Menu Close

Upaya melegalkan hutan adat Papua: antara semangat masyarakat dan hambatan regulasi

Masyarakat adat Suku Miyah di Kampung Ayapokiar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. (Author provided)

Masyarakat Papua telah mengenal konsep hutan adat jauh sebelum Republik Indonesia lahir. Bagi warga di bumi cenderawasih, hutan dan segala yang terkandung di dalamnya adalah ‘ibu’ yang menaungi seluruh aktivitas mereka.

Ini bukan sembarang konsep. Dibandingkan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia, angka tutupan hutan Papua adalah yang terbesar. Luasnya mencapai 34,4 juta hektare (ha) atau sekitar 82% dari luas Pulau Papua yang berada dalam wilayah Indonesia.

Kendati demikian, kelestarian ‘sang ibu’ warga Papua terancam akibat investasi yang masif dari perkebunan kelapa sawit. Studi menunjukkan bahwa selama 2001-2019, Pulau Papua kehilangan 2% hutan alamnya, atau sekitar 748 ribu ha. Riset yang sama juga menaksir, hingga 2036, angka kehilangan hutan Tanah Papua akan mencapai 4,5 juta ha.

Kehilangan hutan akan membuat kaum adat Papua kehilangan identitasnya sebagai bangsa yang mengampu kelestarian alam (stewards of natural resources).

Indonesia sebenarnya memiliki mekanisme perlindungan akses masyarakat terhadap hutan adat melalui kebijakan perhutanan sosial. Dalam kebijakan ini, pemerintah memberikan hak kepada masyarakat untuk mengelola hutannya sendiri (dengan skema hutan adat, hutan desa, ataupun kemitraan lainnya) secara lestari, demi peningkatan kesejahteraan mereka.

Namun, per 2021 lalu, belum ada satupun keputusan pengelolaan hutan adat kepada masyarakat Papua dari pemerintah pusat. Masyarakat adat Papua sudah berupaya mengajukan haknya, tapi belum mendapatkan kepastian penetapan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Berbagai penghalang pengesahan hutan adat

Pemerintah Papua sebenarnya menyambut baik kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang diterbitkan pemerintah pusat.

Pada 2018, dalam acara International Conference on Biodiversity, Eco-Tourism and Creative Economy (ICBE), Provinsi Papua dan Papua Barat menyepakati Deklarasi Manokwari yang menekankan pembangunan berkelanjutan berbasis wilayah adat. Komitmen ini memuat rencana penetapan 70% luas daratan di masing-masing provinsi sebagai kawasan lindung untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup.

Sebelumnya, Pemerintah Papua Barat sejak 2017 telah menyusun rancangan peraturan daerah khusus (raperdasus) tentang masyarakat adat, wilayah adat, dan hak-hak adat. Provinsi Papua juga merancang draf tentang pembangunan berkelanjutan yang memuat kebijakan terkait hak-hak masyarakat adat.

Namun, kedua rencana produk hukum tersebut masih dalam tahap evaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri.

Inisiatif dan semangat untuk memperoleh pengakuan juga datang dari akar rumput. Beberapa masyarakat adat di Papua dan sejumlah kelompok masyarakat sipil mengajukan haknya untuk mengelola hutan adat. Namun data KLHK mencatat, per 2019, baru terdapat luasan 2.554 ha kawasan hutan yang akan diperuntukkan bagi hutan adat di Papua Barat dan 18.837 ha di Papua.

(Sumber: KLHK, 2019: data diolah penulis)
Pencapaian perhutanan sosial regional Maluku - Papua per 2019.

Jumlah tersebut masih amat jauh dibandingkan skema perhutanan sosial lainnya, yaitu kawasan hutan desa. Jumlah hutan desa tercatat masing-masing 48,6 ribu ha di Papua Barat, dan 56,1 ribu ha di Papua. Mekanisme pemberian hak ini relatif lebih mudah karena tak perlu melalui mekanisme penetapan Peraturan Daerah (Perda) terkait masyarakat adat.

Padahal, di tingkat tapak, skema hutan desa justru memperkuat hegemoni negara terhadap kawasan adat di Papua. Sebab, berdasarkan aturan perhutanan sosial, hutan desa termasuk dalam hutan negara.

Sementara, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, hutan adat bukan tergolong hutan negara.

Selain ketimpangan luasan, kawasan hutan adat yang terdaftar juga belum termaktub dalam keputusan resmi KLHK. Sejauh ini beberapa kawasan hutan adat tersebut baru disahkan di tingkat pemerintah daerah.

Padahal, pengesahan di tingkat daerah merupakan tahap awal dari enam tahap pengesahan hutan adat — masing-masing memiliki kendalanya tersendiri. Misalnya proses perumusan perda setingkat kabupaten/kota yang membutuhkan waktu relatif lama dan biaya yang besar.

Kendati demikian, ribuan kawasan hutan adat yang tercatat dalam data KLHK itu termasuk yang paling maju di Papua. Sebab, masih banyak kaum adat lainnya yang bersemangat memperoleh haknya. Upaya perolehan ini terbentur regulasi dan perbedaan definisi terkait kriteria hutan adat maupun batas-batas kawasan hutan yang pasti antara masyarakat dan pemerintah. Sosialisasi terkait pemenuhan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat adat di Papua juga belum optimal.

Hambatan lainnya adalah minimnya kajian pengelolaan hutan skala lokal di Papua. Universitas Papua, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil sempat menghelat Forum Diskusi Lingkar Kebijakan Multiperspektif(FDLKM). Kegiatan ini dilaksanakan di Manokwari, 14 Mei 2018 untuk mengidentifikasi tantangan dalam penyelesaian persoalan hutan adat. Hasilnya, perlu ada percepatan penyusunan kriteria yang baku terkait karakter masyarakat adat, produk hukum adat, peta kawasan adat, dan aset serta kelembagaan.

KLHK sendiri telah membantu proses percepatan pengakuan hutan adat dengan membentuk satu kelompok kerja (pokja) khusus di setiap provinsi. Pokja Percepatan Perhutanan Sosial Provinsi Papua Barat telah terbentuk, namun masih minim berkontribusi khususnya dalam memastikan data aktual untuk kebutuhan penyusunan peta indikatif area perhutanan sosial (PIAPS) – salah satu bekal dalam pengesahan hutan adat.

Pisahkan kepentingan negara dengan kebutuhan masyarakat

Sebagaimana diputuskan Mahkamah Konstitusi, pemerintah semestinya mengakui hutan adat sebagai kawasan yang berdiri sendiri, terpisah dari hutan negara.

Pengakuan hutan adat dan hak-hak tradisional masyarakat adalah simbol pengakuan terhadap nilai-nilai asli dan jati diri suatu bangsa. Kebijakan yang berbasis masyarakat adat sangat penting untuk memposisikan komunitas tersebut sesuai dengan kondisi aktualnya. Jika masalah saat ini berlarut-larut, maka konflik sosial terkait masyarakat adat berisiko meletup di kemudian hari.

Kendati demikian, pengakuan hutan adat Papua bukan cuma terkait data kuantitatif, luas wilayah, maupun surat keputusan (SK). Proses pengakuan hutan adat mesti diperkuat oleh pemanfaatan sumber daya unggulan yang tidak mengutamakan hasil hutan kayu (HHK) yang selama ini telah menjadi domain negara melalui keberadaan industri HPH (Hak Pengusahaan Hutan).

Di tingkat tapak, masyarakat justru berhasil mengelola hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti pala papua dan buah hitam dengan cara-cara yang berkelanjutan.

Potensi lainnya adalah pengembangan ekowisata berbasis wilayah adat yang sekaligus bisa menjadi ciri unik biogeografi Papua, mulai dari ekologi pesisir sampai pegunungan puncak bersalju.

Potensi HHBK dan jasa lingkungan yang belum terkelola menjadi catatan penting untuk mewujudkan kemandirian hutan adat masa depan - entitas dan identitas masyarakat adat di Tanah Papua.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now