Menu Close
Man worries on train

Bagaimana caranya agar saya bisa berhenti ‘overthinking’? Ini solusi dari psikolog klinis

Sebagai seorang psikolog klinis, saya sering menemui klien yang mengatakan bahwa mereka bermasalah dengan pikiran-pikiran yang “terus berputar tanpa henti” di kepala mereka, yang sulit mereka atasi.

Rumination (merenung) dan overthinking (berpikir berlebihan) sering kali dianggap sama. Keduanya memang saling terkait tapi sedikit berbeda. Rumination adalah memikirkan hal yang berulang-ulang di benak kita. Hal ini dapat menyebabkan overthinking–menganalisis pemikiran tersebut tanpa menemukan solusi atau memecahkan masalah.

Ini seperti piringan hitam yang memutar bagian lagu yang sama berulang-ulang karena adanya goresan. Sementara alasan kita terlalu banyak berpikir sedikit lebih rumit.


Read more: Why do we wake around 3am and dwell on our fears and shortcomings?


Mewaspadai ancaman

Otak kita terprogram untuk berjaga-jaga terhadap ancaman, membuat rencana untuk mengatasi ancaman tersebut dan menjaga kita tetap aman. Persepsi ancaman tersebut mungkin didasarkan pada pengalaman masa lalu, atau “kemungkinan” yang kita bayangkan bisa terjadi di masa depan.

Kemungkinan-kemungkinan ini biasanya merupakan hasil yang negatif dari pola pikir “Gimana kalau?”. Inilah yang kami sebut “hot thoughts"–hal ini memunculkan banyak emosi (terutama kesedihan, kekhawatiran atau kemarahan), yang berarti kita dapat dengan mudah terjebak pada pikiran-pikiran tersebut dan terus memikirkannya.

Karena ini tentang hal-hal yang telah terjadi atau mungkin terjadi di masa depan (tetapi tidak terjadi sekarang), kita tidak dapat menyelesaikan masalahnya dan membuat kita terus memikirkan hal yang sama.

Siapa yang terlalu banyak berpikir?

Kebanyakan orang pada suatu waktu menemukan diri mereka dalam situasi terlalu banyak berpikir.

Beberapa orang mungkin lebih sering merenung. Orang-orang yang pernah menghadapi tantangan atau mengalami trauma mungkin lebih waspada dan berjaga-jaga terhadap ancaman dibandingkan orang yang tidak pernah mengalami kesulitan.

Pemikir mendalam, orang-orang yang rentan terhadap kecemasan atau suasana hati yang buruk, dan mereka yang sensitif atau merasakan emosi secara mendalam juga lebih cenderung merenung dan berpikir berlebihan.

Woman holds her head, looking stressed
Kita semua pernah berpikir berlebihan, tetapi beberapa orang lebih sering merenung. BĀBI/Unsplash

Selain itu, saat kita stres, emosi kita cenderung menjadi lebih kuat dan bertahan lebih lama. Pikiran kita menjadi kurang akurat, yang berarti kita bisa terjebak pada pikiran lebih dari biasanya.

Menjadi lesu atau tidak sehat secara fisik juga bisa membuat pikiran kita lebih sulit diatasi dan dikelola.

Akui perasaanmu

Ketika pikiran terus berulang, ada gunanya menggunakan strategi yang berfokus pada emosi dan masalah.

Berfokus pada emosi berarti mencari tahu bagaimana perasaan kita terhadap sesuatu dan mengatasi perasaan itu. Misalnya, kita mungkin merasa menyesal, marah atau sedih atas sesuatu yang telah terjadi. Atau, bisa saja kita khawatir terhadap sesuatu yang mungkin terjadi.

Mengakui emosi tersebut, menggunakan teknik perawatan diri, dan mengakses dukungan sosial untuk membicarakan dan mengelola perasaanmu akan sangat membantu.


Read more: How to be kind to yourself (without going to a day spa)


Bagian kedua adalah berfokus pada masalah–apa yang akan kamu lakukan secara berbeda (jika pemikiran tersebut mengenai sesuatu dari masa lalumu) dan membuat rencana untuk menghadapi kemungkinan masa depan yang muncul dari pemikiranmu.

Namun sulit untuk merencanakan semua kemungkinan, sehingga strategi ini memiliki kegunaan yang terbatas.

Hal yang lebih bermanfaat adalah membuat rencana untuk satu atau dua kemungkinan yang lebih mungkin terjadi dan menerima bahwa bisa saja ada hal-hal yang tidak terpikirkan olehmu.

Pikirkan alasannya

Perasaan dan pengalaman kita adalah informasi–penting untuk menanyakan apa yang disampaikan informasi ini kepadamu dan mengapa pemikiran ini muncul sekarang.

Misalnya, universitas baru saja dimulai kembali. Orang tua dari lulusan sekolah menengah mungkin terbangun di malam hari (waktu ketika merenung dan berpikir berlebihan adalah hal biasa) mengkhawatirkan anak mereka.

Man lays awake in bed
Pikirkan apa yang disampaikan informasi tersebut kepadamu. TheVisualsYouNeed/Shutterstock

Mengetahui bagaimana kita akan menanggapi beberapa kemungkinan yang berpeluang terjadi, semisal anak kita mungkin membutuhkan uang, kesepian atau rindu kampung halaman, bisa membantu.

Namun, terlalu banyak berpikir juga merupakan tanda adanya tahap baru dalam hidupmu, dan kamu perlu mengurangi kendali atas pilihan dan kehidupan anakmu, sambil menginginkan yang terbaik untuknya. Menyadari hal ini berarti kamu juga dapat membicarakan perasaan tersebut dengan orang lain.

Biarkan pikiran itu pergi

Cara bermanfaat untuk mengelola overthinking adalah ”ubah, terima, dan lepaskan“.

Tantang dan ubah aspek pemikiranmu sebisa mungkin. Misalnya saja, kemungkinan anakmu akan kehabisan uang, tidak punya makanan, dan kelaparan (berpikir berlebihan cenderung membuat otakmu memunculkan akibat yang sangat buruk!) kecil kemungkinannya.

Kamu dapat merencanakan untuk bertanya kepada anakmu secara teratur tentang bagaimana dia mengatasi masalah keuangan dan mendorongnya untuk mengakses dukungan penganggaran dari layanan universitas.

Pikiranmu hanyalah ide. Hal-hal tersebut belum tentu benar atau akurat, namun jika kita terlalu memikirkannya dan mengulang-ulangnya, hal-hal tersebut akan mulai terasa benar karena sudah familiar. Memunculkan pemikiran yang lebih realistis dapat membantu menghentikan putaran pemikiran yang tidak perlu.


Read more: Why do I remember embarrassing things I've said or done in the past and feel ashamed all over again?


Menerima emosi dan menemukan cara untuk mengelolanya seperti perawatan diri yang baik, dukungan sosial, atau komunikasi dengan orang-orang terdekat, juga akan membantu. Begitu pula dengan menerima bahwa hidup pasti tidak bisa dikendalikan – yang bisa kita kendalikan adalah reaksi dan perilaku kita.

Ingat bahwa kamu memiliki tingkat keberhasilan 100% dalam melewati tantangan hingga saat ini. Kamu mungkin ingin melakukan sesuatu secara berbeda (dan berencana melakukannya) tapi kamu sudah pernah berhasil.

Jadi, bagian terakhir adalah melepaskan kebutuhan untuk mengetahui secara pasti bagaimana segala sesuatunya akan terjadi, dan percaya pada kemampuanmu (dan terkadang orang lain) untuk mengatasinya.

Apa lagi yang bisa kamu lakukan?

Otak yang stres dan lelah akan lebih mungkin berpikir berlebihan, sehingga menyebabkan lebih banyak stres dan menciptakan siklus yang dapat memengaruhi kebahagiaan atau wellbeing-mu.

Jadi, penting untuk mengelola tingkat stresmu dengan makan dan tidur nyenyak, menggerakkan tubuh, melakukan hal-hal yang kamu sukai, bertemu orang-orang yang kamu sayangi, dan melakukan hal-hal yang memberi energi pada jiwa dan semangatmu.

Woman running
Temukan cara untuk mengelola tingkat stresmu. antoniodiaz/Shutterstock

Distraksi–dengan melakukan aktivitas yang menyenangkan dan bertemu orang-orang yang membuatmu gembira–juga dapat membuat pikiranmu tidak berulang-ulang.

Jika kamu merasa overthinking memengaruhi hidupmu, dan tingkat kecemasanmu meningkat atau suasana hatimu menurun–tidur, nafsu makan, dan kenikmatan hidup serta orang-orang terkena dampak negatif–mungkin inilah saatnya untuk berbicara dengan seseorang dan mencari tahu strategi mengelolanya.

Ketika segala sesuatunya menjadi terlalu sulit untuk dikelola sendiri (atau dengan bantuan orang-orang terdekatmu), terapis dapat memberikan alat yang terbukti bermanfaat. Beberapa alat bermanfaat untuk mengelola kekhawatiran dan pikiranmu juga dapat ditemukan di sini.

Ketika kamu mendapati dirimu overthinking, pikirkan mengapa kamu memiliki "pikiran panas”, akui perasaanmu, dan lakukan pemecahan masalah yang berfokus pada masa depan. Tetapi, terimalah juga bahwa hidup tidak dapat diprediksi dan fokuslah pada keyakinan dan kemampuanmu untuk mengatasinya.


Read more: New year's resolutions: how to get your stress levels in check


This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now