Menu Close
Peneliti asing yang tak punya izin dan peneliti yang mengalihkan material biologis ke luar negeri kini dapat dipidanakan. Ini bikin mereka kurang tertarik meneliti di Indonesia. Motortion Films/Shutterstock

UU Sisnas Iptek baru: Mengapa semangat Indonesia senada dengan peraturan Hungaria yang semi-otoriter

Ada kesamaan semangat antara Indonesia yang demokratis dan Hungaria yang semi-otoriter dalam merevisi undang-undang sistem riset baru-baru ini.

Kedua pemerintah ingin mengontrol jalan riset, pengembangan dan penerapan sains dan menggabungkan lembaga-lembaga riset dalam negeri ke dalam satu badan.

Walaupun ada kontroversi karena perluasan pasal pidana terhadap peneliti, pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan minimnya kebebasan akademik, keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia mengesahkan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) pada 16 Juli lalu tidak diwarnai protes di jalanan dari kalangan komunitas akademik dan peneliti di Indonesia. Protes tersebut hanya disampaikan melalui media massa dan jalur formal seperti menyusun masukan naskah akademik.

Berbeda dengan di Indonesia, perjalanan pengesahan undang-undang serupa di Hungaria, Eropa Tengah, diwarnai protes di jalanan oleh ribuan orang dan masyarakat ilmiah se-Uni Eropa.

Meski banyak diprotes, awal Juli lalu parlemen Hungaria mengesahkan undang-undang baru yang mengatur arah riset ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dikendalikan oleh pemerintah.

Hungaria adalah negara anggota Uni Eropa. Pergerakan komunitas ilmiah untuk merespons kebijakan iptek di sana didukung oleh masyarakat ilmiah dan kelompok masyarakat sipil. Sebelum ada aksi turun ke jalan, banyak kebijakan lain dari Perdana Menteri Viktor Orban yang menciderai kondisi riset dan iptek di Hungaria misalnya, melarang riset gender, memindahkan operasional satu universitas internasional ke Austria, sampai memotong anggaran riset. Hal itu juga yang mendorong protes besar-besaran.

Di Indonesia, isu-isu kebijakan terkait penelitian seperti pemangkasan anggaran riset dan minimnya dana], belum cukup menggerakkan masyarakat ilmiah turun ke jalan. Selain itu, banyak juga peneliti yang cuek terhadap revisi kebijakan iptek walau peraturan itu mereduksi kebebasan dan independensi penelitian.

Padahal sebuah studi yang menganalisis pendekatan kontrol pemerintah terhadap riset universitas di lima negara maju (Australia, Finlandia, Belanda, Norwegia, dan Inggris) selama dua puluh tahun (1987-2006) menunjukkan bahwa model manajemen riset yang menekankan independensi dan otonomi universitas lebih menguntungkan dari segi keluaran dan performa riset seperti publikasi dan sitasi.

Perbandingan Hungaria dan Indonesia

Di Hungaria, pembentukan UU baru ini merupakan langkah Perdana Menteri Viktor Orbán –yang ultra nasionalis – dan Menteri Riset László Palkovics yang akan mengambil alih 40 institusi riset lebih di bawah Akademi Ilmu Pengetahuan Hungaria (Hungarian Academic of Sciences) dan menggantinya dengan jaringan riset Eötvös Loránd Research Network yang akan sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah.

Pemerintah Hungaria ngotot bahwa aturan baru itu merupakan langkah untuk membuat riset di negara mereka lebih inovatif dan menguntungkan secara ekonomi sehingga dampaknya dapat diarahkan kepada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional.

Selain itu pemerintah di sana juga berdalih bahwa sistem yang mereka bangun mengikuti model Institut Max Planck di Jerman, walau klaim itu kemudian menuai protes dari para kepala institut riset dan universitas di Jerman yang disampaikan melalui sebuah surat terbuka kepada PM Hungaria.

Sementara di Indonesia, peraturan baru yang diusulkan oleh pemerintah sebagai pengganti UU Nomor 18 Tahun 2002, karena dianggap tidak dapat mengakomodasi kepentingan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi serta belum berkontribusi pada pembangunan nasional di negeri ini.

Ada beberapa poin positif dalam UU baru seperti kepastian dana abadi untuk riset dan teknologi serta pemberian insentif untuk badan usaha yang melakukan penelitian dan pengembangan.

Di sisi lain terdapat poin kebijakan yang menuai kontroversi seperti mandat pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sebagaimana pernah disampaikan oleh Wakil Presiden terpilih Ma‘ruf Amin dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. BRIN akan mengintegrasikan berbagai lembaga riset kementerian dan non-kementerian agar tidak tumpang tindih dan pemanfaatan sumber daya sesuai dengan visi misi pemerintah. Kiniada 263 lembaga litbang pemerintah, tak termasuk di universitas.

Penambahan sanksi dan ketentuan pidana bagi pelanggar UU baru ini juga menuai kontroversi.

Dalam UU lama, hanya ada pasal pidana bagi peneliti yang tidak memiliki izin riset berisiko tinggi dan berbahaya.

Dalam aturan baru ada tambahan ketentuan pidana: untuk peneliti asing yang tak mengantongi izin, setiap orang yang mengalihkan material biologis ke luar negeri, dan peneliti yang mengakibatkan kerusakan barang maupun korban manusia.

Pasal-pasal pidana tersebut ditengarai dapat menyurutkan semangat dan kebebasan peneliti untuk berkarya. Ketentuan pidana bagi peneliti asing akan menimbulkan kesan bahwa Indonesia tertutup dan menghambat kolaborasi internasional.

Ditambah dengan ketentuan pengalihan material biologis berpotensi tumpang tindih dengan aturan akses sumber daya genetik dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.

Beberapa hal tersebut mengindikasikan bahwa undang-undang riset dan teknologi di Indonesia memiliki pandangan yang hampir sama dengan UU riset di Hungaria. Hal ini ditandai dengan keinginan pemerintah untuk menguasai jalannya penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan, dan pengintegrasian lembaga-lembaga riset menjadi satu badan.

Dalih yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia dan Hungaria pun hampir sama yaitu agar penelitian lebih terintegrasi dan dapat diarahkan kepada hasil manfaat langsung bagi pembangunan dan visi pemerintah.

Setelah pengesahan UU Sisnas Iptek, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Moh. Nasir mengatakan penelitian akan lebih terintegrasi dan juga memberikan penegasan bahwa pembangunan dan kebijakan di Indonesia harus berbasis iptek.

Pentingnya kebebasan akademik

Ibarat makhluk hidup, kebebasan akademik dan independensi peneliti seperti oksigen yang menyokong kehidupan.

Jika asas kebebasan akademik dan demokrasi tidak menjadi landasan dalam kebijakan riset dan teknologi secara nasional, keluaran iptek akan seperti katak dalam tempurung.

Menurut indeks Scimago, Hungaria dan Indonesia berperingkat masing-masing ke-41 dan 48 dunia (ada 239 negara dan wilayah teritorial yang didata dalam peringkat ini) dalam jumlah dokumen publikasi dunia tapi dalam peringkat h-index (ukuran jumlah publikasi dan sitasi dari peneliti), Hungaria berada di peringkat ke-34 dan Indonesia ke-57 dunia.

Pada studi tentang kebijakaan riset di lima negara maju, Belanda dan Norwegia memiliki model independen dan dapat meningkatkan produktivitas publikasi, di sisi lain Australia yang memiliki model dekat dengan pengendalian oleh negara tapi justru tidak memiliki pengaruh positif terhadap produktifitas publikasi.

Guru besar sejarah sains dari Augusta University Amerika Andrew Goss dalam bukunya The Floracrats menulis tuntas sejarah ilmu pengetahuan di Nusantara sejak era kolonial hingga Orde Baru.

Dia menyimpulkan bahwa sepanjang sejarahnya para ilmuwan di negeri ini sukar untuk mendapatkan otonomi dan kebebasan dalam meneliti karena mereka selalu dikendalikan oleh kepentingan pemerintah dan dibebani oleh birokrasi. Karena itu, para peneliti Indonesia sedikit sekali bisa menghasilkan hasil riset yang dapat menjadi panduan bagi kebijakan negara dan inovasi yang dapat bersaing dengan peneliti luar negeri.

Prinsip Haldane yang “mujarab”

Prinsip Haldane, yang diperkenalkan oleh filsuf-politikus Richard Burdon Haldane di Inggris sejak 1918, menjadi pegangan para ilmuwan dan pemerintah khususnya di negara-negara Barat.

Prinsip Haldane menegaskan bahwa “Keputusan untuk mengeluarkan dana riset harus dibuat oleh para peneliti sendiri ketimbang para politikus” dan juga perlunya pemisahan kementerian riset dari militer atau kepentingan politik.

Prinsip Haldane terbukti meningkatkan produktivitas para ilmuwan dan menghasilkan terobosan-terobosan baru di negara-negara Barat.

Dalam konteks Indonesia, niat baik pemerintah untuk memajukan iptek jangan menciptakan antitesis yang justru tidak mendukung kebebasan akademik dan independensi peneliti. Saat pemerintah memberikan jaminan pendanaan kepada peneliti dan mengarahkan iptek sebagai landasan pembangunan harus dibarengi dengan asas kebebasan akademik dan ilmiah serta memberikan otonomi dan independensi kepada lembaga-lembaga penelitian.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now