Menu Close

Tewasnya Prigozhin: apa dampaknya bagi pemerintah Rusia dan nasib perang di Ukraina?

Pemimpin kelompok paramiliter Wagner Group, Yevgeny Prigozhin, tewas dalam kecelakaan pesawat. Danila2332/Shutterstock

Tanggal 23 Agustus 2023, dunia dikejutkan dengan kabar tewasnya pemilik kelompok paramiliter Wagner Group, Yevgeny Prigozhin, dan pendiri Wagner Group itu sendiri, Dmitry “Wagner” Utkin dalam kecelakaan pesawat di Tver, setengah jalan antara Moskow dan St. Petersburg, Rusia. Tewasnya Prigozhin dan Utkin baru dikonfirmasi beberapa hari kemudian setelah jenazah mereka diidentifikasi.

Kematian mereka terjadi dua bulan setelah pemberontakan yang dilancarkan Prigozhin terhadap Kementerian Pertahanan Rusia. Prigozhin sempat menyalahkan Menteri Pertahanan (Menhan) Rusia, Sergei Shoigu, dan Kepala Staf AB Rusia, Valery Gerasimov, atas kegagalan militer Rusia di Ukraina.

Berakhir tragisnya sepak terjang Prigozhin menambah panjang sejarah pemberontakan-pemberontakan gagal di Rusia, mulai dari pemberontakan Stenka Razin (1667-1671), pemberontakan Pugachev (1773-1775), pemberontakan Desembris (1825), hingga Revolusi Rusia pertama (1905-1907).

Penyebab kecelakaan pesawat tersebut masih menjadi misteri. Diyakini ada dalang besar di baliknya. Namun, terlepas dari siapa sebenarnya dalang pembunuhan Prigozhin, kematiannya akan berdampak serius pada perkembangan perang di Ukraina dan politik domestik Rusia sendiri.

Bagi Ukraina, ini bisa menjadi kesempatan untuk menggerakkan serangan balik terhadap Rusia. Bagi Rusia, ini akan menjadi pertaruhan bagi Presiden Vladimir Putin, yang dikabarkan akan maju kembali pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Rusia pada Maret 2024 mendatang.

Siapa itu Prigozhin?

Prigozhin sebenarnya adalah sahabat dekat Putin sejak Putin meniti karier sebagai pejabat di St. Petersburg pada dekade 1990-an. Sejak Putin menjadi Presiden, Prigozhin merupakan salah satu pengusaha yang mendukungnya, terutama dengan menyediakan jasa katering bagi rombongan Putin.

Pengaruh Prigozhin menguat setelah pecahnya konflik di Ukraina timur pada 2014, ketika ia membiayai tentara bayaran Wagner Group yang kemudian menyebar ke Suriah dan Afrika. Sejak itu, Prigozhin menjadi salah satu orang paling berpengaruh dalam proyeksi kekuatan Rusia di kawasan-kawasan lain. Dalam serangan Rusia ke Ukraina sejak 2022, Wagner Group juga membantu pasukan Rusia dalam melancarkan operasi militernya.

Spanduk iklan luar ruang Perusahaan Militer Swasta Wagner Group atau PMC Wagner di jalan kota di Rusia. Al.geba/Shutterstock

Namun, Prigozhin mengkritik militer resmi Rusia, terutama Menhan Shoigu, atas inefisiensi birokrasi dan korupsi yang dianggap menghambat pasukan Rusia di Ukraina dan memakan banyak korban jiwa tentara Wagner. Hal inilah yang ia jadikan justifikasi untuk melancarkan pemberontakan terhadap Kementerian Pertahanan Rusia bulan Juni lalu.

Teka-teki kematian Prigozhin

Kematian Prigozhin meninggalkan teka-teki tentang apa yang akan terjadi setelahnya.

Sebagian besar sumber Barat melihat kematian Prigozhin sebagai balas dendam Putin atas apa yang ia anggap sebagai “pengkhianatan yang tidak bisa dimaafkan”.

Juru bicara Putin, Dmitry Peskov, membantah keterlibatan Putin dalam kematian Prigozhin, sedangkan Putin sendiri menyebut Prigozhin sebagai “pengusaha sukses, namun melakukan banyak kesalahan”.

Kesempatan bagi Ukraina

Tewasnya Prigozhin meninggalkan ketidakpastian di dalam Wagner Group yang tidak hanya kehilangan komandan dan pendirinya, tetapi kini dituntut untuk tunduk di bawah sistem komando militer Rusia guna mencegah pemberontakan serupa terjadi. Selain itu, jenderal yang dipuji Prigozhin, Sergei Surovikin, juga disingkirkan dari jabatannya.

Padahal, Wagner dan Surovikin dianggap lebih efektif dalam menjalankan peperangan, seperti merebut kota Bakhmut setelah pertempuran berbulan-bulan. Sementara, pasukan resmi Rusia mengalami kemandekan sejak musim panas 2022.

Saat ini, militer Rusia tidak hanya mengalami masalah logistik dan koordinasi, tetapi juga kekurangan sumber daya, terutama setelah banyaknya tentara unggulan yang gugur dalam percobaan serangan pertama ke Kyiv, ibu kota Ukraina, di awal peperangan.

Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) berbincang dengan Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu pada April 2019. Chirag Nagpal/Shutterstock

Tidak adanya sosok Prigozhin dan Surovikin dapat dimanfaatkan Ukraina untuk melakukan serangan balik terhadap wilayahnya yang dikuasai Rusia, terutama di daerah selatan.

Ukraina mendapat motivasi kembali untuk melancarkan operasi perlawanan di tengah kelelahan akibat perang berkepanjangan dan mengalami kerugian jiwa maupun materiil.

Secara umum, Ukraina dapat diuntungkan dari tiga sisi, yaitu 1) tidak perlu lagi menghadapi pasukan Wagner yang independen, 2) peningkatan moril karena melihat masalah internal yang terjadi di Rusia, dan 3) menguatkan argumen mereka untuk meminta bantuan senjata berteknologi tinggi pada Barat karena merasa yakin Rusia tidak akan merespons secara serius terhadap NATO.

Bagaimana Ukraina memanfaatkan kondisi ini adalah hal yang menarik untuk diikuti, mengingat saat ini militer Ukraina tengah berusaha memecahkan garis pertahanan Rusia di wilayah selatan–yang bisa berpengaruh pada jalannya perang.

“Taruhan” rezim Putin

Tiadanya Prigozhin mengarahkan militer Rusia menuju sentralisasi, dengan setiap pasukan paramiliter diwajibkan untuk setia pada pemerintah pusat. Hal ini akan menjadi “taruhan tersendiri” bagi Putin dan Shoigu. Masa depan mereka bisa saja sangat bergantung pada perkembangan kampanye militer mereka di Ukraina.

Memang, wilayah Rusia sendiri terhindar dari kekerasan bersenjata dan kehidupan di kota-kota besar relatif berjalan normal. Namun, akhir-akhir ini, serangan sporadis drone Ukraina mulai masuk ke beberapa kota di Rusia, seperti pusat bisnis di Moskow dan apartemen di Kursk.

Surat perintah penangkapan Presiden Rusia Vladimir Putin yang diterbitkan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag. JRdes/Shutterstock

Ini tentunya sangat mengganggu masa-masa menjelang Pilpres Rusia 2024. Putin diyakini sedang berusaha untuk terpilih kembali sebagai presiden Rusia untuk periode kelima (2024-2030).

Ditambah lagi, nilai tukar rubel jatuh dan muncul berbagai kendala teknis lainnya, seperti sulitnya Putin mengadakan perjalanan internasional karena surat perintah penangkapan dirinya dari International Criminal Court (ICC) atas dugaan kejahatan perang.

Itu semua menjadi beban bagi Rusia untuk dapat mencapai kesuksesan militernya di Ukraina, yang saat ini mulai terasa sulit akibat menguatnya dukungan Barat untuk Ukraina.

Jika Rusia mengalami kekalahan militer di Ukraina, ini akan sangat mempersulit kedudukan rezim Putin di Rusia.

Meskipun Putin sendiri belum secara resmi mengumumkan rencana untuk maju kembali pada Pemilu Rusia 2024, banyak laporan media lokal Rusia menyebutkan bahwa Putin ingin maju dan memiliki potensi menang dengan perolehan suara besar.

Terlepas dari mulai lemahnya militer Rusia dan gonjang ganjingnya politik domestik Rusia sekarang, negara ini tetap merupakan kekuatan besar yang berpengaruh pada kestabilan sistem internasional, mengingat posisinya yang dominan dalam pasar energi internasional.

Rusia, bersama dengan Cina, kini juga tengah berupaya menguatkan multilateralisme non-Barat seperti melalui blok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), SCO (Shanghai Cooperation Organisation), dan EAEU (Eurasian Economic Union), ditambah lagi status diplomatik Rusia yang tidak berubah, seperti memegang hak veto dalam Dewan Keamanan PBB.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now