Menu Close

Berebut bangku pendidikan: kenapa sekolah swasta tak seharusnya menjadi jawaban dari masalah sekolah negeri

“Sekolah bukan saja soal ilmu. Orang tua harus cari sekolah yang bisa mendukung jejaring sosial anak-anak!”

“Untuk SD-SMP, masuk swasta aja supaya anak bisa dapat fondasi yang kuat!”

“Orang tua jangan lupa nabung, biaya sekolah anak semakin mahal!”

Seruan di atas serta tips tentang perencanaan keuangan untuk sekolah anak marak muncul di masyarakat, apalagi menjelang tahun ajaran baru sekolah.

Fenomena seperti ini bisa dipahami karena sekolah memang bukan saja tempat belajar, tapi juga tempat di mana kelas sosial direproduksi. Sekolah bergengsi menjadi tempat bagi kelompok menengah ke atas untuk mengamankan posisi kelas sosialnya, sekaligus membedakan posisi mereka dengan keluarga lain yang kondisi ekonominya lebih terbatas.

Akibatnya, pilihan orang tua untuk mengirimkan anaknya ke sekolah swasta bergengsi seakan mengandung unsur moral.

Orang tua, misalnya, mengambil pilihan tersebut untuk memberikan kesempatan yang terbaik untuk anaknya.

Meskipun tidak selalu memiliki kualitas luaran yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah publik, umumnya sekolah swasta bergengsi punya fasilitas pembelajaran yang lebih lengkap, kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang mendukung potensi anak, serta perbandingan jumlah siswa dan guru yang lebih sedikit sehingga pembelajaran bisa lebih efektif.

Selain itu, pilihan orang tua untuk mengirimkan anak ke sekolah swasta bisa jadi juga dilakukan dengan dalih memberikan kesempatan bagi keluarga lain, khususnya dari kelas menengah ke bawah untuk mengakses pendidikan di sekolah publik yang lebih terjangkau dibandingkan sekolah swasta bergengsi. Alasan ini bisa dimengerti karena jumlah sekolah negeri memang relatif terbatas, bahkan di kota besar.

Artinya, fenomena mengirimkan anak ke sekolah swasta cenderung menggambarkan pendidikan sebagai barang privat.

Dalam perspektif ini, pendidikan semata-mata adalah investasi keluarga untuk masa depan anaknya. Di sini, mekanisme pasar bekerja – makin sejahtera keluarga, makin besar kemungkinan anak mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Terbatasnya dan kurang meratanya sekolah yang berkualitas mengharuskan orang tua, bahkan dari sesama kelas menengah ke atas, untuk berkompetisi agar bisa berinvestasi di tempat yang tepat.

Melalui tulisan ini, saya ingin menjelaskan bagaimana fenomena ini bertentangan dengan filosofi pendidikan sebagai barang publik, serta komitmen negara untuk mendorong masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Pendidikan berkualitas perlu kita posisikan sebagai hak yang perlu didorong dan dibiayai sama-sama oleh publik melalui pajak, bukan sekadar tanggung jawab keluarga yang memiliki anak.

Mengapa pemilihan sekolah itu bias

Pemilihan sekolah (school choice), kerap dianggap seolah sebagai fenomena yang netral. Meskipun school choice terlihat “membebaskan” di mana keluarga bisa menyekolahkan anaknya, perlu diingat bahwa kebebasan ini tidak terdistribusi secara merata ke seluruh keluarga dari kelas ekonomi berbeda.

Untuk bisa benar-benar bebas dalam memilih sekolah anak, orang tua tidak hanya butuh sumber daya finansial, melainkan juga sumber daya kultural.

Timpangnya sumber daya antara orang tua di kelompok ekonomi yang berbeda membuat school choice cenderung tidak adil. (Dheni P Hadi/Shutterstock)

Sumber daya finansial membuat orang tua mampu mencukupi kebutuhan anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang baik, misalnya mengirimkan anak ke les tambahan dan bersekolah di institusi bergengsi. Sementara, sumber daya kultural seperti pengetahuan tentang sekolah bergengsi dan sistem seleksi masuk sekolah yang kompleks, meningkatkan kemampuan orang tua untuk ikut berkompetisi mendapatkan sekolah bergengsi untuk anaknya.

Timpangnya sumber daya antara orang tua di kelompok ekonomi yang berbeda membuat school choice cenderung tidak adil.

Di Inggris, misalnya, studi menunjukkan bahwa anak-anak miskin yang mampu secara akademik pun tetap tidak memilih untuk belajar di sekolah yang lebih bergengsi. Ini bisa karena keterbatasan sumber daya, tapi bisa juga karena perasaan kurang berhak untuk bergabung dengan institusi bergengsi yang didominasi anak-anak dari ekonomi mampu – bahkan jika mereka mendapat bantuan, termasuk bantuan dana.

Kebijakan masuk sekolah tanpa seleksi akademik – seperti dalam sistem zonasi – bisa menekan faktor keluarga dalam pemilihan sekolah anak. Ini kemudian bisa mengurangi peran sekolah sebagai tempat reproduksi kelas sosial.

Sayangnya, di Indonesia, hingga enam tahun implementasinya, kebijakan tersebut lebih fokus meratakan sisi permintaan (murid yang masuk), ketimbang sisi suplai pendidikan (pemerataan kualitas sekolah). Tak heran jika masih banyak pihak yang menanyakan efektivitas kebijakan zonasi.

Juga merugikan kelompok menengah

Meskipun terlihat menguntungkan kelas menengah, memposisikan pendidikan sebagai barang privat bisa juga merugikan mereka.

Pertama, mengirimkan anak ke sekolah bergengsi membutuhkan sumber daya finansial yang tidak sedikit.

Keluarga kelas menengah tidak lagi bisa berharap pada single income (satu sumber pendapatan saja) untuk memastikan anak-anak mereka bisa belajar di sekolah berkualitas. Kedua orang tua bekerja bukan lagi jadi pilihan, namun menjadi keharusan di tengah tuntutan kebutuhan sekolah anak.

Kedua, tidak seimbangnya jumlah sekolah berkualitas dengan kebutuhan yang ada membuat kompetisi untuk mendapatkan sekolah, yang sebenarnya adalah hak, menjadi semakin sengit dan kompleks.

Tidak jarang, misalnya, orang tua harus mendaftarkan anaknya jauh hari sebelum tahun ajaran baru dimulai. Tentu kondisi ini menguras waktu dan emosi orang tua, khususnya ibu, yang biasanya mengemban tuntutan yang berat sebelah untuk menjalankan tugas-tugas pendampingan sekolah anak.

Ketiga, anak-anak kelas menengah juga berpotensi kehilangan manfaat dari pertemanan lintas kelas ekonomi.

Di Indonesia, studi menunjukkan bahwa sekolah cenderung memunculkan segregasi siswa dari kelas ekonomi berbeda. Artinya, anak-anak dari ekonomi mampu belajar di tempat berbeda dengan anak-anak dari ekonomi kurang mampu.

Padahal, riset di AS menunjukkan bahwa anak-anak dari ekonomi menengah ke bawah mendapatkan manfaat sosial dari pertemanan dengan anak-anak yang secara ekonomi lebih baik dari mereka. Lingkungan sosial yang seperti itu memberikan kesempatan kepada anak-anak miskin untuk memperoleh pengetahuan kultural serta keterampilan demi mendorong mobilitas sosial.

Sebaliknya, belajar di sekolah bergengsi bisa menumbuhkan perasaan lebih berhak dibandingkan kelompok lain. Homogenitas, terutama secara kelas ekonomi, rentan membuat anak menjadi kurang empatik dengan kondisi sekitar, sekaligus percaya dengan mitos-mitos meritokrasi – bahwa kesuksesan seolah buah dari bakat dan kerja keras semata.

Baru-baru ini, misalnya, riset di Inggris menunjukkan bahwa alumni sekolah swasta merupakan penyumbang suara untuk partai konservatif yang cenderung menentang kebijakan pemerataan untuk kelompok rentan.

Menghidupkan kembali sekolah publik

Pada akhirnya, memposisikan pendidikan sebagai barang privat mengancam keberlangsungan sekolah publik. Terbatasnya kualitas sekolah publik, apalagi jika dibandingkan dengan swasta bergengsi, membuat orang tua kelas menengah tidak lagi tertarik dengan sekolah publik.

Jika kelas menengah angkat kaki dari sekolah publik, ini tak hanya membuat fasilitas publik kehilangan aset kultural yang dimiliki kelas menengah, melainkan juga dukungan masyarakat untuk perbaikan dan perluasan fasilitas publik.

Padahal, ada banyak model bagaimana keluarga lintas kelompok ekonomi bisa bahu membahu mewujudkan inklusivitas jika berada di sekolah yang sama.

Studi di AS menunjukkan kehadiran orang tua kelas menengah di sekolah publik berpotensi mendorong keadilan untuk semua siswa. Posisi ekonomi dan sosial mereka yang kuat bisa mendorong advokasi kebijakan sekolah, termasuk untuk anak-anak lain yang orang tuanya punya keterbatasan pengalaman pendidikan. Hal yang sama juga terjadi di Yogyakarta melalui paguyuban orang tua murid di berbagai sekolah.

Tapi, ini juga merupakan tuntutan mendesak bagi negara untuk segera memperluas akses dan kualitas sekolah publik di Indonesia. Tanpanya, pendidikan akan selamanya menjadi “zero-sum game” – di tengah bangku sekolah publik berkualitas yang terbatas, orang tua kaya dan miskin akan dipaksa berebut akses.

Semua orang tua pasti ingin pendidikan terbaik untuk anaknya. Ketika pendidikan masih terbatas dan tidak merata, pilihan orang tua untuk menyekolahkan anak ke sekolah bergengsi bisa dipahami. Apalagi jika pemangku kepentingan pun belum tentu percaya pada kualitas pendidikan sekolah publik yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya.

Jika yang punya sumber daya bisa lari dari sekolah publik, ke mana anak-anak kurang mampu bisa melarikan diri?

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now