Menu Close

Tiga model solusi atasi kerentanan kesehatan dunia yang makin kompleks dan lintas disiplin

Kesehatan Planet mengajukan cara berpikir bahwa kesehatan kita dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks dan solusinya juga mesti menyeluruh. Anna Shvets/Pexel

Setidaknya 10.000 spesies virus memiliki kemampuan untuk menginfeksi manusia. Namun, saat ini, sebagian besar virus beredar secara diam-diam pada mamalia liar.

Kondisi penyebaran virus seperti ini didorong oleh perubahan iklim dan penggunaan lahan yang memberikan peluang pertukaran virus antara spesies satwa liar (mamalia) yang sebelumnya terisolasi secara geografis.

Colin J. Carlson dan koleganya dari Center for Global Health Science and Security Georgetown University Washington DC melakukan simulasi potensial pertukaran virus pada masa depan dengan menggunakan model filogeografi jaringan virus mamalia. Mereka memproyeksikan pergeseran jangkauan geografis untuk 3.139 spesies mamalia dengan skenario perubahan iklim dan keterbatasan area hutan hijau pada 2070.

Mereka memprediksi bahwa spesies akan berkumpul di satu area dengan karakteristik ketinggian menjulang, penuh dengan keanekaragaman hayati, dan di daerah dengan kepadatan populasi manusia yang tinggi seperti di Asia dan Afrika.

Potensi dan kombinasi inilah akan menyebabkan penularan lintas spesies 4.000 kali lebih besar dari virus yang dibawa secara alamiah oleh mamalia pada masa depan.

Untuk mengatasi masalah serius dan kompleks ini, para ilmuwan dan otoritas kesehatan dunia menawarkan tiga model pendekatan yang paling berpengaruh hingga saat ini: One Health, EcoHealth dan Planetary Health.

Penyebaran virus dari kelelawar terkait krisis iklim

Kemampuan mamalia dalam penyebaran virus antarspesies dipengaruhi oleh kemampuan dan daya jelajah mereka untuk pindah ke lokasi dan lingkungan baru yang sesuai. Oleh karena itu, penelitian tentang pola migrasi mamalia terhadap penyebaran virus antarspesies dibatasi oleh potensi spesies yang tidak dapat terbang.

Dalam silsilah penyebaran mamalia sebagai inang reservoir virus, kelelawar mempunyai kemampuan yang unik. Mereka punya kapasitas pergerakan lintas benua dengan pola migrasinya. Kelelawar menyumbang sebagian besar penyebaran virus baru dan kemungkinan akan terus berbagi virus di sepanjang jalur evolusi. Ini akan memfasilitasi kemunculan beberapa virus masa depan pada manusia.

Temuan yang penting dari prediksi yang dilakukan oleh Carlson ini lebih khusus menyatakan bahwa pola transisi ekologis ini kemungkinan sudah berlangsung sejak lama. Upaya-upaya yang dilakukan banyak pihak untuk menahan pemanasan iklim global di bawah 2°C dalam abad ke-21 tidak akan mengurangi penyebaran virus pada masa depan.

Camilo Mora koleganya dari Universitas Hawai Manoa telah menjelaskan dampak krisis iklim bagi kesehatan manusia yang menyatakan “58% penyakit menular manusia dapat diperburuk oleh perubahan iklim”.

Artikel tersebut memberi bukti lebih lanjut mengenai dampak yang lebih buruk yang diakibatkan krisis iklim bagi kesehatan utamanya penyakit menular. Setidaknya dari 375 penyakit manusia, terdapat 218 penyakit di antaranya atau lebih dari setengahnya dapat dipengaruhi oleh krisis iklim.

Tiga model: atasi kerentanan kesehatan pada masa depan

Sebagian besar cerita film fiksi ilmiah didominasi pandangan distopia (kondisi kerusakan) tentang masa depan. Film komedi hitam apokaliptik, “Don’t Look Up” misalnya, bercerita tentang ilmuwan yang menemukan sebuah komet yang menuju Bumi dengan potensi menyebabkan kepunahan makhluk hidup ini.

Film ini kemudian menjadi metafora bagi semua pihak dalam mengatasi problem kompleks yang mengancam bumi, misalnya krisis iklim dan pandemi COVID-19.

Beberapa pendekatan yang menyeluruh (holistik) dan bersifat lintas disiplin (interdisipliner) sudah ada, untuk menjadi kerangka acuan mengatasi situasi krisis kesehatan.

Kesehatan Planet memperkenalkan konsep kesehatan planet sebagai suatu sistem. ERIC MARTY | FORBES

Setidaknya ada tiga model yang paling berpengaruh hingga saat ini, yaitu One Health, EcoHealth dan Planetary Health. Pendekatan ini mungkin tampak sama, karena semuanya mempromosikan sebuah pemikiran bahwa manusia dan spesies hewan berbagi kondisi planet, lingkungan hidup, kerentanan infeksi, dan aspek-aspek kesehatan yang sama. Namun ketiga konsep dan pendekatan ini mempunyai fokus dan nilai yang berbeda.

One Health digambarkan sebagai pendekatan yang menggabungkan kajian ilmu kesehatan masyarakat dan kedokteran hewan. Dalam kajian kesehatan, pendekatan EcoHealth memiliki lebih banyak fokus pada keanekaragaman hayati, dengan penekanan pada semua makhluk hidup, termasuk parasit, organisme uniseluler, dan mungkin juga virus memiliki nilai dan layak untuk diberikan perhatian dalam upaya menjaga kesehatan manusia.

Namun dengan meningkatnya kerentanan dunia sebagai akibat dari dampak buruk krisis iklim, maka dua pendekatan ini dinilai tidak cukup mendorong kerja sama antar pihak untuk memastikan situasi kesehatan bagi penduduk dunia.

Sebuah paradigma baru dinamakan Planetary Health (Kesehatan Planet) yang dirumuskan oleh Planetary Health Alliance (PHA). Planetary Health adalah kajian transdisipliner yang berorientasi pada solusi dan sebuah gerakan sosial yang berfokus pada analisis dan penanganan dampak yang ditimbulkan oleh manusia terhadap sistem alami bumi terhadap kesehatan manusia dan semua kehidupan di Bumi.

Pendekatan ini dianggap bermanfaat untuk menghadapi ancaman yang berkembang dan kompleks di bidang kesehatan, tidak terkecuali secara global.

Pendekatan Planetary Health mengharapkan seluruh penduduk dunia dapat mempunyai kesadaran yang sama untuk mengembalikan sistem alami planet kita pada situasi yang alamiah. Ini dilakukan setidaknya untuk menghindari kerusakan bumi lebih besar dan berdampak pada kesehatan manusia pada masa depan.

Atas dasar kesadaran bersama itu kemudian lahirlah Deklarasi Sau Paulo pada 6 Oktober 2021. Rekomendasi dari deklarasi lintas sektor ini merupakan hasil dari pertemuan tahunan aliansi Kesehatan Planet yang diikuti secara global oleh hampir 350 peserta dari lebih dari 70 negara yang didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Deklarasi ini muncul didasari oleh kondisi pandemi COVID-19 yang muncul sebagai sinyal bahwa diperlukan kesadaran dan solusi bersama untuk keberlangsungan bumi.

Namun begitu deklarasi Planetary Health dianggap masih belum dapat menjawab penanggulangan risiko krisis kesehatan ke depan secara menyeluruh. Narasi yang tersedia hingga kini, lebih diterima bahwa kerusakan hutan, urbanisasi yang cepat dan pertumbuhan populasi mendorong adanya peristiwa zoonosis (penyakit dari hewan menular ke manusia).

Zoonosis seolah hanya terjadi sebagai akibat dari peningkatan kontak antara manusia dan hewan. Ditambah lagi analisis genomik tidak dapat digunakan untuk memprediksi hubungan mekanistik antara perubahan lingkungan global dan kemunculan pandemi, terutama karena kelangkaan data empiris dan ketergantungan pada peninjauan studi dan basis data.

Perlu integrasi

Kita perlu perubahan kerangka kerja yang cukup besar untuk mengubah situasi ini. Penting untuk mengintegrasikan pendekatan Planetary Health secara komprehensif di seluruh komunitas ilmiah dunia, tata kelola riset yang jelas dan terbuka dan mendorong hubungan interdisipliner dengan isu-isu krisis iklim, yang saat ini merupakan ancaman paling langsung terhadap kehidupan (biosfer) planet kita.

Program-program yang seharusnya dilakukan oleh seluruh stakeholder dunia adalah dengan menggabungkan dinamika ekosistem, termasuk satwa liar, penyakit menular, paparan zat berbahaya, pasokan makanan, dan kesehatan manusia.

Program interdisipliner holistik seperti ini adalah satu-satunya cara yang kita punya untuk mencegah kerentanan dan krisis kesehatan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) pada 2030.

Artikel ini merupakan salah satu pemenang Kompetisi Menulis dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-5 The Conversation Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now