Menu Close
Akan SARS-CoV-2 mampu mengelak dari vaksin? Jose A. Bernat Bacete/Moment collection/Getty Images

Virus dapat berevolusi dan akibatnya vaksin COVID-19 bisa kurang efektif - tapi ini bisa dicegah

Obat pertama untuk melawan virus HIV mampu menyelamatkan pasien-pasien yang sekarat.

Namun seiring langkah para dokter yang bersemangat untuk memberikan obat ajaib itu pada pasien-pasien baru, keajaiban itu sirna. Pada setiap pasien baru, obat itu hanya mujarab sebentar saja.

Ternyata obat itu memang sangat ampuh membunuh virus, tapi si virus lebih mampu berevolusi untuk menjadi kebal terhadap obat itu.

Sebuah mutasi spontan dalam material genetik virus itu membuat obat itu tidak bekerja, sehingga virus-virus mutan dapat berkembang biak sangat cepat walau pasien sudah diberi obat. Akibatnya pasien sakit kembali.

Dari situ, butuh 10 tahun hingga para ilmuwan menemukan perawatan yang mampu mengatasi evolusi virus.

Akankah hal yang sama terjadi pada vaksin COVID-19? Apakah vaksin yang aman dan efektif dalam uji coba bisa gagal karena virus telah berevolusi?

Karena para ahli microbiologi evolusi telah menemukan adanya virus ayam yang resisten terhadap dua vaksin yang berbeda, kita tahu kemungkinan ini bisa terjadi.

Namun, kita juga tahu apa yang kira-kira dapat mencegah kegagalan ini.

Vaksin COVID-19 bisa gagal kalau mereka tidak memiliki kemampuan-kemampuan tertentu.

Sejarah resistensi vaksin

Sepanjang sejarah, manusia cukup beruntung: sebagian besar vaksin manusia tidak gagal akibat evolusi organisme mikro.

Contohnya, virus cacar mampu dibasmi karena virus itu tidak dapat berevolusi melawan vaksin cacar, dan tidak ada galur virus campak yang mampu mengalahkan kemampuan imun yang dihasilkan lewat vaksin campak.

Tapi ada satu pengecualian. Sebuah bakteri yang menyebabkan pneumonia berhasil berevolusi dan menjadi resisten terhadap suatu vaksin. Mengembangkan dan mengganti vaksin tersebut memakan banyak biaya dan waktu. Butuh waktu tujuh tahun dari munculnya galur yang resisten hingga penerbitan vaksin baru.

Belum ada kegagalan lain dalam vaksin manusia, tapi ada beberapa petunjuk bahwa virus, bakteri, dan parasit berevolusi merespons vaksin.

Mutan yang berhasil menghindar dari imunitas yang dihasilkan vaksin sering diamati dalam mikroba yang menyebabkan hepatitis B dan pertussis (batuk rejan).

Untuk penyakit seperti malaria, trypanosomiasis (penyakit tidur), influensa dan AIDS, vaksin sangat sulit dikembangkan karena mikroba-mikroba penyebab penyakit itu berevolusi sangat cepat.

Dalam dunia pertanian, vaksin-vaksin hewan sering kali gagal akibat evolusi virus.

Tergantung bagaimana virus COVID-19 berevolusi, vaksin bisa berkurang keampuhannya. Volanthevist/Getty Images

Apa saja kemungkinannya?

Jika SARS-CoV-2 berevolusi terhadap vaksin COVID, ada beberapa hal yang mungkin terjadi.

Yang paling mudah adalah seperti yang terjadi pada virus flu.

Imunitas bekerja saat sel-sel antibodi atau imun menempel pada molekul di permukaan virus. Jika mutasi pada molekul-molekul permukaan virus itu berubah, maka antibodi tidak bisa menempel dengan baik dan virus bisa lepas.

Proses inilah penyebab mengapa vaksin flu musiman perlu diperbaharui setiap tahun. Jika ini terjadi pada vaksin COVID, maka vaksin itu akan perlu update berulang juga.

Namun evolusi juga bisa terjadi secara berbeda. Akan lebih baik untuk kesehatan manusia, misalnya, jika virus berevolusi menjadi senyap, mungkin dengan bereproduksi secara perlahan atau bersembunyi di organ-organ yang sistem imunnya kurang aktif.

Banyak patogen yang menyebabkan berbagai macam infeksi kronis yang nyaris tidak terasa oleh manusia telah mengambil jalur evolusi ini. Mereka tidak terdeteksi karena tidak menyebabkan penyakit akut.

Jalur evolusi yang lebih berbahaya adalah jika virus menemukan cara untuk mereplikasi diri lebih cepat daripada imunitas yang dihasilkan vaksin. Cara lain adalah jika virus mampu menyasar sistem imun dan melemahkan imunitas yang dihasilkan vaksin.

Banyak mikroba mampu bertahan hidup dalam tubuh manusia karena mereka mampu mempengaruhi sistem imun kita.

Jika SARS-CoV-2 memiliki cara untuk sedikit saja melemahkan imunitas manusia, maka vaksin COVID akan menguntungkan virus mutan yang mampu lebih banyak melemahkan sistem imun.

Vaksin kebal evolusi

Sebelum COVID muncul, kami berdua membandingkan vaksin-vaksin yang berhasil terus bekerja dengan vaksin-vaksin yang digagalkan oleh evolusi patogen.

Kami menemukan bahwa vaksin-vaksin yang kebal evolusi memiliki tiga ciri.

Pertama, vaksin semacam ini sangat efektif dalam mengurangi replikasi virus. Ini menghentikan penyebaran lebih jauh. Tanpa replikasi, tidak akan ada penyebaran, tidak akan ada evolusi.

Kedua, vaksin yang kebal evolusi memicu respons imun yang menyerang beberapa bagian dari mikroba secara bersamaan.

Mudah bagi satu bagian virus untuk bermutasi dan terhindar dari sasaran. Tapi jika banyak bagian diserang secara bersamaan, virus akan membutuhkan berbagai macam upaya mutasi berbeda dalam waktu yang sama - ini hampir mustahil. Ini sudah terjadi di dalam laboratorium pada SARS-CoV-2.

Di dalam lab, virus secara cepat berevolusi terhadap antibodi yang menyerang satu bagian, namun kesulitan mengembangkan resistensi pada campuran berbagai antibodi yang menyerang bagian-bagian berbeda.

Ketiga, vaksin kebal evolusi melindungi dari semua galur yang beredar, sehingga tidak ada galur yang bisa mengisi kekosongan saat serangan dilakukan.

Apakah vaksin COVID akan kebal evolusi?

Sekitar 200 kandidat vaksin COVID sedang dalam berbagai tahap perkembangan. Terlalu dini untuk mencari tahu seberapa banyak yang memiliki kemampuan kebal vaksin.

Untungnya, kita tidak perlu menunggu gagalnya sebuah vaksin yang beredar.

Sedikit upaya lebih dalam uji coba vaksin bisa bermanfaat panjang dalam mencari tahu apakah vaksin itu kebal evolusi.

Dengan melakukan pengusapan (swab) pada orang-orang yang menerima vaksin uji coba, ilmuwan dapat mengetahui seberapa jauh virus dapat ditekan.

Dengan menganalisis genom virus pada orang yang sudah menerima vaksin, kita mungkin bisa melihat proses evolusi virus sedang terjadi.

Dan dengan mengambil darah dari orang-orang itu, kita bisa mengetahui di lab berapa banyak bagian virus yang diserang oleh imunitas yang dipicu oleh vaksin itu.

Yang jelas, dunia membutuhkan vaksin-vaksin COVID. Kami meyakini pentingnya upaya mengembangkan vaksin yang akan mampu bekerja terus-menerus. Sepertinya, banyak kandidat vaksin akan bisa melakukan ini.

Mari kita bekerja mencari tahu mana vaksin yang memiliki kemampuan ini dan menggunakan vaksin tersebut.

Vaksin yang hanya memberikan manfaat sesaat akan membuat orang berada pada kondisi rentan, serta butuh waktu dan biaya untuk menggantinya.

Vaksin semacam itu juga dapat berdampak buruk bagi vaksin lain jika virus mampu berevolusi terhadap beberapa vaksin sekaligus.

Kini, dunia telah memiliki nyamuk dan hama yang kebal insektisida, gulma yang kebal herbisida, dan krisis resistansi antibiotik. Tak perlu kita mengulang sejarah.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now