Menu Close
Gatot Adri/Shutterstock.

Bagaimana daya tarik fisik memengaruhi penilaian akademis mahasiswa menurut riset

Penampilan fisik merupakan faktor penting dalam memprediksi kesuksesan orang dalam hidupnya. Biasanya, orang dengan daya tarik tinggi ingin kehidupan yang baik pula, dan jarang terlibat dalam hal kriminal. Namun, hal ini dapat mengarah pada praktik diskriminasi.

Diskriminasi berdasarkan penampilan tidak hanya terjadi di dunia kerja, namun sudah dimulai sejak di bangku pendidikan atau kuliah. Bahkan, studi tahun 2023 dan tahun 2017 menunjukkan bahwa penampilan fisik memiliki peran besar dalam menentukan keberhasilan seseorang di ranah akademis.

Artikel ini memaparkan beberapa hasil riset di seluruh dunia terkait hubungan nilai akademis dengan tingkat paras ketampanan/kecantikan peserta didik. Artikel ini juga membahas bagaimana sebaiknya dosen melakukan penilaian kepada peserta didik.

Karena belum ada publikasi resmi terkait diskriminasi dosen dalam memberikan nilai kepada mahasiswa berparas good looking di Indonesia, maka penulis melakukan wawancara tidak terstruktur tentang pengalaman mahasiswa terkait diskriminasi ini.

Paras cantik dan nilai akademis

Dalam wawancara tidak terstruktur yang kami lakukan kepada 3 narasumber lulusan jurusan Teknik Sipil, Teknik Industri, dan Teknik Mesin dari kampus ternama di Indonesia, narasumber pertama (perempuan) menyebutkan bahwa salah satu dosennya (laki-laki) hanya memberikan nilai A kepada mahasiswi saja, terutama mahasiswi yang cantik. Sementara itu, mahasiswa lain hanya mendapatkan nilai C, D, atau E.

Narasumber lain (juga perempuan) mengungkapkan bahwa pada salah satu tahun ajaran, pernah ada situasi di mana hanya satu mahasiswi saja—yang cantik dan aktif di kelas—yang mendapatkan nilai A di kelas tersebut. Saat proses belajar berlangsung, sang dosen hanya berinteraksi dengan mahasiswi yang cantik saja di kelas, sehingga mahasiswa/i lain tidak memiliki kesempatan untuk aktif berdiskusi.

Selain itu, saat ada take-home exam, biasanya ada satu sumber jawaban dari mahasiswa yang pintar sehingga dapat dipastikan hampir seluruh mahasiswa/i di kelas memiliki jawaban serupa. Namun, hanya mahasiswi cantik yang sering berinteraksi dengan sang dosen sajalah yang mendapatkan nilai A.

Narasumber juga menyampaikan bahwa dosen lebih condong mengutamakan mahasiswi yang cantik untuk mendapatkan kesempatan ikut dalam penelitiannya ataupun proyek yang sedang ia kerjakan. Misalnya, mahasiswi tersebut menjadi asisten peneliti di lapangan, pengolah data, ataupun tenaga pencari partisipan penelitian. Kesempatan ini tidak dibuka secara luas oleh dosen yang bersangkutan, melainkan dosen mendekati langsung si mahasiswi untuk terlibat dalam kegiatannya tersebut. Hal ini membuat mahasiswa/i lainnya merasa tidak ada transparansi untuk mendapatkan pengalaman akademis serupa.

Narasumber ketiga (laki-laki) juga mengeluhkan persoalan transparansi nilai ini. Ia dan rekan-rekannya sudah melaporkan masalah ini kepada program studi tapi tidak mendapatkan tanggapan memuaskan.

Temuan wawancara ini mirip dengan hasil penelitian tahun 2022, yang dilakukan pada 307 mahasiswa program Teknik Industri di Swedia. Riset ini menunjukkan bahwa mahasiswa berparas good looking akan mendapat nilai lebih tinggi pada mata kuliah nonkuantitatif, karena pada mata kuliah tersebut terjadi interaksi lebih banyak antara dosen dan mahasiswa.

Meski demikian, sejak pembelajaran daring selama masa pandemi COVID-19 diterapkan, nilai akademis mahasiswi yang berwajah good looking menurun karena absennya interaksi langsung. Sebaliknya, untuk mahasiswa laki-laki, hubungannya tetap bersifat positif bahkan setelah diterapkannya pembelajaran daring.

Artinya, mahasiswa laki-laki yang berwajah tampan tetap mendapatkan penilaian yang positif dari dosen meskipun interaksi yang terjalin terbatas akibat situasi pandemi.

Riset menunjukkan bahwa daya tarik fisik dapat mempengaruhi objektivitas dosen dalam menilai. CrispyPork/shutterstock.

Persepsi atas kecantikan

Fenomena hubungan paras wajah dan nilai akademis ini bisa dijelaskan melalui teori Halo Effect, yaitu bias kognitif di mana karakteristik positif seseorang memengaruhi persepsi orang lain terhadap dirinya.

Penelitian lintas negara yang dilakukan tahun 2022 menunjukkan bahwa daya tarik atau kecantikan yang dimiliki seseorang berhubungan secara positif dengan sebagian besar ciri kepribadian yang diinginkan dalam relasi sosial.

Secara spesifik, data dari 11 wilayah di dunia tersebut menunjukkan bahwa wajah laki-laki dan perempuan yang dinilai lebih menarik identik dengan kualitas diri yang positif. Contohnya, mereka dianggap lebih memiliki kepercayaan diri, stabil secara emosional, cerdas, bertanggung jawab, mudah bergaul, dan dapat dipercaya.

Untuk memastikan relasi antara daya tarik fisik dengan kecerdasan, riset tahun 2016 meneliti 100 wajah mahasiswa yang telah melaporkan performa akademisnya. Partisipan penelitian diminta untuk memberikan face rating yang terdiri dari empat penilaian, yaitu ‘tidak menarik’ hingga ‘sangat menarik’, ‘tidak cerdas’ hingga ‘sangat cerdas’, ‘sangat tidak bertanggung jawab’ hingga ‘sangat bertanggung jawab’, dan ‘memiliki kinerja akademis yang buruk’ hingga ‘yang sangat tinggi’.

Jawaban ini kemudian dibandingkan dengan performa akademis sesungguhnya dari 100 mahasiswa yang membagikan wajahnya dalam penelitian ini. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara face rating tersebut dengan performa akademis mahasiswa.

Namun, terdapat hubungan yang signifikan antara daya tarik dengan anggapan bahwa mahasiswa tersebut cerdas, bertanggung jawab, dan memiliki kinerja akademis yang baik. Dengan demikian, daya tarik seseorang memang rentan membuat kita menilainya secara lebih positif.

Perlunya rubrik penilaian

Kerentanan ini tentunya dapat memengaruhi penilaian dosen terhadap mahasiswanya. Daya tarik fisik yang dimiliki mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan, seharusnya tidak menjadi dasar bagi dosen untuk memberikan evaluasi positif.

Untuk mencegah hal ini, diperlukan rubrik penilaian terhadap proses belajar sejak awal perkuliahan. Rubrik ini perlu dibuat dan dikenali oleh mahasiswa sejak hari pertama kuliahnya agar mereka tahu dengan pasti apa yang menjadi poin penilaian mereka di sepanjang semester. Upaya ini juga bisa membantu dosen untuk disiplin terhadap rubrik penilaiannya tersebut. Lebih jauh lagi, performa akademis mahasiswa dapat dinilai melalui penilaian bersama antara minimum dua orang dosen. Dengan demikian, dosen memiliki nilai pembanding yang dapat membantu obyektivitasnya terjaga.

Pemberian evaluasi secara berkala di sepanjang kuliah juga bisa membantu mahasiswa untuk memperbaiki performa akademisnya selama satu semester tersebut. Mahasiswa menjadi tahu hal-hal yang sudah baik dan yang masih perlu ditingkatkan. Di sisi lain, dosen dapat lebih memahami performa akademis mahasiswa terlepas dari penampilan fisiknya karena terus melakukan pemantauan terhadap tingkah laku mahasiswa tersebut di kelas.

Transparansi merupakan hal penting di dunia akademis. Setelah penilaian mata kuliah selesai, mahasiswa perlu memiliki ruang untuk menyanggah nilai yang diumumkan bila tidak sesuai dengan hasil rubrik penilaian yang disepakati di awal perkuliahan. Sistem ini akan menunjukkan bahwa dosen telah melakukan penilaian secara inklusif, adil, dan tidak berpihak kepada kelompok tertentu yang dinilai menarik secara fisik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,700 academics and researchers from 4,959 institutions.

Register now