Menu Close
ELUTAS/shutterstock.

Uang kuliah mahal: mengapa PTN-BH jadi akar masalahnya?

Berita naiknya biaya kuliah di kampus-kampus negeri, baik kampus berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) maupun yang hendak menjadi PTN-BH sedang marak dalam beberapa minggu terakhir. Komponen yang awalnya akan dinaikkan adalah Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI)—sebelumnya disebut Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI).

Beberapa pihak menyebutkan bahwa rencana kenaikan UKT dan uang sumbangan untuk kampus disebabkan oleh inflasi. Namun, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) menyatakan, penyebabnya bukan inflasi, melainkan adanya komponen baru yang dibebankan kepada mahasiswa. Komponen ini berasal dari beberapa program paket kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) berupa magang satu hingga dua semester di luar kampus.

Meskipun kenaikan ini akhirnya dibatalkan, terdapat masalah yang lebih fundamental yang menjadi akar dari problematika UKT dan IPI, yakni kebijakan PTN-BH itu sendiri.

Persoalan mendasar PTN-BH

Kebijakan PTN-BH dilegitimasi oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengatur bahwa kampus negeri terdiri dari PTN Satuan Kerja (Satker), PTN Badan Layanan Umum (BLU), dan PTN-BH. Sebagai turunannya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 88 Tahun 2014 tentang perubahan PTN menjadi PTN-BH. Peraturan ini kemudian direvisi menjadi Permendikbud No. 4 Tahun 2020.

PTN-BH dipahami sebagai syarat untuk menjadi perguruan tinggi unggulan dan berkelas dunia. Sebab, PTN-BH menawarkan otonomi dan fleksibilitas dalam pengelolaan kampus (lihat Permendikbud No. 88 Tahun 2014 dan UU No. 12 pasal 65).

Dalam peluncuran Permendikbud No. 4 Tahun 2020, yang semakin memudahkan PTN berubah menjadi PTN-BH, Mendikbudristek Nadiem Makarim menyatakan bahwa dengan berbadan hukum PTN, perguruan tinggi akan lebih mandiri dan dinamis. Nadiem juga menyatakan, pemerintah tidak akan mengurangi subsidi, sehingga kampus berstatus PTN-BH tidak mengalami kerugian finansial.

Secara tertulis memang tidak ada pasal dan ayat yang tegas menyatakan bahwa pemerintah mengurangi pendanaan untuk PTN-BH. Namun, tendensi ke arah pengurangan pendanaan sangat jelas, karena yang ditawarkan oleh PTN-BH adalah fleksibilitas dan otonomi pengelolaan keuangan kampus. Pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 pasal 65 ayat (3) misalnya, terdapat uraian terkait pemisahan kekayaan PTN-BH dari negara dan kewenangan membuka usaha dan mengelola dana abadi.

Pasal 89 ayat (2) dari undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa pendanaan dari pemerintah untuk PTN-BH bentuknya adalah subsidi atau sejenisnya yang sesuai ketentuan undang-undang. Berikutnya, pada Permendikbud No. 4 Tahun 2020 pasal 2 dan 4 menyatakan syarat menjadi PTN-BH, terutama yang harus diperhatikan adalah syarat kelayakan finansial. Calon PTN-BH harus mampu mengelola aset dengan baik dan mampu menggalang dana selain biaya pendidikan dari mahasiswa.

Kalau status PTN-BH tidak bertendensi melepas pembiayaan pemerintah, maka tidak perlu ada pemisahan kekayaan PTN-BH dari negara dan tidak perlu syarat kemampuan finansial untuk jadi PTN-BH, termasuk juga tidak perlu mampu menggalang dana sendiri dan diperbolehkan membuka usaha. Hal tersebut diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2015 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN-BH pasal 15 yang menyatakan bahwa PTN-BH dapat memungut uang kuliah dari mahasiswa.

Secara hukum, ketika satu entitas disebut sebagai badan hukum artinya ia menjadi subjek hukum yang berdiri sendiri dengan hak dan kewajibannya. Ketika PTN diubah menjadi PTN-BH, artinya ada hak dan kewajiban yang semula ditanggung oleh pemerintah kemudian beralih menjadi hak dan kewajiban dari PTN-BH tersebut. Dengan kata lain, perubahan status PTN menjadi PTN-BH adalah ‘pisah ranjang’ tanggung jawab pembiayaan atau pengelolaan keuangan kampus.

Konsekuensi logis dari perubahan status tersebut adalah bertambahnya beban PTN untuk menggalang dana sendiri. Meskipun syarat menjadi PTN-BH dilihat dari kemampuan menggalang dana selain dari mahasiswa, praktik di lapangannya berbeda. Sebagian besar PTN-BH terbukti tidak dapat menutup kebutuhan operasional, apalagi mengembangkan kampus, hanya berdasarkan subsidi pemerintah yang makin terbatas atau bahkan berkurang. Sehingga, hal paling mudah adalah menaikkan UKT dan IPI.

Dalam hal ini, UKT naik adalah hal yang wajar ketika sebatas mengikuti laju inflasi. Tapi jika naiknya ‘ugal-ugalan’ seperti rencana kemarin, maka jelas ada kebutuhan PTN—terutama PTN-BH—yang tidak dapat terpenuhi, baik karena minimnya subsidi dari pemerintah, maupun ketidakmampuan menggalang dana selain dari mahasiswa. Dalam hal ini Permendikbud No. 2 Tahun 2024 tentang UKT dibuat agar pihak kampus lebih merdeka dalam mengaransemen bagaimana caranya menaikkan pendapatan dari mahasiswa.

Potensi dampak negatif PTN-BH

Meski kenaikan UKT maupun IPI adalah konsekuensi logis dari kebijakan PTN-BH yang menjadikan subsidi pemerintah stagnan atau bahkan berkurang, saya mengidentifikasi beberapa dampak negatifnya sebagai berikut:

Pertama, kalangan menengah ke bawah menjadi sulit mengenyam pendidikan tinggi negeri yang berkualitas. Pernyataan Kemdikbudristek bahwa pendidikan tinggi bersifat tersier dan tidak wajib seolah menunjukkan bahwa pemerintah tidak berupaya serius mengatasi masalah tingginya UKT dan IPI di kampus negeri, terutama PTN-BH. Pemerintah seolah menyerahkan pendidikan tinggi negeri pada mekanisme pasar, yakni hanya yang berduit yang mampu mengenyam pendidikan tinggi.

Dalam jangka pendek, bukan tidak mungkin akan banyak orang tua yang terjebak hutang, termasuk pinjaman online (pinjol) untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.

Sementara, dampak jangka panjangnya, kita akan sulit mengejar angka partisipasi kuliah warga Indonesia yang baru sekitar 6%—jauh dari angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi Malaysia, Thailand, apalagi Singapura. Akibatnya, kualitas sumber daya manusia Indonesia akan sulit bersaing di kancah global.

Kedua, selain menaikkan uang kuliah, kampus PTN-BH juga potensial membuka lebih banyak kelas untuk meningkatkan pemasukan selain dari dana pemerintah, termasuk menambah persentase calon mahasiswa dari jalur seleksi mandiri menjadi kisaran 50% atau bahkan lebih.

Usaha menambah kelas berisiko menurunkan kualitas perkuliahan. Apalagi jika fasilitas seperti ruang kelas belum ditambah, dan jumlah dosen terbatas. Kelas-kelas besar yang dibuka dengan dalih efisiensi anggaran, menurunkan kemampuan dosen dalam mengelola kelas. Mahasiswa akan kesulitan fokus mengikuti perkuliahan. Di sisi lain, bagi kampus swasta, makin banyak calon mahasiswa kuliah di perguruan tinggi negeri, makin sedikit calon mahasiswa yang akan mereka terima.

Ketiga, dengan menjadi PTN-BH, otomatis kampus negeri mendapat mandat baru mencari pendapatan. Akibatnya, konsentrasi kampus terpecah, termasuk dosen. Kampus-kampus PTN-BH eks-Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, yang tidak memiliki karakter dan relasi dengan dunia industri tentu tidak mudah memperoleh pendapatan. Sebab, orientasi kampus-kampus ini lebih ke dunia pendidikan, bukan industri yang komersil. Risikonya adalah iklim ilmiah di kampus menurun, berganti iklim entrepreneur untuk mencari duit, antara lain dengan membuka banyak usaha.

Dengan demikian, karakter manajemen PTN-BH sebenarnya mirip dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Ini membenarkan kritik bahwa PTN-BH hanyalah bentuk privatisasi pendidikan tinggi negeri.

Selama pemerintah tidak menaikkan proporsi subsidi untuk PTN, termasuk PTN-BH, maka naiknya biaya kuliah memang tak terhindarkan, karena selain ada inflasi, kampus juga perlu dukungan dana untuk operasional dan pengembangan institusi.

Namun, tidak seharusnya pemerintah berdiam diri dan membiarkan uang kuliah naik mengikuti mekanisme pasar bebas. Pemerintah justru perlu memandang pendanaan untuk PTN sebagai investasi negara dan pelaksanaan amanat konstitusi (UUD 1945), agar warga negara, terutama kelas menengah ke bawah dapat mengakses pendidikan tinggi, untuk kemudian berkontribusi bagi bangsa dan negara.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 185,600 academics and researchers from 4,982 institutions.

Register now