Menu Close

Tiga cara agar Indonesia bisa naik kelas menjadi negara berpendapatan atas

Menteri BUMN Erick Thohir (kedua kiri) saat berkunjung ke PT Krakatau Steel di Cilegon, Banten, 13 Juli 2021. Antara Foto

Bank Dunia baru-baru ini menurunkan predikat Indonesia dari kelompok negara pendapatan menengah atas (upper middle income) ke kelompok negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income).

Penurunan kelas ini terjadi karena pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita Indonesia turun dari $4.050 (Rp 58,9 juta) tahun lalu menjadi $3.870 (Rp 56,3 juta) tahun ini. Penurunan status ini terjadi sesuai prediksi pada awal tahun lalu, karena pandemi COVID-19 telah memukul ekonomi seluruh negara dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Dalam kasus ini, beberapa riset dari negara lain menyimpulkan bahwa reindustrialisasi atau industrialisasi kembali perlu dilakukan agar Indonesia tidak hanya kembali menjadi negara pendapatan menengah atas, tapi juga naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi.

Cara ini bisa dilakukan dengan memaksimalkan sumber daya alam, meningkatkan partisipasi dalam rantai pasok global, dan penguatan ekosistem inovasi.

Foto udara, areal pabrik pengolahan ore nikel milik PT Antam Tbk di Kecamatan Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara, Sabtu (5/6/2021) Antara Foto

Perangkap pendapatan menengah

Kembali menjadi negara berpendapatan menengah atas penting bagi Indonesia, namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana Indonesia bisa mencapai status negara pendapatan tinggi (high income) pada masa depan.

Faktanya banyak negara yang terjebak dalam perangkap pendapatan menengah (middle income trap).

Dalam periode 1960-2008, dari 101 negara yang dikelompokkan ke dalam negara berpendapatan menengah, hanya 13 negara yang mampu naik kelas menjadi negara pendapatan tinggi, dua di antaranya Korea Selatan dan Jepang.

Perangkap middle income ini umumnya disebabkan oleh hilangnya faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi.

Negara-negara berpendapatan tinggi tidak lagi bisa mengandalkan buruh murah sebagai mesin produksi seiring meningkatnya upah dan kesejahteraan.

Di sisi lain, banyak negara berpendapatan menengah gagal mengubah industrinya dari produsen barang bernilai tambah rendah menjadi barang kompleks bernilai tambah tinggi yang berbasis inovasi dan teknologi.

Dalam Visi Indonesia Emas 2045, Indonesia menargetkan dapat mencapai status negara berpenghasilan tinggi pada 2036-2038. Untuk mencapai target tersebut, reindustrialisasi menjadi salah satu strategi yang mendesak untuk dilakukan.

Tiga cara reindustrialisasi

Belajar dari sejarah negara lain yang berhasil mencapai status negara maju pada masa lalu, mendorong reindustrialisasi dengan berfokus kembali ke sektor manufaktur adalah salah satu cara agar Indonesia bisa naik kelas.

Indonesia perlu mempertimbangkan tiga cara: optimalisasi sumber daya alam, meningkatkan partisipasi dalam rantai pasok global, dan penguatan ekosistem inovasi dalam strategi reindustrialisasinya.

Pertama, memanfaatkan keberadaan sumber daya alam menjadi kunci untuk reindustrialisasi di tengah semakin hilangnya keuntungan dari keberadaan buruh murah akibat adanya fenomena robotisasi dan industri 4.0 .

Sebagai salah satu negara dengan kandungan mineral yang tinggi, Indonesia harus menghindari kutukan sumber daya alam (resource curse). Sebutan tersebut selama ini dialamatkan kepada negara-negara miskin yang memiliki kekayaan alam melimpah namun masyarakatnya miskin dan pertumbuhan ekonominya rendah.

Memanfaatkan sumber daya alam untuk mendorong industrialisasi (resource-based industrialisation) sudah dilakukan oleh negara-negara maju lainnya pada masa lalu, seperti Jepang , Amerika Serikat, dan Australia.

Potensi industrialisasi berbasis sumber daya alam juga semakin tinggi sejalan dengan kemajuan teknologi.

Di sinilah mengapa pemerintah perlu mendorong hilirisasi atau pengolahan bahan mentah. Contohnya melalui pembukaan pabrik baterai mobil listrik yang memanfaatkan kekayaan Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia.

Cara kedua adalah mendorong produk Indonesia agar digunakan di rantai pasok global.

Saat ini, produksi suatu barang tidak lagi dilakukan di satu tempat, tapi terpecah di sejumlah negara.

Fenomena ini memberikan peluang kepada negara berkembang karena negara-negara tersebut tidak perlu membangun keseluruhan rantai pasok untuk dapat melakukan ekspor, tapi cukup terlibat dalam rantai pasok yang sudah ada.

Akan tetapi, berpartisipasi dalam rantai pasok global saja tidak cukup.

Dalam jangka panjang, Indonesia perlu mengembangkan diri secara bertahap, yaitu bergeser dari partisipasi dalam produksi barang dengan nilai tambah rendah ke produksi barang dengan nilai tambah tinggi.

Pengembangan ini tidak bisa dilakukan secara instan, tapi perlu dilakukan secara bertahap dengan fokus di sektor unggulan Indonesia. Lalu secara bertahap membangun keahlian di sektor lain yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.

Model strategi pengembangan bertahap ini menjadi kunci negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan mencapai negara pendapatan tinggi.

Sebagai contoh, Jepang mengembangkan produksi dalam rantai pasok global secara bertahap mulai dari produksi besi, komponen elektronik, mobil, hingga semikonduktor.

Selain itu, peran aktif pemerintah melalui kebijakan industri (industrial policy) juga menjadi kunci keberhasilan negara-negara Asia Timur masuk dan kemudian berkembang di rantai pasok global.

Cara ketiga adalah dukungan riset dan inovasi yang merupakan tulang punggung dari reindustrialisasi.

Keberhasilan Korea Selatan berubah dari negara penghasil sayur dan tekstil menjadi negara inovator di bidang teknologi dan elektronik didorong oleh kebijakan teknologi dan inovasi.

Salah satunya terlihat dari jumlah paten yang dikeluarkan oleh Korea Selatan yang terus meningkat.

Rendahnya inovasi Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari jumlah SDM lulusan pendidikan tinggi yang masih terbatas hingga pendanaan riset yang masih rendah.

Berdasarkan data Bank Dunia, pendanaan riset Indonesia hanya 0,2% dari total PDB.

Jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara pendapatan tinggi yang mencapai 2,5%. Bahkan, pendanaan riset Indonesia masih rendah dibandingkan rata-rata negara berpendapatan menengah lainnya yang mencapai 1,5%.

Ke depannya, tanggung jawab memperkuat riset dan inovasi bukan lagi hanya tugas pemerintah seorang diri.

Penguatan ekosistem inovasi yang melibatkan universitas maupun korporasi besar menjadi kunci bagaimana banyak negara berhasil naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now