Menu Close

5 strategi agar pasien non-COVID-19 tak tertular coronavirus di RS dan tetap terlayani

Pekerja kesehatan yang menggunakan alat pelindung diri di depan ruang khusus pasien COVID di sebuah rumah sakit Sumatera Utara, 12 Mei 2020. DEDI SINUHAJI/EPA/AAP

Di tengah serangan COVID-19 di Indonesia yang makin meningkat kasusnya, perjalanan penyakit-penyakit lain yang menular seperti tuberkulosis dan tidak menular seperti jantung, diabetes, ginjal dan stroke yang sudah diidap oleh penduduk tidak berhenti.

Penanganan kegawatan lain seperti patah tulang, luka tusuk, keguguran dan kecelakaan lalu lintas yang bersifat mendadak dan mengancam jiwa juga sangat dibutuhkan.

Tidak melakukan kontrol bagi pasien-pasien seperti ini secara berkepanjangan dapat meningkatkan risiko lebih berat ke depan. Bahkan dapat menimbulkan kematian tanpa perlu terinfeksi COVID-19. Penghentian perawatan pasien penyakit kronis ini tidak beda bahayanya dengan terkena COVID-19 sendiri.

Mereka tetap butuh pemeriksaan setiap bulan ke dokter atau bahkan bisa lebih sering jika keadaan memburuk. Masalahnya, beberapa laporan menunjukkan terjadinya penurunan signifikan kunjungan gawat darurat untuk penyakit jantung di Amerika Serikat dan Inggris karena masyarakat takut akan tertular COVID-19 di rumah sakit.

Berbagai perhimpunan dokter juga menyarankan agar pasien menunda konsultasi tatap muka yang tidak urgen sejalan dengan laporan seperti di Korea Selatan yang menceritakan seseorang dengan COVID-19 dapat menularkan ke seluruh orang di RS.

Karena itu diperlukan inovasi untuk menghadapi perubahan ini untuk melindungi pasien dan tenaga medis di Indonesia. Dukungan pemerintah, rumah sakit dan BPJS Kesehatan penting untuk menghadapi tantangan ini. Berikut 5 hal solusi yang diajukan.

1. Pisahkan rumah sakit khusus COVID-19 dan non-COVID-19

Salah satu yang dapat dilakukan untuk tetap mempertahankan layanan pada pasien non-COVID-19 ini adalah semaksimal mungkin membagi rumah sakit menjadi yang dapat dan tidak dapat menangani COVID-19.

Rumah sakit yang khusus menangani COVID mungkin harus dibuat eksklusif hanya mengurus pasien bergejala penyakit paru, orang dalam pengawasan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) dan pasien positif COVID-19.

Saat ini di lapangan, walau sudah ada imbauan dari Kementerian Kesehatan perihal ini, masih ada campuran antara RS rujukan COVID-19 yang hanya menerima pasien COVID-19 seperti RSUD Tangerang dan RS rujukan yang juga masih menerima pasien non-COVID-19.

Pemisahan layanan ini mungkin sulit dilaksanakan terutama bagi RS rujukan COVID-19 di daerah yang juga pemberi layanan kesehatan utama. Pada kondisi tersebut, setidaknya ada klaster khusus dalam RS tersebut untuk COVID-19 atau bila tidak memungkinkan bangsal tenda khusus COVID-19 atau untuk poliklinik dibuat di pelataran RS. Ini berarti tidak boleh ada perpindahan petugas dan pasien antar kedua klaster tersebut untuk mencegah penyebaran penyakit lintas klaster.

Langkah ini juga dapat membantu mengurangi kebutuhan APD harian karena hanya akan diperlukan bagi klaster COVID-19. Contoh rumah sakit yang menjalankan sistem ini adalah RSCM Jakarta yang menggunakan gedung Kiara khusus untuk pasien COVID-19.

Ilustrasi RS khusus COVID di Pulau Galang. Setkab RI

Selain rumah sakit, penting juga pemerintah menguatkan fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas dan klinik untuk deteksi, penelusuran COVID-19 dan perawatan penyakit kronis lainnya. Mereka adalah garda terdepan dalam berhubungan dengan masyarakat.

Prinsip-prinsip di RS di atas, termasuk adanya alat pelindung diri yang cukup, dapat diadopsi untuk Puskesmas dan klinik sesuai kapasitasnya.

2. Gunakan CT-scan untuk membantu diagnosis dini

Dalam pembentukan RS khusus COVID-19, fokuslah di RS yang sudah memiliki alat CT-Scan. Mengapa? Saat ini, salah satu kendala diagnosis COVID-19 di Indonesia adalah lama waktunya memperoleh hasil tes swab (RT-PCR), bisa sampai 14 hari, dan terkadang diagnosis COVID-19 baru benar-benar jelas pasca kematian pasien.

Dalam beberapa riset di Cina, penggunaan CT-Scan dapat membantu mempercepat mengarahkan diagnosis dengan tingkat akurasi 81% hingga 97% dibandingkan hasil tes swab.

Di Provinsi Hubei Cina, episenter awal COVID-19, gambaran CT-Scan dimasukkan dalam kriteria diagnosis COVID-19 mempercepat identifikasi pasien-pasien COVID-19 sembari menunggu hasil swab.

Di Indonesia, dalam Pedoman Medis Satgas COVID-19, penggunaan CT-Scan tidak tercantum sebagai pembantu diagnosis. Karena itu, perlu ada kebijakan resmi perihal penggunaan CT-Scan yang akan memperjelas kewenangan dokter dalam meminta pemeriksaan ini.

Dari segi fasilitas kesehatan perlu didukung pembentukan protokol penggunaan CT-Scan pada pasien suspek COVID-19 untuk mencegah kontaminasi silang pada pasien yang ternyata negatif coronavirus. Dengan regulasi yang jelas, pembiayaan dari pemeriksaan ini akan tersedia sehingga diharapkan dapat digunakan dengan lebih luas.

Ilustrasi Hasil CT Scan Penderita COVID. RSNA

3. Pakai lab TBC mendukung PCR

Rumah sakit yang memiliki fasilitas lab GeneXpert, biasa digunakan untuk pemeriksaan tuberkulosis resisten obat, dapat dipilih sebagai RS khusus COVID-19.

Laporan WHO menunjukkan dengan bahan kimia (reagen) pendeteksi COVID-19 khusus, alat GeneXpert dapat digunakan untuk pemeriksaan COVID-19.

Pada 2019, dilaporkan terdapat 815 mesin GeneXpert di sejumlah RS di Indonesia. Dengan memberdayakan sebagian mesin ini diharapkan dapat mengurangi beban lab pendukung Kementerian Kesehatan.

Di sisi lain, RS non-COVID dapat difokuskan pada RS bertipe C dan D yang kemungkinan besar tidak memiliki CT-Scan. Seluruh rujukan pasien rutin harus diatur dan diumumkan terbuka dialihkan ke RS non-COVID-19 ini.

Sosialisasi RS khusus COVID-19 atau klaster khusus COVID-19 ini juga harus dilakukan agar menghindari infeksi COVID-19 karena berkunjung ke rumah sakit.

Ilustrasi Alat GeneXpert. USAID

4. Konsultasi dokter dengan telekonsultasi

Konsultasi antara dokter dan pasien dapat menggunakan telekonsultasi (aplikasi) agar dapat membantu mengurangi beban konsultasi rutin dan sekaligus dapat menghindari risiko penularan virus corona.

HaloDoc, AloDokter, MeetDoc dan berbagai layanan telekonsultasi lainnya sudah mulai mengisi ceruk ini, tapi dengan sistem pembayaran mandiri.

BPJS Kesehatan dapat mempertimbangkan bolehnya melanjutkan resep obat kronis yang sudah diderita seperti jantung, stroke, dan parkinson melalui metode ini tanpa perlu tatap muka selama masa tanggap COVID-19.

Selain itu penggunaan booking online dan sistem kupon perlu dibuat agar antrean tidak terjadi di Puskesmas atau rumah sakit sehingga prinsip menjaga jarak sosial terlaksana. Untuk kelompok yang tidak menggunakan internet dapat digerakkan kembali kader dan Ibu PKK untuk membantu mengurus jadwal konsultasi.

Ilustrasi Telekonsultasi.

5. Perlu panduan alokasi ICU dan ventilator bagi pasien COVID-19 dan non-COVID-19

Asosiasi profesi, perhimpunan kedokteran, Satgas COVID-19 dan pemerintah mestinya mulai mengatur pertimbangan dalam alokasi alat-alat vital seperti ventilator pada masa krisis kesehatan.

Dengan keterbatasan Indonesia yang memiliki rasio tempat tidur ICU 2,7 per 100.000 penduduk, alokasi alat-alat ini bagi pasien non-COVID-19 seperti dengan infeksi berat (sepsis), dan paska komplikasi kehamilan juga harus dipertimbangkan pada tingkat nasional dan wilayah.

Hingga saat ini di Indonesia belum ada protokol nasional untuk hal tersebut, kebijakan diserahkan kepada rumah sakit yang dapat memberikan tekanan tambahan pada tenaga medis.

Akhir kata, saat kita mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas penanganan COVID-19 jangan sampai mengorbankan pasien lain dengan penyakit di luar COVID-19 yang tetap memerlukan pengobatan dan tidak berkurang jumlahnya.

Jangan sampai nanti usai wabah ini kita melihat ke belakang bahwa ada banyak kematian yang timbul pada saat ini bukan karena penyakit COVID-19 tapi karena penyakit yang sudah ada yang tidak dapat tertangani.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now