Menu Close

Tiga alasan mengapa Coldplay akhirnya memilih manggung di Indonesia

Grup band asal Inggris, Coldplay, dijadwalkan tampil di Indonesia untuk pertama kalinya pada 15 November 2023.

Masih jelas di ingatan, bagaimana band rock yang dibentuk tahun 1997 ini, terang-terangan melewati Indonesia dan memilih tampil di negara-negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Filipina, dan Australia pada tur tahun 2017.

Mengapa melewati Indonesia? Saat itu, Indonesia dianggap negara yang tidak ramah terhadap lingkungan, dan abai memanfaatkan energi berkelanjutan. Prinsip yang dipegang teguh oleh Coldplay.

Coldplay terlihat masih memegang kuat prinsip tersebut ketika penulis menyaksikan konser mereka di Gothenburg, bulan lalu. Ini kota terbesar kedua di Swedia setelah ibu kota negara, Stockholm.

Sebelum konser dimulai, layar di panggung menampilkan sejumlah program kerja sama dengan organisasi lingkungan di berbagai negara yang didanai dari penjualan tiket. Aliran listrik selama pertunjukan bersumber dari energi terbarukan. Penonton diimbau membawa botol air isi ulang; wajib mengembalikan gelang (wristband) LED berbahan nabati; hingga menggunakan transportasi publik, bersepeda dan berjalan kaki menuju lokasi konser.

Syarat terakhir tentu mudah diterapkan oleh Gothenburg. Enam kali berturut-turut, kota ini menjadi destinasi paling berkelanjutan di dunia menurut the Global Destination Sustainability Index.

Tidak hanya isu lingkungan, Coldplay juga mengusung topik LGBTQ+ di konsernya.

Menariknya, meskipun Indonesia sama sekali tidak memiliki komitmen serius di kedua topik tersebut, Coldplay tetap memutuskan menggelar konser di sini.

Sebagai ilmuwan di bidang Ilmu Komunikasi yang fokus meneliti industri media, penulis mengkaji keputusan Coldplay untuk tetap manggung di Jakarta dengan menggunakan konsep “industri budaya” dan “konsumsi budaya” yang diciptakan oleh dua filsuf terkenal Jerman Theodor Adorno dan Max Horkheimer.

Industri budaya

Industri budaya menggambarkan produksi budaya massa dan hubungan kekuasaan antara produsen kapitalis dan konsumen massa. Budaya dan industri seharusnya dua hal yang bertentangan. Budaya mempunyai fungsi menghibur, solidaritas, mewariskan nilai.

Menurut antropolog Indonesia, Koentjaraningrat, kebudayaan melahirkan cipta, rasa, karsa. Hal-hal mendasar dalam hidup manusia seperti ideologi dan identitas. Sementara industri, melibatkan banyak kepentingan di dalamnya, bersifat komersial dan berorientasi pada keuntungan.

Dalam demokrasi kapitalis modern, batasan keduanya menjadi kabur atau bahkan runtuh. Kebudayaan yang merupakan gagasan dan sistem nilai manusia dan masyarakat, kemudian diuangkan, dieksploitasi, dikomodifikasi sedemikian rupa untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.

Dari pemahaman di atas, kita melihat bahwa ada tiga alasan mengapa Coldplay akhirnya memilih Indonesia.

Pertama, adanya alasan ekonomis di balik keputusan ini.

Pertumbuhan ekonomi di industri musik meningkat luar biasa pasca pandemi COVID-19. Industri musik merupakan salah satu sektor yang terpukul saat terjadi pembatasan sosial di seluruh dunia.

Pada awal penguncian wilayah (lockdown) pada 2020, semua tur dibatalkan. Ratusan kru dirumahkan. Sebagai gantinya, para musisi menggelar konser virtual dari rumah, termasuk Chris Martin.

Nyatanya, platform streaming belum bisa menggantikan pemasukan dari penampilan langsung (live performances) yang biasanya diikuti dengan penjualan merchandise dan iklan. Fakta ini tidak hanya terjadi di Tanah Air tetapi juga industri musik global.

Berkaca dari pengalaman mati surinya industri musik global selama pandemi, membuat musisi dan produser ‘melonggarkan’ aturan mainnya.

Kedua, menurut Adorno, layaknya industri atau pabrik, produk atau jasa yang ditawarkan pun akhirnya sesuai standar (culture standardised) dan diproduksi dalam jumlah besar (mass-produced) untuk memenuhi permintaan dan menyenangkan penonton.

Awalnya, Coldplay menganut budaya tinggi (high culture) dengan idealisme, menolak menggelar konser musik di negara-negara yang tidak sesuai dengan misi sosial mereka. Budaya tinggi merupakan budaya keseriusan, terdapat standar dan perspektif pencipta atau artis yang diterima oleh seluruh pengguna. Tapi belakangan, prinsip diubah demi kepentingan pasar.

Pada tur “Music of the Spheres” tahun 2022-2024, Coldplay mulai elastis dengan permintaan pasar (mass culture). Skala ekonomi lagi-lagi menjadi dasar perhitungan (mass profit).

Kita bisa melihat ini ketika Coldplay menambah konser di Singapura selama lima hari untuk menampung lonjakan permintaan penggemar di negara-negara Asia Tenggara.

Dan untuk pertama kalinya, mereka mengelar konser di Indonesia dan Malaysia, dua negara dengan isu lingkungan hidup dan LGBTQ+ yang belum selaras dengan apa yang diperjuangkan oleh Coldplay.

Kecenderungan yang sama juga terjadi di sejumlah negara Eropa. Negara seperti Romania, Yunani, Hungaria kali ini masuk dalam daftar tur. Jumlah hari terus ditambah dan mendapatkan pemberitaan masif oleh media setempat.

Ini yang Adorno maksud ketika massa menganggap serius bisnis pertunjukan. Bintang-bintang dipuja-puja bagai pahlawan dan melahirkan apa yang disebut fetish-consciousness, keterasingan manusia pada kesadaran.

Ketiga, menggunakan logika konser musik sebagai produk dan jasa, pelaku di industri musik sebagai bagian dari industri budaya perlu memberikan nilai tambah dan berpikir kreatif.

Coldplay bisa dikatakan pelopor dalam penyelenggaraan konser menggunakan energi hijau. Pertunjukan musik juga dipandang efektif untuk meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan dan mendukung hak-hak kaum minoritas dan terpinggirkan.

Menurut penulis, Coldplay tampaknya menyadari bahwa mereka belum maksimal menggunakan panggung hiburan sebagai sarana advokasi. Sebagai contoh, Coldplay melakukan kampanye ramah lingkungan, memperjuangkan kesetaraan gender, dan mengentaskan kemiskinan.

Namun kampanye tersebut menjadi kurang efektif jika dilakukan di sebuah kota atau negara yang sudah sempurna menjalankan program tersebut atau bahkan tidak memiliki permasalahan dengan isu-isu tersebut. Kampanye justru harus disisipkan pada pertunjukan musik dengan penduduk dan pemerintahan yang memang masih tertinggal dalam isu tersebut.

Dari analisis di atas, dapat dilihat bahwa pada akhirnya, sejumlah band luar negeri akan memperhitungkan skala ekonomi dan berorientasi pada pasar.

Industri budaya juga melihat bahwa seniman yang cakap dan kreatif, serta mampu melihat nilai jual akan bertahan. Indonesia dengan aset populasi yang besar dan jumlah penduduk kelas menengah yang terus meningkat, akan menjadi magnet industri musik global, selama stabilitas ekonomi dan keamanan negara kita tetap kondusif.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now