Menu Close
Pekerja migran perempuan
Warga Negara Indonesia mengikuti proses Pemilu 2024 di Hulu Langat, Malaysia. IKHWANUL EFFENDIE/Shutterstock

Tidak hanya menyumbang devisa, pekerja rumah tangga migran juga berikan kontribusi politik

Gegap gempita sosialisasi dan kampanye politik Pemilihan Umum (Pemilu) Indonesia 2024 yang telah berlangsung di dalam negeri juga bergema di luar negeri, khususnya di negara-negara penempatan pekerja rumah tangga (PRT) migran.

Pada Pemilu kali ini, misalnya, PRT migran berpartisipasi aktif dalam melakukan mobilisasi politik untuk mendukung pasangan calon presiden dengan melakukan kegiatan deklarasi, seperti yang terjadi di Hong Kong. Mereka pun antusias untuk berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara, seperti yang terjadi di Kuala Lumpur dan Singapura.

Hal ini menunjukkan bahwa PRT migran turut terlibat dalam pemenangan kandidat dalam Pemilu Indonesia. Keterlibatan ini dapat disebut sebagai remitansi politik.

Remitansi ini sangat krusial dalam kontestasi politik tanah air mengingat jumlah pekerja migran perempuan yang bekerja sebagai PRT cukup signifikan.

Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan bahwa dari lebih dari 27.000 penempatan sepanjang Januari 2024, sekitar 65% merupakan pekerja perempuan yang banyak berprofesi sebagai PRT. Malaysia, Taiwan, Hong Kong dan Singapura adalah empat negara penempatan migran yang menyumbang pemilih luar negeri terbanyak.

Berikut, saya akan menjelaskan apa itu remitansi politik dan cara kerjanya, serta tantangan yang dihadapi dalam mobilisasi para pekerja migran ini.

Tak hanya pahlawan devisa

Tidak seperti remitansi ekonomi, yakni ketika PRT migran secara teratur mengirimkan uang pada keluarga yang ditinggalkan di Indonesia, remitansi politik menekankan pada proses transfer ide, prinsip, dan kegiatan-kegiatan politik oleh migran ke negara asal.

Remitansi politik ini bersifat multidireksional. Ia tidak hanya mengalir dari negara penempatan ke negara asal, tetapi juga sebaliknya. Tak hanya itu, remitansi juga melibatkan aliran ide demokrasi antarnegara penempatan migran.

Remitansi politik PRT migran bukan hal baru. Sebuah penelitian tahun 2019 menjelaskan bahwa PRT migran banyak belajar tentang kesadaran kolektif dan hak-hak buruh migran ketika terlibat dalam kegiatan advokasi pekerja migran di negara penempatan.

Ketika kembali ke Indonesia, mereka memulai inisiatif untuk mendirikan organisasi serupa untuk perwujudan hak-hak purna migran dalam bentuk aktivisme sipil.

Selain itu, remitansi berupa pemberian suara ke negara asal juga memberikan dampak berarti pada pemenangan calon dalam bentuk partisipasi politik formal. Berdasarkan hasil pantauan Kawal Pemilu 2024, misalnya, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul sebesar 60,90% suara di Singapura, 70,85% di Hong Kong, dan 75,15% di Taiwan.

Ketiga negara penempatan tersebut memiliki jumlah pemilih perempuan yang melampaui jumlah pemilih laki-laki. Sebagai contoh jumlah pemilih perempuan di Taiwan sebesar 155.490 dan pemilih laki laki sebesar 1551. Adapun di Hong Kong, jumlah pemilih perempuan sebesar 155.490, jauh dibandingkan laki-laki yang hanya sejumlah 1.551 orang.

Banyaknya jumlah pemilih perempuan tersebut tak lepas dari suara PRT migran. Sepanjang 2021-2023, misalnya, total PRT migran tercatat sebesar 198.538 orang, dengan Hong Kong dan Taiwan sebagai negara penempatan tertinggi tujuan pekerja migran Indonesia.

Bentuk mobilisasi pekerja migran

Mobilisasi politik lintas batas negara cukup masif dilakukan baik dari pekerja migran sendiri ataupun dari aktor-aktor politik tanah air.

Berdasarkan hasil pantauan saya, proses-proses remitansi politik ini difasilitasi oleh beberapa hal:

  1. Penggunaan sosial media. Penggunaan sosial media dan alat komunikasi pesan singkat sangat lazim digunakan oleh PRT untuk tetap terhubung dengan keluarga di Indonesia. Hal ini juga dimungkinkan digunakan oleh mereka untuk mengakses konten politik tanah air yang dapat memengaruhi keputusan-keputusan mereka dalam memilih calon presiden.

  2. Relasi dengan keluarga. PRT migran akan mengembangkan pengasuhan jarak jauh sebagai bentuk negosiasi peran ketika meninggalkan anak-anak mereka. Proses komunikasi untuk mendukung hal ini, termasuk memberi kabar dengan interaksi yang intensif dengan keluarga di Indonesia, tidak jarang akan mengarah pada pembicaraan mengenai situasi politik tanah air dan preferensi kandidat ketika Pemilu. PRT migran dapat menyesuaikan preferensi pilihan keluarga menjadi pilihannya atau sebaliknya.

  3. Keberadaan organisasi dan asosiasi pekerja migran di luar negeri, seperti Koalisi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (KOTKIHO), dapat memfasilitasi informasi mengenai Pemilu, seperti informasi pendaftaran pemilih atau sosialisasi metode-metode pemungutan suara. Hometown associations (ikatan kampung halaman) dalam bentuk formal eksplisit ini dapat menggerakkan aktivitas politik migran untuk tanah kelahirannya.

  4. Kehadiran partai politik cabang luar negeri. Seiring banyaknya penduduk Indonesia bermigrasi ke luar negeri, partai politik beradaptasi dengan membentuk cabang di luar negeri untuk menjangkau pemilih diaspora. PDI-P, misalnya, melantik dewan pimpinan luar negeri di 11 negara pada 2021.

  5. Kesadaran politik PRT migran. Kehadiran asosiasi pekerja dan organisasi migran sedikit banyak memengaruhi kesadaran PRT migran untuk menyoal pemenuhan hak-haknya. Hal ini turut menstimulasi kesadaran mereka dalam mengidentifikasi relasi kuasa dan kekuasaan, termasuk dalam politik elektoral tanah air. Hasilnya, pekerja migran terdorong untuk mencari pemimpin dan mengambil keputusan untuk ambil ataupun tidak ambil bagian dalam proses ini.

Bukan tanpa hambatan

Remitansi suara PRT migran sangat krusial dalam kontestasi politik tanah air, mengingat jumlah mereka cukup signifikan di negara-negara penempatan. Proses-proses ini tentunya menunjukkan indikasi positif mengenai peningkatan jumlah pemilih dan partisipasi politik di luar negeri.

Namun, proses mobilisasi politik ini tentunya tak selalu mulus, misalnya dalam mengakses informasi mengenai pemilu. PRT migran misalnya, umumnya tinggal bersama majikan. Dengan sifat kerja yang terisolasi di dalam rumah, mereka kurang memiliki kebebasan untuk bersosialisasi dengan sesama migran, termasuk dalam mengikuti perkembangan politik di tanah air. Selain itu, sifat kerja yang tergantung pada izin majikan juga membatasi mereka ketika akan keluar rumah, termasuk ketika akan menuju ke tempat pemungutan suara.

Terlepas dari itu semua, setidaknya ada tiga hal yang penting diperhatikan penyelenggara pemilu luar negeri, pekerja dan masyarakat dalam mobilisasi suara yang menyasar PRT migran.

Pertama, mekanisme calo suara harus disikapi secara kritis. Para aktor politik yang menggunakan relasi kompensasi uang untuk mengajak keterlibatan migran juga kerap ditemui di luar negeri.

Kedua, mekanisme pemungutan suara di luar negeri yang perlu diawasi and dievaluasi untuk menimalisasi kecurangan Pemilu. Laporan Migrant Care menunjukkan mekanisme pemungutan suara di luar negeri yang sangat mempersulit pekerja migran.

Mekanisme pemungutan suara melalui kotak pos juga menimbulkan masalah teknis. Di Hong Kong, contohnya, terjadi pengiriman surat suara hingga dua kali untuk pemilih yang sama dan bahkan ada yang tidak menerima sama sekali.

Terakhir, implikasi paling substantif dari mobilisasi elektoral dan remitansi politik PRT migran ini adalah keharusan untuk menerapkan moral etis para elit untuk konsisten menjamin perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sejak keberangkatan hingga kepulangan dari segala unsur dan bentuk manipulasi dan eksploitasi, termasuk terkait kepentingan elektoral di tanah air.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now