggi ke-3 di Indonesia pada 2019. Saat itu, diabetes menyebabkan sekitar 57,42 kematian per 100 ribu penduduk.

Tren bertambahnya pengidap diabetes tipe 2 tidak dapat dilepaskan dari tingginya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Dalam dua dekade terakhir, konsumsi MDBK di Indonesia meningkat hingga 15 kali lipat.

Selain itu, kajian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menemukan 61% penduduk Indonesia mengkonsumsi MBDK sedikitnya satu kali sehari. Banyak studi menunjukkan korelasi kuat antara asupan gula berlebih karena konsumsi MBDK dengan risiko terkena penyakit tidak menular, khususnya diabetes melitus tipe 2.

Pemerintah tak bisa lagi mengandalkan pendekatan edukasi untuk mencegah peningkatan kasus diabetes. Perlu ada gebrakan kebijakan untuk membatasi konsumsi MBDK lewat penerapan cukai. Jangan biarkan masyarakat kebingungan di tengah gempuran produk-produk MBDK yang semakin mudah diakses dengan harga terjangkau.

Pemberlakuan cukai MBDK untuk mengontrol konsumsi gula masyarakat telah diterapkan di lebih dari 100 negara, termasuk negara-negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Laos, Kamboja, dan Brunei. Studi pemodelan di Malaysia menunjukan cukai berpotensi menurunkan konsumsi MBDK masyarakat sebesar 9,3%. Di samping itu, studi evaluasi di Thailand dan Filipina menunjukkan penerapan cukai cukup efektif untuk menurunkan konsumsi MBDK masyarakat sebesar 8,4% dan 17,7%.

Di Indonesia, penerapan cukai minuman berpemanis sebenarnya telah diwacanakan sejak 2016. Namun implementasinya terus tertunda dengan dalih pemulihan ekonomi selepas pandemi COVID-19. Patut ditunggu apakah pemerintah akan memberlakukan cukai minuman berpemanis tahun ini.

Menekan konsumsi gula lewat cukai

Esensi pemberlakuan cukai terhadap produk MBDK adalah mengurangi konsumsi gula berlebih di masyarakat. Hal ini penting karena konsumsi MBDK menjadi salah satu faktor risiko peningkatan prevalensi obesitas, diabetes, dan penyakit tidak menular lainnya. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan (SUSENAS) Pusat Statistik tahun 2021, terdapat sedikitnya 47,9 juta penduduk Indonesia mengkonsumsi gula berlebih.

Riset kami yang berjudul “Elastisitas Harga Permintaan Minuman Berpemanis dalam Kemasan di Indonesia” menunjukkan kebiasaan masyarakat yang masih gemar mengkonsumsi minuman manis kemasan. Rumah tangga di Indonesia paling banyak mengkonsumsi produk kopi instan dengan jumlah rata-rata 29 kemasan tiap bulan.

Urutan selanjutnya adalah produk susu kemasan (19 kemasan per bulan), minuman energi (13 kemasan per bulan), teh atau soda (12 kemasan per bulan), dan produk kental manis (5 kemasan per bulan).

Riset kami menunjukkan bahwa permintaan MBDK di Indonesia bersifat elastis terhadap harga sehingga ada indikasi permintaan masyarakat akan menurun saat harga MBDK meningkat. Di sinilah cukai berperan vital. Penerapan cukai pada produk MBDK akan menaikkan harga jualnya sehingga akan menurunkan permintaan konsumen terhadap produk-produk minuman berpemanis tersebut.

Ketika pemerintah menerapkan tarif cukai sebesar 20%, analisis kami memperkirakan konsumsi MBDK akan turun sebesar 17,5%. Menurut studi yang dikutip oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), cukai diperlukan untuk menghasilkan kenaikan harga MBDK setidaknya hingga 20%. Angka ini dianggap efektif untuk menurunkan konsumsi produk MBDK.

Penelitian kami lainnya yang berjudul “Estimasi Dampak Kesehatan dan Ekonomi dari Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan terhadap Beban Diabetes Tipe 2 di Indonesia” menunjukkan, tarif cukai sebesar 20% tersebut dapat mencegah 3,1 juta kasus baru diabetes tipe 2 secara kumulatif pada 2033. Sedikitnya 455 ribu jiwa juga dapat diselamatkan berkat pemberlakuan cukai. Syaratnya, cukai tersebut mulai diterapkan tahun ini.

Tanpa ada intervensi yang drastis melalui cukai, kami menaksir angka kasus diabetes tipe 2 di Indonesia akan terus meningkat hingga 8,9 juta kasus baru dalam satu dekade. Begitu pula angka kematian akibat diabetes tipe 2 yang juga diprediksi melonjak sampai 1,4 juta jiwa pada 2033.

Mengurangi Beban Negara Hingga 40 Triliun

Selain dampak kesehatan, negara mesti menanggung kerugian ekonomi akibat diabetes tipe 2. Kerugian ekonomi ini setidaknya terdiri dari dua komponen, yaitu biaya langsung yang ditanggung BPJS Kesehatan untuk perawatan pasien diabetes, serta biaya kerugian produktivitas akibat kematian dini dan disabilitas akibat diabetes.

Apabila cukai MBDK diberlakukan tahun ini, riset kami memprediksi pemerintah dapat menghemat biaya langsung sebesar Rp24 triliun dan biaya kerugian produktivitas sekitar Rp16 triliun sampai tahun 2033. Dengan demikian, penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan dapat mengurangi beban negara hingga Rp40 triliun dalam satu dekade ke depan.

Melihat manfaat ganda dari cukai MBDK tersebut, pemerintah semestinya tidak lagi menunda penerapannya tahun ini. Apalagi, menurut International Diabetes Federation, jumlah kasus diabetes tipe 2 di Indonesia diprediksi melonjak menjadi 28,6 juta pada 2045 jika tidak dibarengi dengan intervensi kebijakan apa pun.

Pemberlakuan cukai MBDK akan berkontribusi secara signifikan pada pengurangan beban nasional diabetes tipe 2 di Indonesia. Melalui kebijakan yang memprioritaskan kesehatan masyarakat dan investasi jangka panjang sumber daya manusia tersebut, pemerintah telah mengutamakan modalitas paling penting untuk mewujudkan target Indonesia Emas 2045.

Gisella Tellys, Advocacy Officer for Food Policy CISDI turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 184,600 academics and researchers from 4,975 institutions.

Register now