Menu Close
Pasien pemegang kartu BPJS Kesehatan menunggu resep obat di RSUD Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, 9 Februari 2023. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/nym.

Belajar dari krisis Jaminan Kesehatan Inggris (NHS), bagaimana BPJS Kesehatan agar tidak kolaps?

Program National Health Services (NHS) atau Jaminan Kesehatan Nasional Inggris saat ini tengah menghadapi krisis karena berbagai faktor yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sistem asuransi sosial tertua di dunia itu.

Populasi yang menua, tren penyakit kronik, kurangnya investasi fasilitas kesehatan dan penunjang, kurangnya kesejahteraan tenaga kesehatan, serta tingginya inflasi merupakan faktor-faktor yang menekan NHS.

Indonesia, yang sejak 2014 memiliki program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, perlu belajar dari masalah NHS agar tidak mengalami nasib yang sama. Perencanaan jangka panjang yang terukur diperlukan untuk menjamin kemampuan sistem kesehatan merespons tantangan masa depan.

Populasi tua di Inggris meningkat

Salah satu masalah utama yang dihadapi NHS adalah ketidakmampuan sistem jaminan kesehatan menyediakan layanan yang optimal karena ketidakseimbangan antara layanan yang tersedia dan permintaan atau kebutuhan masyarakat.

Seperti beberapa negara maju lain di dunia, Inggris berhadapan dengan “bom waktu” bernama piramida populasi. Sekitar 19 persen populasi berusia 65 tahun ke atas. Usia harapan hidup rata-rata masyarakat Inggris pada 2018-2020 adalah 79 tahun untuk laki-laki dan 82,9 tahun untuk perempuan. Ini lebih tinggi sekitar 12 tahun dibandingkan saat NHS pertama kali dijalankan pada 1948.

Di satu sisi, naiknya usia harapan hidup berarti layanan NHS dan kemajuan kedokteran modern mampu mencegah kematian dini. Tapi, di sisi lain lebih banyak populasi berusia tua yang harus ditanggung oleh sistem kesehatan.

Populasi lanjut usia (lansia) ini lebih rentan dan jika sakit cenderung membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan pasien usia muda. Sayangnya, rata-rata pendanaan per kapita pemerintah Inggris untuk NHS tidak meningkat signifikan selama periode pergeseran demografi ini. Iuran bulanan NHS untuk warga negara ditanggung oleh negara yang sebagian besar bersumber dari pajak melalui National Insurance Contributions.

Dari dekade 2009/2010 ke 2019/2020, penambahan pendanaan rata-rata hanya 1,1% per tahun. Akibatnya lebih sedikit dokter, perawat, maupun kapasitas rawat inap yang mampu disediakan oleh NHS.

Hal ini diperberat dengan tren penyakit yang mulai bergeser kepada penyakit kronis seperti demensia, kanker, dan penyakit jantung. Penyakit jenis ini biasanya membutuhkan perawatan jangka panjang setelah pasien dipulangkan dari rumah sakit.

Ironisnya, kurangnya investasi di sektor penunjang kesehatan membuat kapasitas rumah rawat (care home) terbatas dalam menerima pasien dari rumah sakit. Akibatnya, antrean pasien terpaksa menunggu di rumah sakit dan membuat rumah sakit sulit mengakomodasi lonjakan pasien baru. Fenomena ini tampak jelas ketika Inggris harus berhadapan dengan melonjaknya pasien flu dan COVID-19 pada musim dingin.

Masalah lainnya adalah situasi ekonomi yang cukup serius di Inggris akibat tingginya inflasi. Tidak sulit untuk menemukan berita pemogokan kerja yang dilakukan oleh serikat pekerja dari berbagai profesi, termasuk tenaga kesehatan belakangan ini. Salah satu tuntutan yang umum adalah kenaikan upah.

Para tenaga kesehatan di London menuntut kenaikan upah baru-baru ini. Author provided

Belajar dari NHS

Penerapan kebijakan Universal Health Coverage (UHC) atau cakupan kesehatan semesta di negara maju dan negara berkembang menghadapi tantangan berbeda-beda.

Beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain karakteristik demografi, besar anggaran negara yang dialokasikan untuk UHC, dan besaran iuran yang dibayarkan masyarakat.

Dengan status sebagai negara berkembang, program UHC seperti BPJS Kesehatan di Indonesia adalah contoh kebijakan yang progresif. Dengan jumlah populasi terbesar keempat di dunia, yakni 270 juta jiwa, tentu tidak mudah membuat sistem jaminan kesehatan yang layak dan mampu menjangkau masyarakat di seluruh wilayah.

Namun, bagaimana Indonesia bisa terhindar dari krisis yang saat ini dihadapi Inggris terkait kebijakan NHS?

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah sebagai aktor utama dan didukung pihak terkait (misalnya lembaga swadaya masyarakat, lembaga riset, dan komunitas) untuk memperkuat sistem kesehatan yang telah kita bangun.

Pertama , pemerintah perlu memperkuat regulasi dan kebijakan untuk mengontrol lonjakan populasi berusia tua (ageing population). Misalnya, menjalankan kembali program keluarga berencana pada era Orde Baru. Edukasi pencegahan pernikahan dini juga diperlukan.

Bom waktu lain yang perlu diantisipasi di Indonesia adalah tingginya persentase perokok berat usia produktif atau muda. Jika dibiarkan, mereka berisiko menjadi generasi tua yang sakit kronis seperti sakit jantung, stroke, atau kanker dan membutuhkan perawatan berbiaya tinggi. Situasi ini memerlukan terobosan ekstrem.

Salah satu contoh penanganan terkait masalah ini bisa belajar dari Selandia Baru yang menerapkan larangan merokok (smoking ban) 100% untuk penduduk berusia di bawah 14 tahun (lahir pada 2009 dan setelahnya). Negara ini merencanakan menjadi negara bebas rokok pada 2025. Sayangnya kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia masih lemah dan parsial sehingga jumlah perokok terus naik.

Kedua, pemerintah juga perlu memperkuat kelembagaan dan pembiayaan BPJS Kesehatan. Contoh hal yang dapat dilakukan adalah skema kombinasi BPJS dan asuransi swasta. Hal ini dapat menarik minat golongan kelas menengah atas yang selama ini belum menggunakan BPJS untuk turut bergabung dan ikut urunan.

Pentingnya meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antara pemerintah (sektor publik) dan swasta dalam pengelolaan program UHC dibahas secara mendalam dalam laporan WHO yang dirilis pada 2020. Status BPJS Kesehatan sebagai lembaga independen di bawah Presiden juga perlu dijaga, untuk menjamin dana kelolaan BPJS Kesehatan tetap aman dalam kondisi turbulensi ekonomi dan politik seperti di Inggris.

Ketiga, investasi berkelanjutan terhadap instrumen layanan kesehatan dan fasilitas pendukungnya. Sejak tujuh tahun terakhir, pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN agar layanan kesehatan bagi masyarakat terselenggara dengan baik. Hal ini adalah contoh kebijakan yang maju untuk ukuran negara berkembang.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana belanja di bidang ini bisa berkualitas, terutama untuk merespons pergeseran tren dari penyakit menular ke arah penyakit tidak menular (PTM) dan kronis.

Dalam beberapa tahun ke depan, pemerintah perlu mendorong penguatan instrumen pendukung layanan kesehatan seperti rumah jompo (care homes). Memperkuat transportasi dan fasilitas publik yang memungkinkan generasi lansia masa depan untuk hidup secara mandiri juga diperlukan.

Dengan piramida populasi saat ini, pada 2045 Indonesia berpotensi mempunyai banyak generasi tua dengan kemungkinan sakit dan “akan” sakit. Strategi mencegah kesakitan pada hari tua adalah dengan tetap hidup aktif, dan hidup aktif pada usia tua perlu ditunjang fasilitas publik memadai.

Keempat, memprioritaskan anggaran untuk mendukung kesejahteraan tenaga kesehatan. Selama pandemi, tenaga kesehatan mendapatkan insentif, tapi pembayarannya tidak selalu mulus.

Terakhir, program edukasi promosi gaya hidup sehat dapat digencarkan, misalnya melibatkan kerja sama antara Kementerian Kesehatan dengan NGO, think tank, dan komunitas yang berfokus pada isu-isu kesehatan masyarakat.


Dokter Rezka Dwi Fathana, mahasiswa master pada program Clinical Neuroscience di University College London, berkontribusi dalam penuliran artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now