Menu Close

4 fakta bagaimana perpeloncoan menyabotase pendidikan kita

MDV Edwards. Shutterstock.

Sejumlah kalangan menganggap bahwa perpeloncoan adalah hal wajar. Selain atas dalih tradisi, para pembenarnya menganggap bahwa perpeloncoan merupakan momen pembentukan mental dan solidaritas.

Faktanya, perpeloncoan justru memiliki dampak destruktif.

Sebagai praktisi pendidikan sekaligus pegiat Ilmu Sosial, saya tertarik untuk mengulas bagaimana komunitas ilmiah sejauh ini memandang perpeloncoan. Berikut empat fakta terkait perpeloncoan dan bahayanya terhadap proses pendidikan kita.

1. Perpeloncoan menghilangkan rasa aman

Perpeloncoan adalah hal yang bertentangan dengan keamanan manusia. Secara definisi, keamanan manusia merupakan pendekatan untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan terkait keberlangsungan hidup pada tingkat individual. Isu keamanan manusia adalah konsep yang melampaui kerangka keamanan tradisional yang umumnya berkutat pada isu perang-damai.

Dengan demikian, keamanan manusia berfokus pada martabat, kesejahteraan, serta hak asasi individual dan mencegah apa pun yang dapat mengancamnya. Dalam hal ini, mendapatkan pendidikan yang layak juga termasuk di antaranya.

Dalam sebuah pidato, Vernor Munoz Villalobos, Pelapor Khusus Komisi Hak Asasi Manusia PBB untuk bidang pendidikan, mengatakan bahwa lingkungan pendidikan yang aman adalah sebuah hak asasi.

Namun sayangnya, perpeloncoan justru menghambat pemenuhan hak tersebut. Praktik ini mengakibatkan peserta didik kesulitan mendapatkan lingkungan yang aman dan justru diliputi rasa takut dalam proses belajar. Rasa takut ini bisa muncul dari pengalaman menjadi korban, atau dari menyaksikan teman menjadi korban.

Riset Maria Lima dkk, tim peneliti Kesehatan Mental dari Sao Paulo University, Brazil, turut mendukung argumen ini. Berdasarkan penelitian tersebut, ditemukan hubungan antara pengalaman dipelonco dengan kecenderungan untuk mundur dari perkuliahan. Kecenderungan tersebut muncul dari perasaan tak nyaman setelah mengalami perpeloncoan.

2. Perpeloncoan membuat mental runtuh, bukan tangguh

Salah satu dalih yang biasa dipakai untuk membenarkan perpeloncoan adalah untuk melatih ketangguhan mental. Pendukung dalih ini beranggapan bahwa semakin peserta terbiasa ditekan dalam proses perpeloncoan, semakin kuat pula mentalnya.

Faktanya, studi dari Anne Mercuro, peneliti Sosiologi dari Ramapo College Amerika Serikat, justru menyimpulkan bahwa perpeloncoan berdampak negatif pada kepercayaan diri remaja. Penelitian ini mensurvei sekelompok siswa di Amerika Serikat dan menyimpulkan bahwa siswa yang mengalami perpeloncoan cenderung memiliki kepercayaan diri lebih rendah dibanding yang tak mengalaminya.

Selain itu, penelitian milik Caroline Keating, profesor Psikologi asal Colgate University Amerika Serikat juga membantah bahwa perpeloncoan melatih ketangguhan mental. Penelitian ini menemukan bahwa perpeloncoan cenderung menghasilkan mentalitas dependen. Mahasiswa yang mengalami perpeloncoan akan cenderung bergantung pada validasi senior mereka dan kurang berani mengambil keputusan.

Keating juga menggarisbawahi bahwa sikap kooperatif korban dalam perpeloncoan bukanlah ketangguhan mental, namun kerapuhan terselubung. Ini karena korban, dalam upaya untuk dapat diakui seniornya, akan berusaha mencari justifikasi terhadap perpeloncoan sehingga lama-kelamaan kebal terhadap segala penyimpangan yang dialami. Hal ini justru berbahaya dalam proses perkembangan karakter karena akan berujung kepada normalisasi kekerasan.

3. Perpeloncoan menghalangi solidaritas tim

Dalih lain yang sering dipakai adalah bahwa perpeloncoan dapat meningkatkan solidaritas. Para pendukung dalih ini berasumsi bahwa perpeloncoan diperlukan untuk mengakrabkan hubungan antarmahasiswa.

Namun, klaim tersebut juga tak didukung oleh bukti kuat. Di antara riset-riset yang menyanggah klaim tersebut, salah satunya adalah milik Liesbeth Mann dkk dari University of Amsterdam, Belanda. Penelitian ini menunjukkan bahwa perpeloncoan justru menurunkan rasa kepemilikan korban terhadap komunitas barunya.

Penelitian Hein Lodewijkx dan Joseph Syroit, pakar Ilmu Pendidikan asal Utrech University, Belanda, juga menyimpulkan hal serupa. Menggunakan studi kasus dari dua kelompok mahasiswa: satu mengalami masa orientasi dengan perpeloncoan dan satu lagi tidak, didapatkan data bahwa tak ada perbedaan solidaritas yang signifikan dari keduanya. Alih-alih, ditemukan bahwa kelompok yang mengalami perpeloncoan justru menunjukkan gejala frustrasi dan depresi selama masa orientasi.

Selain itu, penelitian dari University of Southern Alabama, Amerika Serikat menemukan bahwa perpeloncoan justru berdampak negatif pada kekompakan tim. Penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan inklusif seperti bakti sosial dan karyawisata justru berdampak positif bagi kohesi junior-senior.

4. Perpeloncoan menurunkan performa akademik

Tak hanya berdampak jangka panjang pada perkembangan karakter, perpeloncoan juga memiliki dampak langsung pada performa akademik.

Dalam proses akademik yang idealnya memupuk kreativitas dan inovasi berpikir, perpeloncoan justru memiliki dampak destruktif. Ia menciptakan mentalitas “yes-man” dan kepatuhan mutlak terhadap hal-hal irasional sekalipun. Trauma yang ditimbulkan perpeloncoan juga berpotensi membuat murid takut berpartisipasi aktif di kelas.

Sebuah survei dari Joseph Groah, peneliti Naval Postgraduate School California dari Amerika Serikat, melaporkan bahwa dari 100 respoden kalangan siswa setingkat SMA di Amerika Serikat yang pernah mengalami perpeloncoan, 21 orang melaporkan adanya penurunan nilai di sekolah.

UNESCO (2019) melalui laporannya yang berjudul Behind the numbers: Ending school violence and bullying pun menyampaikan hal sama. Disebutkan bahwa murid yang mengalami perundungan, seperti perpeloncoan, cenderung memiliki hasil belajar lebih buruk.

Turunnya performa akademik pada kasus perpeloncoan tentu saja bukan tanpa alasan. Sekitar 71% dari korban perpeloncoan mengaku mengalami gejala-gejala negatif. Di antaranya adalah kurang tidur, depresi, memburuknya relasi dengan keluarga, maupun trauma terhadap kelompok pelaku.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now