Menu Close
Erik Driessen dari School of Health Professions Education, Universitas Maastricht, Belanda, menjelaskan tentang keahlian adaptif di Universitas Andalas, Sumatra Barat. Hirowati Ali/The Conversation Indonesia.

Universitas perlu ajarkan keahlian adaptif bagi mahasiswa kedokteran untuk menghadapi tantangan masa kini

Sistem layanan kesehatan mengalami perkembangan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sebut saja teknologi telemedicine yang memungkinkan komunikasi antara dokter dengan pasien tanpa terikat waktu dan tempat. Ada juga teknologi pengurutan genom yang mampu mendeteksi kelainan genetik lebih dini, sehingga dokter dapat memberikan terapi yang tepat sasaran (precision medicine).

Situasi ini menciptakan tantangan baru yang perlu dijawab oleh para dokter. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan keahlian adaptif (adaptive expertise), untuk melatih pengambilan keputusan klinis yang tidak hanya berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, tapi juga menggali kondisi pasien dari segi sosial-ekonomi, dan kondisi lain yang mungkin berkontribusi pada penyakitnya.

Keahlian adaptif ini perlu diajarkan pada mahasiswa kedokteran karena akan membantu mereka membuat keputusan klinis dengan lebih baik ketika sudah menjadi dokter.

Apa itu keahlian adaptif?

Menurut Erik Driessen dari School of Health Professions Education, Universitas Maastricht, Belanda, keahlian adaptif merupakan kombinasi antara keilmuan kedokteran dengan adaptasi terhadap situasi yang berbeda dari pengalaman yang ada sebelumnya. Keahlian ini akan menentukan keputusan klinis terhadap kondisi pasien.

Dalam kondisi pasien yang terinfeksi bakteri, contohnya, dokter akan meresepkan antibiotik. Namun, jika saat ditelusuri lebih lanjut, pasien tidak hanya terinfeksi bakteri, tapi juga disertai depresi dan terkendala biaya pengobatan, maka tidak hanya antibiotik yang diberikan.

Kondisi ini memerlukan keahlian adaptif yang menekankan penggunaan pengetahuan secara fleksibel dan kemampuan untuk menghasilkan solusi baru dari pemecahan masalah sehari-hari sebagai proses pengambilan keputusan klinis yang penting.

Mengapa dokter perlu memiliki keahlian adaptif?

Dalam praktiknya, dokter bekerja dalam suatu sistem yang kompleks, mulai dari epidemi penyakit hingga sistem layanan kesehatan, yang saling terhubung satu sama lain. Di tengah kompleksitas tersebut, ilmu probabilistik dan statistik tidak dapat sepenuhnya memberikan informasi perawatan yang bisa dipukul rata untuk semua pasien.

Dokter memeriksa pasien demam berdarah dengue (DBD). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/nym.

Sebagai contoh, penanganan kadar gula darah bagi pasien diabetes mellitus tipe 1. Penanganan ini membutuhkan kombinasi keilmuan mulai dari biomedik (seperti kadar gula darah, pemberian insulin), fisiologi tubuh pada kondisi diabetes, output (latihan fisik), kondisi patologis yang tidak terduga seperti muntah saat mengkonsumsi makanan atau obat, hingga persoalan layanan pasien.

Dalam situasi tersebut, dokter setidaknya dihadapkan pada kerumitan apakah akan mempertimbangkan obat tambahan atau pemeriksaan penunjang yang bisa memperbaiki kondisi pasien tanpa adanya muntah atau pengobatan dengan efek samping minimal (best possible care). Dokter juga perlu memutuskan apakah akan memberikan perawatan jarak jauh melalui telemedicine atau sistem di rumah sakit.

Dalam perawatan pasien, kompleksitas klinis yang secara signifikan mendasari proses diagnostik seperti di atas umum terjadi. Mulai dari kompleksitas penyakit yang terkadang tidak dapat diprediksi, kompleksitas teknologi dan lain sebagainya.

Karena itu, dokter memerlukan keahlian adaptif untuk mengatasi berbagai kompleksitas tersebut sehingga tercapai kualitas dan kesehatan pasien yang lebih baik.

Keahlian adaptif dalam pendidikan dokter

Pembelajaran keahlian adaptif akan melatih kemampuan untuk memahami konsep dasar yang kuat serta menggunakannya dalam aplikasi klinis, sesuai konteks dan situasi yang berbeda. Ini mengapa keahlian adaptif penting untuk dipelajari di fakultas kedokteran.

Selama ini, mahasiswa kedokteran mempelajari ilmu dasar kedokteran dan ilmu klinis berdasarkan pedoman pembelajaran yang telah ada selama bertahun-tahun. Dengan berkembangnya ilmu kedokteran, mahasiswa kedokteran perlu mengasah keahlian adaptif untuk melatih kompetensi dalam pengambilan keputusan, sekaligus membantu mempersiapkan mereka menjadi pembelajar seumur hidup (long-life learning).

Sebagai pembelajar seumur hidup, mahasiswa kedokteran harus aktif “membaca” perkembangan ilmu kedokteran dan mampu merangkul persektif baru serta hubungan antara berbagai keterbaruan di dunia kedokteran.

James N.Woodruff, dokter penyakit dalam di Chicago, Amerika Serikat (AS), menyatakan, penggunaan kurikulum kedokteran yang menggabungkan ilmu kedokteran dasar dan pengalaman klinis sejak awal dapat mendorong mahasiswa kedokteran untuk termotivasi dalam penanganan perawatan pasien yang komprehensif. Ini meningkatkan peluang pengembangan nilai-nilai inti professional kedokteran maupun interprofesional.

Elemen keahlian adaptif

Keahlian adaptif mencakup dua elemen yaitu keterampilan berpikir kritis (critical thinking skills) dan kemampuan metakognitif seperti refleksi (reflection) dan perhatian (mindfulness).

Mengapa demikian?

1. Crictical thinking dan problem solving

Pat Croskerry, profesor kedokteran darurat dari Dalhousie University, Kanada, menjelaskan bahwa pengajar di fakultas kedokteran perlu melatih pemikiran kritis dan pemecahan masalah dalam penilaian klinis. Harapannya, mahasiswa terlatih menghadapi segala bentuk kemungkinan risiko membuat kesalahan dan belajar mencari solusi yang lebih baik.

2. Metakognisi

Metakognisi adalah suatu proses pembelajaran terhadap suatu keilmuan dengan pemahaman mendalam sehingga menghasilkan efisiensi dalam berpikir dan belajar.

Metakognisi ini terdiri dari dua kemampuan kognitif yang penting dalam proses pembelajaran keahlian adaptif, yaitu kemampuan berpikir kritis (critical thinking skills) dan refleksi (reflection). Kemampuan berpikir kritis memerlukan proses konseptual, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi terhadap keilmuan yang didapat dari observasi, pengalaman, refleksi dan komunikasi.

Metakognisi bertujuan untuk membangun kedalaman pemahaman terhadap suatu pembelajaran saat ini berdasarkan pembelajaran terdahulu. Contohnya, perkembangan teknologi kedokteran dan digital healthcare membuat mahasiswa kedokteran perlu melatih kemampuan untuk belajar dan beradaptasi dengan hal baru. Metakognisi, terutama refleksi dan perhatian, serta pemikiran berkelanjutan melalui inovasi dan kreativitas dalam hubungan interdisipliner juga penting untuk meningkatkan keahlian adaptif mahasiswa kedokteran.

Berdasarkan kebutuhan ini, institusi perlu mempertimbangkan skor rationality quotient (RQ), atau kemampuan berpikir rasional dan membuat keputusan yang baik dari para kandidat mahasiswa kedokteran. Ini karena individu dengan kecerdasan intelektual atau intelligence quotient (IQ) tinggi tidak selalu dapat memberikan respon adaptif, penilaian yang baik terhadap suatu masalah, dan pengambilan keputusan yang baik.

Institusi juga dapat mempertimbangkan pemilihan kandidat mahasiswa yang menunjukkan keterlibatan dalam ilmu humaniora, agar memiliki kepekaan terhadap aspek kemanusiaan dari ilmu kedokteran.

Di beberapa fakultas kedokteran, termasuk di Universitas Andalas, Sumatra Barat, keahlian adaptif ini terus ditekankan dan dikembangkan di setiap pembelajaran melalui problem-based learning. Mahasiswa kedokteran diberikan skenario kasus sesuai dengan tingkatan pemahamannya.

Bagi mahasiswa pendidikan kedokteran tahun pertama, misalnya, skenario kasus yang diberikan masih sederhana. Mahasiswa diharapkan mampu memahami dasar-dasar dari ilmu kedokteran seperti fisiologi, biokimia, anatomi, dan berbagai ilmu dasar sehingga mahasiswa memahami fungsi tubuh manusia dalam kondisi normal.

Sementara mahasiswa tahun kedua sampai tahun keempat diberikan skenario kasus yang mulai kompleks secara bertahap. Tentunya, skenario kasus yang diberikan akan selalu diikuti dengan perkembangan ilmu kedokteran terkini.

Dengan terlatih mempraktikkan keahlian adaptif, mahasiswa kedokteran akan mampu menjadi dokter yang ahli dalam menghadapi kompleksitas dan menyadari bahwa banyak faktor yang berperan dalam pencapaian tersebut.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now