Menu Close
Salah satu pertunjukan teater di Medan. Ilham Rifandi/The Conversation Indonesia.

Tuntutan zaman mereduksi makna identitas kultural dalam pertunjukan teater di Medan

Medan, ibu kota Sumatra Utara, sekitar tahun 1980-an, merupakan kota yang kerap disebut sebagai kantong pelaku teater di Indonesia. Saat itu, teater-teater di Sumatra Utara sudah terbiasa mengadakan pertunjukan hanya dengan bermodalkan semangat dan kemandirian. Tanpa dukungan sponsor, pertunjukan dapat berlangsung bukan hanya di gedung-gedung pertunjukan, namun juga di berbagai balai desa atau kelurahan. Tak heran beberapa sanggar teater Medan begitu terkenal hingga ke kancah nasional.

Teater-teater di Medan, Opera Batak misalnya, memiliki sejarah panjang yang sudah menunjukkan unsur-unsur modernitas sejak lama. Mulai dari penggunaan nama ‘opera’, pembuatan naskah, pementasan keliling, hingga pengaturan karcis yang sudah diinisasi sejak lebih dari 100 tahun lalu. Ini menunjukkan posisi teater Medan sebagai salah satu teater yang berperan penting dalam perkembangan teater di Indonesia.

Meski tidak setenar dulu, teater di Medan masih memberikan kebebasan dalam hal ruang berkesenian, dibandingkan daerah lainnya di Sumatra. Selain itu, beberapa geliat usaha untuk menghidupkan kembali kejayaan teater Medan juga semakin terlihat, terlepas dari adaptasi yang banyak dilakukan karena gempuran jaman.

Oleh karena itu, analisis yang melihat bagaimana teater di Medan mengalami berbagai perubahan sebagai respons atas lingkungan di sekitarnya akan sangat menarik, terutama dalam hal penggunaan identitas kultural. Analisis ini dapat menjadi batu pijakan untuk melihat kecenderungan yang sama, yang juga banyak dialami teater-teater di daerah lain di Indonesia.

Sebelum kemerdekaan: teater adalah bagian dari perjuangan

Sebelum masa penjajahan Jepang, teater Medan berkembang pesat hingga menarik penonton yang memadati gedung kesenian. Pada masa itu, fungsi panggung tidak sekadar untuk hiburan, melainkan sebagai wahana ekspresi perjuangan kemerdekaan. Hal ini dilakukan terutama oleh perkumpulan Sandiwara Diguliana dan Rasuna Wis, yang anggotanya baru saja kembali dari pengasingan di Tanah Merah (Boven Digul) di Papua (dulu Irian Barat).

Di luar kota Medan juga terdapat teater dengan visi mobilisasi perjuangan yang sama. Sebut saja kelompok Opera Batak Tilhang Parhasapi yang sempat berganti nama menjadi Tilhang Batak Hindia Toneel untuk menghindari konfrontasi dengan badan intelijen politik Belanda. Tahun 1940, teater modern terkemuka lainnya bermunculan di Medan, seperti Surya Negara, Nirwana, Sriwidjaya, Sri Timur, Pelita Timur, dan lain-lain.

Era sebelum abad 21: kental unsur verbalitas

Sekitar tahun 1960-an, Arif Husin Siregar, salah seorang wartawan di Medan, menginisiasi lahirnya kelompok Actor Studio yang produktif mementaskan beberapa pertunjukan di Pekan Diskusi Teater. Actor Studio amat lekat dengan drama-drama karya tokoh-tokoh teater seperti Mansur Samin, Theodore Apstein, dan Soelarto. Pada periode ini, kecenderungan teatrikal yang diusung adalah teater yang bertendensi pada verbalitas atau menekankan komunikasi verbal seperti dialog dan dramatika.

Namun, pada tahun 1963, terjadi perbedaan visi di dalam Actor Studio hingga memicu munculnya Teater Nasional yang diinisiasi oleh Sori Siregar. Teater Nasional memproklamirkan istilah “dus maxi kata” (memaksimalkan kata) sebagai tandingan teater minikata milik W.S. Rendra yang meminimalisir penggunaan kata.

Teater Medan kontemporer

Di antara tahun 2006-2023, muncul eksistensi kelompok-kelompok baru seperti Rumah Mata, Kantor Teater dan Aka Bodi yang bertendensi pada teater fisikal atau teater yang menggunakan gestur sebagai komunikasi utama di atas panggung.

Identitas kultural dan lokalitas sering menjadi inspirasi seniman dalam mencipta karya. Namun pada periode ini, pertunjukan teater di Medan tampak lebih menekankan lokalitas seperti sumber penceritaan, tindak tutur, unsur visual, ataupun isu-isu fenomenal daripada sebelumnya.

Salah satunya adalah kelompok Bandar Peran yang sangat produktif dalam kurun waktu 2021-2023. Bandar Peran kerap memanfaatkan identitas kultural dari berbagai etnis di Sumatra Utara sebagai medium gagasan untuk membawa isu kontemporer, semisal dalam pertunjukan bertajuk “Opera Batak Si Mardan: Jejak Kasih Ibu”.

Sejak proses pra pertunjukan, Bandar Peran menyebutkan bahwa pertunjukan tersebut merupakan interpretasi dari legenda Sampuraga walaupun judul dari pertunjukannya adalah Si Mardan (sering ditulis juga sebagai Simardan).

Sampuraga dan Simardan adalah cerita rakyat yang merupakan perwujudan nilai-nilai spiritual yang diyakini masyarakat Mandailing, Tapanuli, dan Melayu Tanjung Balai. Pemanfaatan cerita rakyat tersebut adalah strategi [cultural relativity] untuk membuat calon penonton terhubung dengan kedekatan budaya yang ditawarkan.

Identitas kultural yang merepresentasikan diri calon penonton berubah menjadi daya pikat. Ditambah dengan ditonjolkannya nama Opera Batak pada publikasi tersebut yang membangkitkan kerinduan akan tontonan berbasis lokalitas.

Sekadar strategi pemasaran?

Bandar Peran merupakan salah satu kelompok teater ternama di kota Medan berkat kecakapannya dalam memasarkan produk pertunjukan sehingga dapat meraup pangsa penonton tersendiri. Segmentasi khalayaknya didominasi oleh siswa sekolah menengah atas dan sebagian lagi adalah mahasiswa.

Sayangnya, semakin ke sini, identitas kultural terkesan sebagai strategi pemasaran belaka. Meski merujuk pada Opera Batak, kriteria dasar penggunaan bahasa Batak di dalamnya tidak dipenuhi. Selain itu, Opera Batak semestinya lahir dari masyarakat Batak maka ceritanya bersumber dari legenda Batak, perjuangan masyarakat Batak, mitologi, atau kepercayaan tradisional Batak. Mestinya, terdapat pula Parmusik (pemusik) dan Panortor di atas pentas. Sehingga, pertunjukan Si Mardan dari Bandar Peran cukup disebut teater modern alih-alih Opera Batak.

Tema pertunjukan juga terpaut jauh dengan cerita Sampuraga dan Si Mardan yang dipublikasikan. Pertunjukan tersebut justru mengisahkan hubungan interpersonal antar karakter yang berkisar pada kesetiaan cinta terhadap kekasih nan merantau.

Berdasarkan penelaahan terkait naskah drama yang digunakan pada pertunjukan tersebut ternyata merupakan reproduksi naskah drama Opera Minangkabau yang merupakan hasil dekonstruksi cerita rakyat Malin Kundang.

Meskipun narasi pertunjukan disusun secara apik, agaknya sutradara kurang teliti akan problem antropologisnya. Bila seni menjadi perwujudan nilai, ideologi dan kepercayaan masyarakatnya, maka sutradara mesti memahami problem antropologis masyarakatnya yang dalam kasus ini yaitu masyarakat Batak. Nilai yang dipercaya masyarakat Minangkabau dengan masyarakat Batak tentunya berbeda, tidak bisa diseragamkan begitu saja.

Pencampuran nilai yang asal membuat setiap karakter yang dihidupkan di panggung menjadi manusia yang kehilangan identitas dan asal-usul serta tidak terhubung satu sama lain (disartikulatif). Hal ini diperparah dengan aksi joged ala TikTok dari karakter dalang.

Tokoh Dalang yang konyol sebagai daya tarik pertunjukan. Ilham Rifandi/The Conversation Indonesia.

Selamat datang di era ‘form follows fun’

Terlepas dari persoalan identitas dan referensi antropologis, pertunjukan Opera Batak Si Mardan tetap diminati oleh kaum remaja karena unsur penceritaan yang renyah dan adanya kedekatan budaya dengan penonton. Inilah yang kerap disebut form follows fun: proses penggunaan berbagai sumber atau referensi dalam produksi seni karena unsur kesenangan semata. Bandar Peran dalam hal ini mereproduksi berbagai sumber untuk menghasilkan efek permukaan tanpa kedalaman terhadap referensi.

Kecenderungan dalam perwujudan karya oleh Bandar Peran ini erat kaitannya dengan estetika Kitsch. Kitsch dipahami sebagai reproduksi berbagai sumber seni termasuk tradisi yang mempunyai nilai sakral, mitologis, dan spiritual yang menghasilkan kesan permukaan. Opera Batak Si Mardan bersumber dari beberapa tradisi etnis seperti Batak Toba, Melayu, Mandailing, Tapanuli, serta dan seni teater modern dari Minangkabau.

Praktik demikian erat kaitannya dengan industri budaya yang menggunakan teknik reproduksi, pengulangan dan peniruan terhadap sesuatu yang sudah ada. Kebutuhan untuk tontonan yang ringan dan percepatan produksi tampaknya menjadi terobosan baru bagi seni teater di kota Medan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now