Menu Close

Tiga alasan mengapa pembahasan RUU Omnibus Law seharusnya ditunda di tengah pandemi COVID-19

Pekerja industri garmen. iloasiapacific/flickr, CC BY-SA

Pandemi COVID-19 belum menunjukkan perlambatan.

Sampai artikel ini ditulis sudah ada hampir 7,000 orang terindikasi positif virus tersebut, bertambah hampir 200 orang dalam satu hari.

Dampak ekonominya pun telah terasa. Sejauh ini ada sekitar 1,6 juta orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan. Kelesuan ekonomi ini pun terancam akan menghasilkan krisis keuangan di Indonesia.


Read more: Bagaimana COVID-19 memicu krisis keuangan di Indonesia


Namun disayangkan di tengah situasi seperti ini pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersikukuh untuk mendorong terbitnya Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus Cipta Kerja. Lebih jauh lagi bahkan DPR menyepakati RUU tersebut untuk dilanjutkan bahasannya ke Badan Legislasi DPR.

Kepala Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Eko Nugroho, menjelaskan kegigihan penguasa menggolkan Omnibus Law lantaran pemerintah ingin mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan mempermudah investasi dan melonggarkan regulasi ketenagakerjaan.

Ekonomi Indonesia pada tahun lalu hanya tumbuh 5,02%, lebih rendah dibanding capaian tahun 2018 sebesar 5,17%. Target investasi luar negeri Indonesia jugatidak pernah tercapai sejak 2018. Pada 2018, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) hanya 82,3% dari target Rp 392.7 triliun dan setelahnya target tidak pernah tercapai.

Pemerintah mengganggap Omnibus Law diperlukan untuk menstimulus perekonomian nasional yang terhempas krisis apalagi di tengah pandemi COVID-19.

Namun menurut Agus, perlambatan ekonomi Indonesia saat ini tidak bisa diselesaikan dengan hanya regulasi karena permasalahan ekonomi Indonesia terletak kepada hal yang lebih mendasar yaitu produktivitas teknologi dan tenaga kerja masih rendah, dominasi sektor keuangan terhadap sektor riil, serta ditambah maraknya praktik korupsi di Indonesia yang merusak iklim usaha di Indonesia.

Pekerja sedang membuat peralatan medis. ILOasiapacific/flickr, CC BY

Tiga penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia

Masalah yang pertama adalah produktivitas, teknologi dan tenaga kerja Indonesia yang masih rendah.

Menurut laporan Indeks Kompetisi Global yang dirilis di World Economic Forum (WEF) pada tahun lalu, kemampuan pekerja Indonesia berada di peringkat ke 65 dari 141 negara dengan skor 64. Peringkat ini kalah dari negara tetangga seperti Malaysia yang berada di peringkat ke 30 dengan skor 72.5, walaupun kita masih unggul dari Thailand dan Vietnam yang berada di peringkat 73 dan 93.

Sementara RUU Cipta Kerja hanya fokus untuk menghasilkan lapangan kerja baru bukan untuk meningkatkan produktivitas pekerja.

Masalah kedua tentang keberadaan sektor keuangan yang mendominasi sektor riil Indonesia.

Ini terbukti dengan delapan dari 10 perusahaan terbesar yang tercatat di Bursa Efek Indonesia adalah bank. Tiga besarnya adalah Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, dan Bank Central Asia yang masing-masing memiliki nilai aset Rp 1,288 triliun, Rp 1,235 triliun dan Rp 870 triliun pada tahun lalu.

Dominasi lembaga keuangan ini salah satunya disebabkan suku bunga di Indonesia yang masih cukup tinggi dibanding negara-negara lainnya. Saat ini, suku bunga acuan dari Bank Indonesia yang saat ini berada di 4.5%, lebih tinggi dibanding Malaysia yang mematok bunga acuan 2.5% dan Thailand dengan 0.75%.

Bagi pelaku usaha, suku bunga tinggi akan membebani usaha mereka karena akan menambah beban bunga dan bisa menghambat rencana bisnis mereka.

Bagi konsumen, suka bunga yang tinggi akan mendorong mereka untuk menabung ketimbang berbelanja. Hal ini tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Masalah ketiga terkait korupsi.

Riset WEF menunjukkan terdapat 16 faktor yang menjadi penghalang iklim investasi di Indonesia dan korupsi menjadi kendala utama. Indonesia saat ini berada di urutan ke-85 dari 180 negara di Indeks Persepsi Korupsi Perception Index 2019 yang di rilis oleh Transparency International.

“Prioritas pada isu ketenagakerjaan adalah diagnosis yang keliru, karena menurut World Economic Forum, permasalahan utama yang menghambat investasi adalah korupsi dan ketidakpastian hukum yang melingkupinya,” ujar Herlambang P. Wiratraman, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga.


Read more: Mengapa Indonesia tidak membutuhkan Omnibus Law Cipta Kerja


Korupsi pula pada akhirnya berujung pada persaingan tidak sehat yang bisa merugikan ekonomi.

“Hal ini menjadi semakin kompleks ketika terjadi krisis kesehatan global yang memperkeruh permasalahan ekonomi,” ujar Agus.

Jadi, menurut Agus, mustahil mengharapkan Omnibus Law untuk menjadi solusi terhadap permasalahan ekonomi Indonesia di tengah pandemi COVID-19.

Menyelesaikan pandemi lebih penting

Ketiga alasan di atas menjadi dasar kuat mengapa pembahasan Omnibus Law harus ditunda.

Saat ini, seluruh perangkat negara termasuk pemerintah dan DPR harus fokus pada penanganan COVID 19. Insentif ekonomi tidak akan banyak berguna.

Dampak ekonomi pandemi ini akan sangat besar dan pemerintah pun sudah memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan turun ke 2.3% atau bahkan bisa menjadi negatif, sehingga sebaiknya energi bangsa berfokus pada mitigasi pandemi ini.

Bivitri Susanti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menyatakan pemerintah tidak bisa lagi berargumen bahwa Omnibus Law ini dibutuhkan agar Indonesia bisa bangkit dari krisis ekonomi COVID-19.

Menurutnya, pandemi ini telah menghancurkan tiang-tiang ekonomi dunia yang dijadikan asumsi Omnibus. Kelambatan pemerintah menangani COVID 19 akan berakibat juga pada lambatnya kemajuan perekonomian Indonesia.

Pilihan pemerintah untuk mengutamakan penyusunan Omnibus Law juga aneh, ujar Bivitri.

Ketika respons parlemen di seluruh dunia atas COVID-19 fokus pada bagaimana cara mengatasi dampak sosial virus tersebut, parlemen Indonesia justru bicara soal Omnibus Law.

“Aspirasi rakyat adalah supaya pandemi bisa diatasi dan bisa kembali mendapatkan pendapatan. Parlemen tidak seharusnya bicara hal yang lain-lain,” kata Bivitri.

Agus juga menilai pembahasan ini tidak etis ketika negara sedang terlanda wabah, namun membahas pertumbuhan ekonomi.

Agus juga mengatakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja hanya menyentuh problem ekonomi struktural negara dengan fokus utama untuk mempermudah investasi dan melonggarkan regulasi ketenagakerjaan dan bukan ke arah ekonomi fundamental.

Saat ini, problem ekonomi di Indonesia masih bersifat fundamental seperti peningkatan kapasitas di aspek teknologi, inovasi, serta kapasitas tenaga kerja.

Jika pemerintah gagal mengatasi permasalahan fundamental ini maka ekonomi Indonesia tidak akan bangkit dari stagnasi.

Menurut Agus, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini rata-rata hanya 0.5% per tahun dan jika pemerintah gagal mengatasi krisis maka dampaknya akan sangat signifikan.

“Jika pertumbuhan ekonomi hanya 2% tahun ini maka untuk kembali ke 5% seperti tahun lalu akan membutuhkan jalan yang panjang sekali,” ujar Agus.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now