Menu Close

Bolak-balik kontroversi BRIN: bagaimana birokratisasi dan politisasi membuat BRIN hilang arah sebagai lembaga ilmiah

(Badan Riset dan Inovasi Nasional - Youtube/Fair Use)

Beberapa waktu ke belakang, kontroversi bertubi-tubi menerpa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Media melaporkan BRIN terlibat program pelatihan masyarakat yang menguntungkan pundi-pundi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), proses relokasi gedung dan alat laboratorium di Bandung yang terbata-bata, hingga macetnya pengelolaan aset sampai-sampai membuat salah satu sistem deteksi dini tsunami menjadi terbengkalai.

Polemik bukanlah hal baru bagi “superagency” yang telah menyerap berbagai lembaga riset negara ini – dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hingga Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).


Read more: Gabut di rumah, nuansa "LIPI-nisasi", hingga ancaman mati suri riset Indonesia: kisah para peneliti yang terombang-ambing setelah akuisisi BRIN


Sejak diresmikan pemerintah hampir dua tahun lalu, BRIN disorot akibat resistensi banyak peneliti atas proses integrasinya yang kurang lancar, hingga kekhawatiran politisasi melalui “Dewan Pengarah” yang diisi figur politik.

Para penulis, bersama Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), berpandangan bahwa berbagai permasalahan ini mengakar pada setidaknya dua hal – birokratisasi dan politisasi terhadap institusi yang seharusnya menjaga marwahnya sebagai lembaga riset.

BRIN sudah jadi wacana pemerintah sejak ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), kemudian resmi berdiri lewat Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021.

Desain kelembagaan BRIN yang tertuang dalam landasan hukum tersebut sejak awal sudah menunjukkan tiga karakter dominan, yakni birokratisasi, sentralisasi dan kendali, dibandingkan upaya pengembangan dan penguatan kelembagaan riset dan ekosistem pengetahuan.

Birokratisasi berlebihan

Birokrasi kini telah menjadi mesin administratif yang menggerakkan BRIN. Ini semakin terlihat dengan dominannya pendekatan institusionalisme BRIN seiring dengan penggabungan berbagai lembaga di bawah satu atap – termasuk setidaknya empat lembaga riset plus segudang peneliti yang sebelumnya bernaung di lingkup kementerian.

Namun, tanpa strategi transisi yang memadai dan pemahaman yang baik akan keragaman karakter lembaga riset yang dipersatukan, pendekatan ini akan cenderung berpusat pada sekadar mendisiplinkan soal “gedung, pegawai, dan nomenklatur anggaran”.

Berbagai kekhawatiran ini pun mulai terbukti mendekati masa dua tahun BRIN berjalan, di antaranya:

  • kegagalan BRIN mengintegrasikan anggaran riset yang awalnya diprediksi bisa mencapai Rp 26 triliun, hingga menjadi hanya 6,1 triliun pada tahun anggaran 2022;
  • resistensi dari berbagai kementerian atau lembaga yang perisetnya beralih ke BRIN;
  • hingga penolakan dan hambatan yang dihadapi BRIN untuk mengambil alih berbagai sumber daya termasuk peralatan laboratorium dari kementerian atau lembaga asal.

Kondisi BRIN saat ini, secara kelembagaan, kebijakan yang diambil, serta pilihan-pilihan programnya memperlihatkan betapa lembaga ini telah bertransformasi menjadi overarching scientific authority (otoritas ilmiah pengurus segala bidang dan fungsi) yang mengkhawatirkan.


Read more: Buyarnya mimpi teknokrat pembentuk ide BRIN. Saatnya komunitas ilmiah berhenti naif dan anti-politik


BRIN menjelma menjadi lembaga birokratis yang bertanggung jawab atas kebijakan, implementasi, dan pengendalian riset yang harusnya terpisah, serta mengurusi terlalu banyak aspek administrasi dari kegiatan saintifik – termasuk SDM periset pemerintah, kebijakan riset dan inovasi, tak terkecuali masalah perizinan riset.

Ini membuatnya kehilangan roh sebagai lembaga saintifik.

Selain itu, sebagaimana peringatan ALMI sejak lama, jika lembaga-lembaga ilmiah dioperasikan dengan model korporatisme negara (state corporatism) – ketika pemerintah melakukan sentralisasi berbagai keputusan dan kebijakan di suatu sektor layaknya melalui asosiasi bisnis – ia juga menjadi terekspos terhadap kepentingan politik kekuasaan dan pasar.

Politisasi wadah ilmiah

Kondisi lembaga riset pemerintah ini kemudian semakin jauh dari harapan ketika integritas saintifiknya justru menjadi bahan legitimasi dan alat dari partai politik.

Pelembagaan BRIN dengan “Dewan Pengarah” di pucuknya – saat ini dipimpin oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri – yang berupaya memastikan riset searah dengan Pancasila, misalnya, adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap integritas ilmiah dan upaya menyetir lembaga sains secara ideologis.


Read more: "Bunuh diri penelitian Indonesia": forum guru besar tolak Dewan Pengarah BRIN yang rawan dipolitisasi


Selain itu, akhir-akhir ini media juga melaporkan potensi politisasi melalui rangkaian program Masyarakat Bertanya BRIN Menjawab (MBBM). Program kemitraan antara Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan BRIN ini, yang dikemas dalam bentuk diseminasi riset dan pelatihan untuk masyarakat, disebut-sebut menguntungkan anggota Dewan secara finansial maupun elektoral di daerah pemilihan (dapil) mereka.

Namun, alih-alih menjawab isu politisasi, beberapa anggota Dewan justru semakin menjadikan BRIN sebagai landasan untuk memajukan agenda politik tertentu.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, misalnya, berdalih bahwa kontroversi BRIN-DPR di atas disebabkan pemilihan umum (pemilu) yang menggunakan sistem proporsional terbuka. Komentar ini ia lontarkan di tengah gugatan uji materi Perkara No. 114/PUU-XX/2022 di Mahkamah Konstitusi yang hendak mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup.

Merespons beragam kontroversi BRIN, Komisi VII DPR kemudian merekomendasikan audit khusus anggaran BRIN tahun 2022 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hingga mendesak pemerintah mencopot Kepala BRIN Laksono Tri Handoko.

Tapi, apakah dengan sebatas pergantian Kepala BRIN akan mengubah situasi di BRIN jika kelembagaannya masih tersentralisasi dan dekat dengan politik kekuasaan?

Sebagai lembaga otoritas ilmiah, BRIN seharusnya menjaga integritas ilmiahnya dan tidak memperlihatkan pemihakan pada satu lembaga atau kekuatan politik.

Restorasi marwah riset dan pengetahuan

ALMI, sebagai wadah ilmuwan muda, mengajak semua pihak untuk terus meneguhkan semangat membangun integritas sains.

Dalam pernyataan posisinya, ALMI menegaskan perlunya mengembalikan tujuan dan fungsi awal BRIN untuk memfasilitasi penguatan ekosistem riset dan pengembangan inovasi demi kemajuan pengetahuan dan teknologi, penguatan kebijakan, serta pencerdasan publik – dan melepaskan berbagai fungsi berlebih yang tak berkaitan.

ALMI menolak keterlibatan atau penyalahgunaan BRIN untuk kepentingan politik tertentu, baik dalam kebijakan dan penganggaran yang tidak berorientasi pada upaya kemajuan pengembangan riset dan inovasi.

Restorasi riset ini menuntut perlunya evaluasi secara mendasar, terutama dalam hal penataan kelembagaan, sistem birokrasi, dan SDM para peneliti. Prinsipnya, BRIN sebagai lembaga riset dan inovasi berkewajiban merawat otonomi keilmuan, menjaga independensi, integritas sains, serta kebebasan akademik para penelitinya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now