Menu Close

Bagaimana seharusnya Indonesia bersikap terhadap konflik Rusia-Ukraina?

Warga melakukan aksi solidaritas sebagai bentuk keprihatinan atas agresi militer Rusia terhadap Ukraina. Mohammad Ayudha/nym/Antara

Presiden Rusia Vladimir Putin mulai melakukan agresi militer terhadap Ukraina pada 24 Februari 2022, serangan yang oleh Menteri Luar Negeri Ukraina Dymtro Kuleba disebut sebagai “invasi skala penuh”.

Serangan tersebut telah memantik kekhawatiran internasional dan krisis keamanan global. Mewakili sikap Indonesia, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menyampaikan pernyataan yang sangat jelas, bahwa semua pihak yang terlibat harus menahan diri dan perang tidak boleh terjadi

Sikap Presiden Jokowi tersebut menggambarkan prinsip diplomasi Indonesia yang menerapkan politik luar negeri bebas aktif. Menurut UU No.37 tahun 1999, politik luar negeri bebas aktif artinya Indonesia bebas menentukan sikap tanpa terikat pada salah satu poros politik dunia serta aktif dalam penyelesaian konflik global.

Dalam banyak kasus konflik regional maupun global, pemerintah Indonesia selalu menyerukan perdamaian antara pihak berkonflik tanpa menuduh atau memihak salah satu pihak.

Namun, melihat implikasi konflik Rusia-Ukraina ini, Indonesia agaknya juga perlu mempersiapkan diri akan dampak keamanan yang dapat terjadi sekaligus melihat celah yang dapat “dimanfaatkan” dari segi implikasi ekonomi.

Bersiap akan efek domino

Serangan Rusia ke Ukraina dapat menciptakan efek domino berupa anggapan bahwa serangan ke negara berdaulat lainnya diperbolehkan.

Bila invasi Rusia “dimaklumi”, contoh efek domino yang bisa terjadi adalah pemakluman agresivitas Cina atas Laut Cina Selatan yang bisa berdampak pada keamanan Indonesia.

Figur 1. Peta Kekuatan Militer China 2020. Financial Times

Melihat Figur 1 terkait kuantitas militer Cina, kekuatan militer negara tirai bambu tersebut yang dapat digunakan untuk melancarkan agresi di Laut China Selatan patut jadi pertimbangan serius.

Jika demikian, maka keputusan Kementerian Pertahanan Indonesia untuk membeli kapal selam dan pesawat tempur dari Perancis sudah tepat, demi mencegah kemungkinan Cina menjadi terlalu agresif.

Indonesia tentunya perlu memperhatikan dan mengawasi potensi agresivitas Cina atas Laut Cina Selatan.

Jika Cina semakin agresif, negara-negara Asia Tenggara harus menghadapi perlawanan Cina tanpa Amerika Serikat (AS).

Mengapa tanpa AS?

Apa yang terjadi di Ukraina pastinya sangat berpengaruh bagi situasi politik AS. Partai Republik mengkritik keras langkah Rusia, namun juga mengeluhkan sikap Presiden AS, Joe Biden, yang hanya mengeluarkan pernyataan ancaman sanksi ekonomi tanpa diiringi tindakan nyata.

Sikap politik luar negeri AS dalam konflik ini perlu dimaknai sebagai pragmatisme Biden semata, yang memperlihatkan bahwa tidak ada jaminan AS akan benar-benar melindungi suatu negara dari gangguan negara rivalnya, seperti Ukraina dari gangguan Rusia.

Bersiap menghadapi lonjakan pengungsi

Fenomena Musim Semi di Arab (Arab Spring) pada tahun 2011 akibat gejola politik di Timur Tengah membuat tak kurang dari 13,5 juta orang menjadi pengungsi yang kini tersebar di berbagai negara termasuk Indonesia.

Berkaca dari situ, banyak negara di dunia yang perlu mempersiapkan lonjakan jumlah pengungsi akibat konflik Rusia - Ukraina.

Menurut teori Faktor Pendorong dan Penarik (Push and Pull Factors Theory) dari Philip Marthin, seorang profesor dari University of California Davis yang berfokus pada isu ekonomi tenaga kerja dan ekonomi agrikultural, dan Gottfried Zürcher, seorang direktur dari International Center for Migration Policy Development di Wina, Austria, perang menjadi salah satu faktor pendorong manusia untuk mengungsi.

Sementara itu, negara yang relatif aman dari segi kondisi politik, seperti Indonesia, menjadi negara tujuan strategis bagi para pengungsi.

Oleh karena itu, Indonesia perlu mempersiapkan diri untuk memperkuat tata kelola pengungsi agar meminimalisir risiko yang diakibatkan membludaknya jumlah pengungsi di Asia Tenggara.

“Memanfaatkan” dampak ekonomi

Rusia menguasai 40% pasokan gas untuk negara-negara anggota Uni Eropa. Pasokan dan distribusi gas Rusia sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah melalui Gazprom, perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) penyedia gas.

Uni Eropa jelas sangat membutuhkan gas untuk keperluan pembangkit listrik dan sarana transportasi. Terdapat dua jenis perjanjian antara Uni Eropa dengan Gazprom, yakni perjanjian jangka panjang dan pembelian sewaktu-waktu menggunakan takaran volume.

Figur 2 Peta Pipa Gas Rusia-Eropa. The Economist

Jika melihat Figur 2, setidaknya ada lima jalur distribusi gas dari Rusia ke benua Eropa. Jika, misalnya, pipa gas Nord Stream 1 dan 2, serta Pipa Yamal ditutup oleh Gazprom, dan konflik Rusia-Ukraina berkepanjangan, bukan tidak mungkin Eropa akan mengalami krisis gas.

Ketergantungan Uni Eropa pada gas Rusia itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa negara-negara di benua biru tersebut terlihat kurang leluasa dalam bersikap terhadap konflik Rusia-Ukraina.

Namun, kondisi tersebut justru dapat “dimanfaatkan” Indonesia.

Bila konflik berkepanjangan, negara-negara Eropa membutuhkan bahan material alternatif untuk pembangkit listrik akibat kemungkinan dibatasinya pasokan gas dari Rusia.

Energi batubara diprediksi akan dilirik sebagai alternatif paling memungkinkan. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah mengingat Indonesia merupakan pengekspor batu bara terbesar ke-2 di dunia.

Memang, Uni Eropa punya komitmen jangka panjang untuk menghapus penggunaan batubara. Namun, data yang dilansir dari Reuters menunjukkan bahwa pada Desember 2021 impor batubara oleh Uni Eropa justru meningkat signifikan, yakni sebesar 35,1%.

Indonesia sebenarnya berpotensi memainkan peranan penting dengan mengatur harga batubara. Misalnya, Indonesia dapat mengurangi pasokan batubara ke 10 negara tujuan ekspor dan menawarkan Uni Eropa untuk memasok batubara dari Indonesia.

Melalui skema tersebut, Indonesia dapat memperoleh profit dari kemungkinan naiknya harga batubara yang sebelumnya anjlok.

Indonesia juga dapat menekan Uni Eropa secara politik untuk menghapus gugatan larangan ekspor nikel oleh pemerintah Indonesia yang diajukan ke WTO, atau meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam perjanjian dagang lain antara Uni Eropa-Indonesia.

Pada intinya, prinsip Indonesia yang mengutamakan diplomasi untuk mencapai perdamaian sudah tepat. Namun, pemerintah harus tetap mempersiapkan diri menghadapi dampak yang mungkin terjadi akibat konflik Rusia-Ukraina. Di sisi lain, Indonesia juga harus jeli melihat peluang ekonomi yang dapat terjadi sebagai implikasi dari konflik kedua negara tersebut.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now