Menu Close
Calon pembeli mengunjungi pameran perumahan di Jakarta. FOTO ANTARA/Rosa Panggabean/pd/10.

Warga kelas menengah banyak yang tidak mampu membeli rumah: tiga usulan kebijakan untuk mengatasinya

Harga rumah yang semakin tak terjangkau saat ini mulai menjadi momok yang dihadapi berbagai kota-kota besar di dunia.

Bahkan penduduk negara-negara maju seperti Kanada dan Amerika Serikat pun merasakan beratnya harga rumah yang selalu meningkat. Krisis ini juga dirasakan oleh masyarakat dari berbagai kondisi ekonomi, termasuk kelas menengah ke atas.

Masalah yang sama juga dihadapi oleh Indonesia.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa 28 dari 62 responden penelitian, atau 45%, menyatakan bahwa mereka merasa terbebani dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kebutuhan rumah tinggal, seperti pembayaran Kredit Pemilikan Rumah (KPR), sewa rumah, juga rekening listrik dan air.

Penghasilan bulanan dan beban biaya. Tafridj, 2021

Riset tersebut juga menyatakan bahwa 80% dari responden yang tinggal di Jakarta hanya mampu menyewa atau mengontrak rumah karena harga rumah di Jakarta yang sudah terlalu mahal.

Lokasi rumah dan status kepemilikan. Tafridj, 2021

Padahal keterjangkauan harga rumah adalah aspek yang penting bagi pertumbuhan ekonomi negara.

Laporan dari Bank Dunia pada 2020 menyatakan bahwa kelas menengah di Indonesia berkontribusi pada 50% total konsumsi negara, dengan rata-rata pengeluaran bulanan Rp 1,2 hingga Rp 6 juta, termasuk untuk pengeluaran yang berkaitan dengan kebutuhan rumah tinggal.

Meningkatnya pengeluaran yang berhubungan dengan rumah tinggal bisa melemahkan daya beli kelas menengah yang kemudian akan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Untuk mengendalikan krisis perumahan bagi kelas menengah di Indonesia, ada tiga perubahan kebijakan yang bisa dilakukan.

Pertama, perkuat koordinasi antarpemerintah di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) untuk mengatur kebutuhan dan pasokan perumahan.

Kerja sama yang kuat antarpemerintah kota dan kabupaten yang tergabung pada Jabodetabek dinilai sangar penting.

Kota dan Kabupaten Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang Raya telah menjadi wilayah penyokong aktivitas ekonomi Jakarta selama bertahun-tahun, meski demikian, mereka belum berkonsolidasi dalam perencanaan permukiman perkotaan dan belum memprioritaskan program tersebut.

Pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek seharusnya memahami bahwa perkembangan perkotaan di masing-masing daerah sudah terlalu bergantung satu sama lain sehingga tidak lagi dapat dijalankan secara mandiri tanpa koordinasi yang kuat.

Kota dan Kabupaten selain Jakarta saat ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan pasokan perumahan di Jakarta yang kurang. Meski peran pengembang swasta sangat penting, pemerintah daerah harus merancang kebijakan-kebijakan untuk memastikan keberlanjutan pembangunan wilayah perkotaan.

Kebijakan ini misalnya dengan menerapkan pengawasan yang lebih ketat pada pembangunan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan perubahan rencana tata ruang.

Di London, Inggris, pemerintah kota mengubah sistem perencanaannya dengan membangun lebih banyak rumah berharga murah dan menyokong skema pembangungan untuk disewakan agar 50% penduduk kota London mampu tinggal di rumah yang layak.

Selain itu, diskusi tentang perencanaan jangka panjang bagi wilayah Jabodetabek masih sangat terbatas. Solusi untuk krisis keterjangkauan rumah diharapkan akan muncul dari diskusi ini.

Seorang pekerja menyelesaikan proyek pembangungan rumah hunian di Jakarta Utara. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.

Kedua, pemerintah Jakarta perlu membuat aturan hukum terkait hunian dengan skema sewa atau kontrak.

Fakta bahwa 80% responden dari Jakarta tinggal di rumah sewa atau kontrak jangka pendek perlu mendapat perhatian dari pemerintah dalam bentuk regulasi resmi tentang penyewaan rumah.

Saat ini, meski ada peraturan untuk skema sewa rumah susun dan rumah tinggal milik pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi Jakarta belum memiliki kebijakan terkait sewa rumah yang dilakukan oleh perorangan atau pihak swasta.

Selain itu, masih ada stigma yang berkembang dalam masyarakat bahwa menyewa atau mengontrak rumah dianggap membuang uang. Akibatnya, banyak masyarakat yang bekerja di Jabodetabek lebih memilih untuk tinggal 40-50 km dari kantor–menghabiskan uang, waktu, dan tenaga untuk perjalanan pulang pergi–dari pada menyewa rumah yang lebih dekat dengan tempat kerja.

Meski mengubah stigma ini tidak mudah dilakukan, pemerintah paling tidak bisa membuat kebijakan yang dapat melegalkan skema sewa rumah tinggal.

Legalisasi sewa rumah tinggal oleh perorangan sudah diterapkan misalnya di Singapura, di mana mereka mewajibkan registrasi pemilik dan penyewa rumah. Pemerintah Singapura juga membedakan penyewaan rumah tinggal tapak dan apartemen. Peraturan seperti ini menjamin perlindungan hukum bagi penyewa dan memposisikan rumah sewa sebagai pilihan rumah tinggal yang layak.

Kebijakan terkait rumah sewa jangka panjang adalah hal yang lumrah terjadi di kota-kota besar di seluruh dunia. London; New York, Amerika Serikat; Amsterdam, Belanda; dan Singapura yang mengalami permasalahan yang sama yaitu populasi yang tinggi dan pilihan rumah tinggal permanen yang sangat terbatas. Maka dari itu kota-kota tersebut mengimplementasikan kebijakan-kebijakan khusus untuk memberikan kepastian hukum untuk skema sewa jangka panjang.

Di Jakarta, kamar kos dan rumah kontrak selama ini sudah ada tanpa izin dan peraturan yang memadai. Hal ini membuat penyewa dan pemilik rumah rentan mengalami eksploitasi dan sering menjadi korban penipuan.

Kondisi tersebut semakin memperburuk stigma bahwa rumah sewa atau kontrak adalah sebuah kondisi sementara yang tidak diharapkan.

Foto tampak udara dari sebuah perumahan mewah di Jakarta Utara. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.

Ketiga, pemerintah perlu menyediakan stok hunian berharga menengah melalui skema kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) dan meluncurkan skema pembiayaan yang ditujukan bagi kelas menengah.

Pemerintah perlu mengatur harga pasaran rumah tinggal dengan cara membangun lebih banyak stok rumah bagi kalangan kelas menengah serta meningkatkan pagu harga skema pembiayaannya untuk menarik calon pembeli dari kelas menengah.

Saat ini, rumah murah dan program subsidi pembiayaan rumah ditujukan kepada masyarakat dengan penghasilan tidak lebih dari Rp 8 juta rupiah, sehingga kelas menengah di Indonesia otomatis tidak bisa mengikuti program tersebut.

Meningkatnya harga rumah disebabkan oleh tingginya permintaan dan rendahnya jumlah rumah terjangkau yang tersedia di daerah-daerah strategis.

Inflasi harga rumah di Jakarta kini telah menyebar ke kota-kota di sekitarnya. Tidak lama lagi, tinggal di Tangerang dan Bogor tidak akan lagi terjangkau oleh banyak masyarakat, kecuali pemerintah mampu mengawasi kebijakan-kebijakan pengembangan perumahan dan peraturan tata guna lahan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now