Menu Close
Gambaran hasil analisis mikroskop dari partikel virus Nipah (merah) dan sel Vero yang terinfeksi (biru). Gambar dari Fasilitas Penelitian Terpadu NIAID di Fort Detrick, Maryland, AS. NIAID, CC BY-SA

Wabah virus Nipah di India: sejauh mana terobosan riset vaksin dan obat untuk melawannya?

Pandemi COVID-19 telah usai, tapi wabah virus Nipah terjadi di wilayah selatan dari negara bagian Kerala, India, pada akhir Agustus 2023 lalu. Akibatnya, lebih dari lima orang terserang virus ini dan dua orang di antaranya meninggal.

Virus Nipah adalah salah satu virus berbasis asam ribonukleat atau RNA dari famili Paramyxoviridae (genus: Henipavirus). Virus ini masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat di berbagai negara Asia.

Menurut WHO, wabah di wilayah Kerala adalah wabah keempat di wilayah tersebut sejak 2018. Sebelumnya, ada juga wabah yang muncul di negara lain, yaitu Bangladesh pada awal tahun 2023.

Virus Nipah adalah termasuk pada golongan virus zoonosis yang ditularkan dari kelelawar (golongan genus Pteropus, famili Pteropodidae) ke manusia. Virus ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, muntah, dan demam pada manusia.

Lebih jauh, pada kondisi yang parah, virus ini menyebabkan peradangan otak dan kejang hingga berujung pada kematian. Sejauh ini, vaksin dan obat yang spesifik untuk virus Nipah masih dalam proses penelitian dan belum tersedia di pasaran.

Potensi ancaman virus di ASEAN

Selain di India, beberapa negara lain di Asia yang pernah terserang oleh virus Nipah misalnya adalah Bangladesh, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Wabah infeksi virus Nipah tercatat pertama kali pada 1998 di Malaysia. Sudah tercatat ada lebih dari 250 kasus.

Sejak saat itu, setiap tahunnya terjadi satu atau dua wabah. Dua negara yang paling banyak terserang adalah Bangladesh dan India.


Read more: Virus Nipah mewabah di India: apa yang perlu kamu tahu


Wilayah ASEAN dikenal dengan tingkat mobilitas manusia yang tinggi. Perjalanan antarnegara, baik untuk tujuan bisnis atau pariwisata, menjadi hal yang sangat umum. Hal ini dapat menjadi potensi penyebaran virus Nipah jika ada kasus yang terdeteksi di dalam wilayah ASEAN, termasuk Indonesia.

Tingkat kesiapsiagaan dan respon yang baik terhadap kesehatan masyarakat di negara-negara ASEAN bervariasi. Hal ini mencakup peningkatan pelatihan tenaga kesehatan, pengembangan protokol respons cepat, dan perbaikan infrastruktur kesehatan.

Beberapa negara seperti Singapura dan Thailand, mungkin memiliki sistem kesehatan yang lebih kuat dan lebih siap untuk menghadapi ancaman virus Nipah. Sementara negara lain mungkin kurang siap dan mungkin masih tertinggal dibanding negara lainnya.

Sistem deteksi dini yang efektif dan pelaporan kasus-kasus yang mencurigakan sangat penting dalam mengendalikan penyebaran virus Nipah. Pemerintah harus memastikan bahwa sistem ini berjalan dengan baik.

Selain itu, akselerasi dengan berbagai instansi maupun laboratorium swasta mungkin perlu sebagai antisipasi hal buruk ke depan berkaitan dengan penyebaran virus Nipah.

Kerja sama dengan negara-negara di luar ASEAN dan organisasi internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah penting dalam menghadapi ancaman virus Nipah yang bersifat lintas batas.

Di sisi lain, edukasi masyarakat tentang cara mencegah penularan virus Nipah, seperti menghindari kontak dengan hewan yang berpotensi terinfeksi dan mengikuti tindakan pencegahan pribadi, juga sangat penting dalam mengurangi risiko penyebaran virus ini di wilayah ASEAN.

Terobosan pembuatan vaksin dan obat

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), virus ini memiliki nilai persentase tingkat kematian sampai sekitar 75%. Artinya, jika terinfeksi, maka kemungkinannya dapat menyebabkan kematian sejumlah tiga dari empat kasus.

Saat ini, belum ada obat dan vaksin yang digunakan secara spesifik untuk melawan infeksi virus Nipah. Memberikan perawatan yang mendukung adalah hal terbaik yang dapat dilakukan dokter untuk pasien akibat infeksi virus Nipah.

Salah satu terobosan untuk pengembangan obat dan vaksin terhadap virus Nipah yang dipilih oleh ilmuwan adalah dengan menggunakan ilmu bioinformatika. Bioinformatika adalah salah satu ilmu bantu utama untuk pengembangan vaksin berbasis molekular, seperti vaksin COVID-19. Hal ini menjadi referensi utama bagi pengembang vaksin virus nipah.

Penelitian kolaborasi dari tim kami (Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya), telah menyajikan data hasil penelitian yang komprehensif di Jordan Journal of Pharmaceutical Science, pada September lalu terkait untuk desain kandidat vaksin berbasis bioinformatika terhadap virus Nipah.

Selain itu, dengan basis yang hampir sama, tim peneliti lain dari Indonesia juga meneliti konstruksi desain kandidat vaksin melawan virus Nipah dengan kolaborasi internasional yang terbit di Makara Journal of Science, pada 2023.

Sejauh ini, penelitian uji klinis terkait kandidat vaksin terhadap virus ini juga sedang dikembangkan oleh Moderna Inc. Amerika Serikat dan bekerja sama dengan Pusat Penelitian Vaksin NIAID, Amerika Serikat (dapat diakses pada ClinicalTrials.gov dengan kode uji klinis: NCT05398796).

Vaksin ini didasarkan pada platform duta RNA atau messenger RNA (mRNA), sebuah teknologi yang baru saja menelurkan peraih Hadiah Nobel bidang Fisiologi dan Kedokteran tahun ini (Dr. Katalin Karikó dan Dr. Drew Weissman). Sebelumnya, platform ini digunakan dalam beberapa vaksin COVID-19 yang telah disetujui untuk digunakan.

Sedangkan penemuan untuk obat spesifik terhadap virus Nipah masih memiliki banyak kendala. Publikasi ilmiah di jurnal Structural Chemistry dari Yang dan Kar pada 2023 telah menjelaskan apa saja kandidat obat yang dapat digunakan untuk melawan virus Nipah. Juga apa saja protein target yang dapat dijadikan sebagai penghambatan utama terhadap infeksi virus Nipah.

Terobosan baru lainnya yang dapat dicapai oleh peneliti, salah satunya adalah teknologi kryo mikroskop elektron. Teknologi ini memungkinkan para peneliti untuk mampu meninjau molekul biologi dalam resolusi atom. Hal ini merupakan sebuah analisis presisi dalam membantu penelitian di bidang virologi, desain vaksin dan obat, ataupun produk terapi lainnya untuk hasil akhir yang lebih baik. Kryo mikroskop menjadi instrumen utama untuk pengembangan ilmu biologi struktural, yang bertanggung jawab untuk memecahkan struktur protein virus.

Peran Indonesia

Di Indonesia, terobosan ini dipimpin oleh Laboratorium Cryo-EM, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ke depan, Indonesia seharusnya dapat menjadi pemimpin pada penelitian berbasis teknologi kryo mikroskop elektron karena fasilitas dengan penunjang teknologi ini tidak banyak dimiliki oleh institusi penelitian atau perguruan tinggi di ASEAN.

Teknologi ini telah mengungkap berbagai macam protein penting dari virus Nipah. Data ilmiahnya telah banyak tersimpan di pangkalan data Protein Data Bank atau PDB. Selain itu, dukungan referensi ilmiah berdasarkan publikasi ilmiah dari jurnal ilmiah internasional bereputasi juga sudah banyak dituliskan oleh para peneliti di berbagai negara.

Di samping itu, salah satu fakta menarik adalah penelitian Henrik Salje yang terbit di The New England of Medicine. Riset ini menyebutkan bahwa berdasarkan kasus di Bangladesh, penelitian terhadap 248 infeksi virus Nipah di sana menyimpulkan jika nilai R yang memiliki kaitan dengan kemungkinan penularan penyakit antarmanusia adalah relatif kecil. Pada dasarnya, nilai R atau angka reproduksi adalah sebuah metode pemeringkatan untuk mengetahui kemampuan penyebaran penyakit tertentu.

Namun, walaupun nilai R tergolong relatif rendah, jika ada kejadian hewan liar yang dibawa oleh manusia ke lokasi yang kepadatan populasinya tinggi, maka peningkatan peluang risiko penularan antarmanusia akan semakin besar. Hal ini juga dapat memberikan tempat bagi virus ini untuk terjadinya mutasi dan mengubah susunan genetiknya sehingga dapat lebih mudah menular antarmanusia dan meningkatkan potensi pandemi baru.

Munculnya wabah virus Nipah di India atau negara lain setiap tahun dalam beberapa tahun terakhir dapat menjadi indikator bahwa kemungkinan hilangnya habitat dari hewan liar akibat ekspansi aktivitas manusia.

Hal ini membawa pada kondisi yang lebih erat untuk kontak antara manusia dan hewan liar sehingga meningkatkan risiko penularan dari hewan liar ke manusia melalui kontak langsung yang tidak terkontrol.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now