Menu Close

Aktivisme kepala desa: refleksi elitisme dan polarisasi di pedesaan yang kerap tak tampak

Desa Marinsow, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Likupang, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Adwit B Pramono/Antara Foto

Demonstrasi ribuan kepala desa pada Mei lalu di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, yang menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa membuahkan hasil.

Tuntutan ini disambut dengan adanya inisiasi untuk merevisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Desa dengan substansi perubahan mencakup penambahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun dan peningkatan 100% dana desa menjadi Rp 2 miliar per desa.

Keberhasilan para kepala desa meloloskan tuntutan mereka tersebut menunjukkan menguatnya peran pemimpin desa sebagai aktor dominan dalam membentuk arah kebijakan terkait desa. Kemampuan ini berimplikasi pada adanya kemampuan (bargaining power) dalam mengintervensi pola relasi desa-negara ke depan.

Namun, perlu diketahui juga bahwa menguatnya peran kepala desa telah melahirkan polarisasi dan kategorisasi kelas-kelas di desa–hal yang tidak disadari masyarakat di luar desa.

Sejarah relasi desa-negara

Merujuk pada klasifikasi relasi desa-negara dari profesor antropologi Stanford University di Amerika Serikat (AS), Harumi Befu, Indonesia tergolong sebagai negara modern yang pemerintah pusatnya telah mencoba mengambil alih kekuasaan dan otonomi yang secara tradisional menjadi bagian dari desa. Ini dilakukan melalui dua pendekatan.

Pertama, pendekatan represif yang menganggap desa sebagai subordinat (bawahan) dari pemerintah pusat. Pendekatan ini banyak diterapkan selama masa Orde Baru melalui berbagai kebijakan modernisasi. Hal ini kemudian menyebabkan pergeseran karakter desa–dari yang awalnya local-self government (unit pemerintahan otonom) menjadi local-state government (unit organisasi pemerintah wilayah). Desa seringkali diposisikan sebagai objek intervensi proyek pembangunan negara, contohnya dalam kebijakan Revolusi Hijau.

Akibatnya, muncul model patronase yang unik, yakni ketika aksesibilitas atas sumber daya seringkali ditentukan berdasarkan derajat kedekatan elit desa dengan elit pusat. Kondisi ini melahirkan elit-elit desa yang menjadi “anak emas” dari negara dan pola relasi desa-negara yang terjebak dalam jaringan klientelisme (relasi kekuasaan yang personalistik).

Kedua, pendekatan akomodatif yang direalisasikan melalui beberapa kebijakan di era pasca-Orde Baru, seperti melalui UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pendekatan ini dilakukan khususnya melalui desentralisasi politik dan fiskal yang memberikan desa ruang yang lebih besar untuk menentukan arah pembangunannya. Harapannya, daerah-daerah setingkat desa mampu bersaing secara ekonomi.

Sayangnya, ide otonomi ini tidak terealisasi dengan efektif karena desentralisasi pasca-Orde Baru justru memberikan ruang bagi elit lokal untuk “memanfaatkan” sumber daya pembangunan yang sebelumnya tersentralisasi.

Akibatnya, alih-alih memberikan akses terhadap sumber daya secara inklusif di level desa, desentralisasi politik dan fiskal justru melahirkan oligarki lokal.

Strategisnya peran kepala desa dalam politik nasional

Terpenuhinya tuntutan para kepala desa menunjukkan semakin kuat dan strategisnya “kekuatan” elit desa.

Ini semakin menguat lagi menjelang tahun politik. Berjumlah 74.961 di seluruh Indonesia, desa menjadi ceruk politik penting dalam pemenangan elektoral. Dalam konteks Pemilu, kepala desa pasti paham bahwa posisinya sangat strategis untuk menggiring arah suara warganya.

Ini menjadikan mereka memiliki daya tawar yang tinggi terhadap elit pusat untuk mengompromikan hal-hal yang menguntungkan posisi mereka.

Dengan kata lain, kepala desa telah menjadi kelompok elit yang dapat sangat memengaruhi konstelasi politik nasional.

Meski demikian, elitisme ini juga telah menciptakan adanya diferensiasi kelas di tengah kehidupan masyarakat desa. Misalnya, ada kelas elit yang termasuk kepala desa dan pengurus desa, ada pula kelas petani yang kerap kali juga jadi mayoritas.

Polarisasi desa yang tak tampak

Adanya diferensiasi ini seringkali menimbulkan konflik antarkelas, karena biasanya ada kelas masyarakat yang tereksklusi dari sumber daya di desa.

Terlebih lagi, kelompok elit desa ini cenderung lebih leluasa bergerak, karena mereka seringkali tidak terbaca oleh masyarakat umum. Ini karena adanya “romantisasi” terhadap kehidupan di desa–memandang sepenuhnya desa sebagai unit yang homogen, rukun dan bergotong-royong. Desa terus diibaratkan sebagai masyarakat subsisten yang mampu berdamai dengan segala keterbatasan yang mereka miliki.

Romantisasi yang terus diproduksi oleh elit politik di level supra-desa (struktur pemerintahan di atas desa) ini membuat makin banyak masyarakat tidak menyadari adanya polarisasi dan diferensiasi kelas dalam masyarakat desa.

Polarisasi ini berdampak pada ketimpangan atas penguasaan lahan dan sumber produksi pertanian di desa.

Diberikannya akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik, yang tujuannya adalah membangun desa secara fisik maupun sosial, justru seringkali dinikmati oleh segelintir elit desa saja.

Dalam sebuah riset lapangan yang yang saya lakukan di salah satu desa di Kalimantan Selatan pada tahun 2022, sumber daya yang diakses oleh desa justru lebih banyak dinikmati oleh kepala desa dan lingkaran terdekatnya, termasuk aparat desa. Tak heran jika fasilitas pembangunan dan bantuan sosial yang datang seringkali hanya dinikmati oleh keluarga dan pendukung kepala desa.

Pola akses yang tidak adil ini berimplikasi pada rasa acuh dari masyarakat terhadap segala sumber daya yang dimiliki desa. Ide otonomi desa melalui adanya akses atas sumber daya justru menjadi sarana bagi elit desa, khususnya kepala desa, untuk memperkuat posisinya di desa.

Jika kepala desa sudah memiliki basis massa dan kekuatan politik di desa, maka kepala desa mampu membangun jaringan ke atas dengan para elit politik di level supra-desa, dan lebih jauh lagi, jaringan elitisme ini bisa turut serta memengaruhi praktik politik di level pusat.

Fenomena aktivisme kepala desa di Jakarta telah menunjukkan ternyata kepala desa memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang kita bayangkan. Selain mampu mendominasi diskursus terkait desa, kepala desa juga mampu memperluas jaringannya hingga mengintervensi pola relasi desa-negara dalam ruang yang lebih setara.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now