Menu Close

Yang harus dilakukan jika anak Anda justru adalah pelaku bullying, bukan korban

(Pexels/Mikhail Nilov), CC BY

Perundungan atau bullying adalah masalah serius. Tapi, yang jarang menjadi topik dalam bahasan atau riset adalah pengalaman orang tua yang anaknya menjadi pelaku bullying dan telah membuat anak lain menderita.

Dalam situasi seperti itu, apa yang harus dilakukan orang tua?

Bullying di sekolah

Dalam beberapa tahun terakhir, di Australia – tempat para penulis mengajar – muncul berbagai kebijakan untuk merespons kereasahan masyarakat terkait peran penting sekolah dalam mencegah dan menangani insiden bullying.

Berbagai departemen pendidikan, seperti di Australia Selatan dan New South Wales, mewajibkan sekolah untuk memiliki kebijakan anti-perundungan. Sekolah wajib menjabarkan mekanisme untuk menangani bullying, dan juga program yang membantu para anak yang menjadi korban.

Kebijakan anti-perundungan kerap memberi arahan bagi mereka yang menjadi korban, tapi tidak untuk yang menjadi pelaku. (Shutterstock)

Meski demikian, fokus utamanya seringkali pada murid yang menjadi korban bullying, bukan pelakunya. Tentu ini bisa dipahami. Bahkan program anti-perundungan nasional di Australia tidak memberikan informasi spesifik bagi sekolah terkait bagaimana cara bekerja sama dengan orang tua dari anak yang menjadi pelaku. Padahal, ada riset yang mengatakan bahwa ini juga merupakan hal penting.

Studi tersebut juga menekankan pentingnya kolaborasi antara sekolah dan orang tua untuk mencapai solusi yang sebaik mungkin untuk anak yang menjadi pelaku bullying.

Apa yang bisa dilakukan sekolah?

Tidak ada orang tua yang ingin mendengar kabar bahwa anak mereka merundung anak lain di sekolah, sehingga perlu pendekatan tertentu. Penting bagi sekolah dan orang tua untuk bersama-sama membicarakan isu apa saja, entah di rumah atau sekolah, yang bisa mendorong mereka melakukan bullying.

Sekolah, bersama orang tua dan murid (jika memungkinkan) harus mengembangkan rencana dan strategi yang jelas untuk menangani perilaku bullying. Strategi tersebut harus menyentuh akar masalah yang dialami oleh murid yang menjadi pelaku. Rencana itu juga harus merincikan berbagai ekspektasi yang diharapkan dari murid tersebut, serta konsekuensi dari segala pilihan – baik yang negatif maupun positif – yang diambil sang anak.

Strategi tersebut juga harus mengandung langkah-langkah yang mendukung sang murid untuk memahami tindakan dan perilaku mereka. Ini bisa termasuk memberikan dukungan tambahan seperti akses ke layanan konseling sekolah.

Terakhir, sekolah perlu menyadari bahwa bisa jadi ada beberapa keluarga yang enggan menghubungi sekolah jika anaknya menjadi pelaku. Para orang tua bisa jadi khawatir bahwa mereka akan dihakimi secara tidak adil atau keras oleh staf pengajar sekolah.

Oleh karena itu, sekolah harus memastikan bahwa dialog seperti ini terjadi di lingkungan yang nyaman dan bisa membuat orang tua (dan anak mereka jika hadir) berbicara dengan terbuka.

Hubungan anak dan orang tua dalam dinamika bullying

Mencari solusi yang tepat jika anak Anda menjadi pelaku bullying nampaknya lebih sulit ketimbang jika anak Anda menjadi korban.

Reaksi para orang tua bisa jadi sejalan dengan kerangka psikologi ‘Lima Tahap Kesedihan’ (Five Stages of Grief), utamanya fase penolakan (denial) dan amarah (anger).

Contoh reaksi orang tua pasca mendengar kabar dari kepala sekolah bisa jadi semacam ini:

Masa’ sih, Pak/Bu? Saya bisa menjamin bahwa anak saya tidak pernah bersikap seperti itu. Saya sangat tersinggung atas tuduhan ini. Saya akan segera mencabut anak saya dari sekolah Anda!

Penelitian telah menunjukkan bahwa orang tua atau wali mudi, yang biasanya paling dekat dengan anak mereka, justru bisa jadi pihak terakhir yang mengetahui atau menerima kabar seperti ini. Suatu studi di Finlandia pada tahun 2009 menggambarkannya pada tabel di bawah:

Anaklah yang paling sering melaporkan insiden bullying (6,6% dan 2,0%), disusul laporan dari guru (2,3% dan 6,6%), baru orang tua murid (1,8% dan 1,0%). (Australian Institute of Family Studies)

Saran buat orang tua

Australian Psychological Society menyarankan bahwa orang tua sebaiknya menanyakan anak mereka bagimana perasaan mereka jika berada dalam posisi sebagai korban bullying, lalu memberikan pujian jika mereka berperilaku baik dan penuh hormat terhadap rekan-rekan mereka.

Banyak orang tua kesulitan menerima bahwa anak mereka merundung anak lain. (Shutterstock)

Masalah bullying bisa diatasi dengan cara mengganti perilaku negatif dengan stimulus perilaku positif (positive reinforcement). Secara umum, perubahan perilaku secara perlahan bisa terjadi ketika ada pemahaman bahwa sang anak telah berperilaku buruk, dan dialog terbuka semacam itu bisa membantu mereka.

Tentu, layaknya berbagai isu psikologis, disfungsi keluarga yang serius – seperti jika anak terdampak dari pendisiplinan yang keras di rumah – akan mengganggu kemampuan anak untuk memahami efek buruk bullying terhadap orang lain. Pengembangan empati adalah kunci bagi anak untuk memahami dampak buruk dari bullying.

Apa yang harus dilakukan?

Kebanyakan orang tua akan mengalami campuran rasa kaget, malu, dan ketidakpercayaan tentang kemungkinan bahwa anak mereka adalah pelaku bullying.

Naman, perasaan untuk membela anak Anda dari tuduhan semacam itu tidak berarti bahwa Anda sebagai orang tua bisa serta merta mengabaikan munculnya masalah tersebut. Sebaliknya, Anda juga sebaiknya tidak langsung berasumsi bahwa seluruh komplain tersebut objektif, atau membuat Anda dan sekolah terburu-buru memberikan sanksi.

Anda sebaiknya tetap tenang dan mendiskusikan hal ini secara privat dengan anak. Bahaslah insiden yang terjadi dan gunakan sumber daya dan dukungan sekolah, seperti layanan konseling dan program pengembangan keterampilan sosial murid.

Sekolah juga berperan penting memfasilitasi intervensi yang tepat, sesuai tingkat keparahan kejadian bullying – dari konferensi orang tua yang terstruktur, rujukan ke spesialis konseling, hingga pelibatan aparat penegak hukum jika ada urgensi tertentu terkait keselamatan anak.

Tidak cukup untuk melemparkan semua tanggung jawab kepada orang tua saja. Kejadian yang muncul di lingkungan sekolah juga menuntut partisipasi dari institusi pendidikan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now