Menu Close

Dampak penyebaran teror: bagaimana ketakutan mengubah pikiran kita

Pada Mei 1097, tentara salib melemparkan kepala-kepala tahanan yang dipenggal ke atas tembok Nicaea, Turki. Tujuan dari aksi ini adalah untuk meneror para pembela dan menaklukkan kota. Dan tampaknya berhasil, karena pada 19 Juni di tahun yang sama mereka berhasil merebut kota tersebut.

Penyebaran teror untuk keuntungan taktis atau strategis oleh suatu negara, kelompok politik, militer, dan agama telah terjadi secara konstan sepanjang sejarah manusia. Dunia abad ke-21 tidak dihuni oleh manusia yang lebih baik, hanya manusia yang lebih canggih.

Melanjutkan sejarah di Nicaea, hanya mereka yang tinggal di sepanjang tembok kota yang terkejut saat melihat kepala manusia dilempar ke udara. Penduduk kota-kota dekat Nicaea tidak menerima berita tentang peristiwa pengepungan yang mengerikan itu hingga berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian. Dan tentu saja, mereka hanya mendengar cerita tentang apa yang telah terjadi, tanpa gambar atau video yang bisa menggambarkan secara tepat apa yang terjadi selama pengepungan. Kekuatan untuk menyebarkan teror pada abad ke-11 sangat terbatas.

Di dunia saat ini, berkembangnya teknologi komunikasi memungkinkan kita semua untuk mengetahui informasi secara real-time dan hampir tidak mungkin dihindari. Seperti yang terjadi saat ini, penyebaran dengan gambar-gambar dan video pembantaian di Palestina, atau serangan-serangan teroris yang mengerikan dalam beberapa dekade terakhir, atau konflik-konflik yang akan terjadi ke depannya.

Lebih buruk lagi, perusahaan media harus bersaing di pasar yang ketat untuk mendapatkan audiens dan klik, dan mereka tahu bahwa rasa takut dan sensasionalisme adalah cara ampuh untuk menarik perhatian audiens.

Gambar yang dapat menyebabkan tubuh kita mengeluarkan banyak kortisol

Baru-baru ini, konsekuensi psikologis dari fenomena seperti “terpapar berita secara terus menerus” (berita yang berlebihan atau “menyaksikan kejadian traumatis” telah mulai diteliti.

Menyaksikan situasi ekstrem, seperti pembunuhan seseorang, meskipun hanya melalui layar ponsel, akan mengaktifkan cabang simpatik dari sistem saraf otonom. Tubuh kita merespons dengan mengeluarkan serangkaian hormon seperti adrenalin, noradrenalin, dan kortisol-hormon stres yang terkenal-ke dalam aliran darah. Hormon-hormon ini melintasi darah dan masuk ke dalam otak kita.

Dengan beredarnya hormon-hormon tersebut di arteri kita, fisiologi kita berubah: detak jantung dan tekanan darah kita meningkat untuk melawan atau melarikan diri dari rangsangan yang mengancam atau situasi kehilangan. Ini adalah perubahan adaptif jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang dan kronis, seperti yang telah diketahui selama beberapa dekade, hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius.

Dan apa efek dari paparan terus-menerus terhadap rangsangan yang mengancam pada otak kita, dan apakah kita berisiko mengalami perubahan cara berpikir?

Memori yang buruk dan kurangnya kontrol

Kita telah mengetahui selama beberapa tahun bahwa, baik pada manusia maupun hewan, stres yang terus menerus menghasilkan perubahan sistemik di otak kita. Di bawah stres akut, ingatan yang bergantung pada hipokampus terhambat dan kontrol yang diberikan oleh korteks prefrontal juga dibatalkan. Pada saat yang sama, emosi kita mengutamakan pemicuan kebiasaan dan rutinitas melalui wilayah yang disebut dorsal striatum, yang diatur oleh amigdala alias pusat rasa takut.

Perubahan ini masuk akal karena pada prinsipnya, perubahan ini dimaksudkan untuk membantu kita mengatasi situasi stres tertentu dalam jangka pendek. Ketika dihadapkan pada ancaman, kebutuhan yang mendesak adalah bereaksi dengan cepat dan tidak membutuhkan waktu bagi memori untuk mengingat kembali situasi terkait untuk menganalisis faktor-faktor kontekstual. Namun, jika diabadikan, hal ini dapat menyebabkan konsekuensi kognitif yang serius dalam jangka menengah dan panjang.

Intinya, apa yang terjadi dengan stres kronis adalah bahwa hal itu menghalangi berfungsinya memori dan pembelajaran kita, yang pada dasarnya mempengaruhi kekhususan, fleksibilitas, dan rekonsolidasi memori.

1. Kekhususan Informasi yang diproses dalam situasi yang penuh tekanan lebih abstrak dan kurang kontekstual. Perhatian dipersempit untuk memprioritaskan bagian-bagian penting dari peristiwa yang membuat stres dan hanya memproses informasi yang penting.

2. Fleksibilitas Stres secara virtual menghilangkan kemampuan untuk mengintegrasikan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Stres juga membatasi penggunaan skema sebelumnya untuk memproses rangsangan yang kita terima melalui indera kita dengan lebih baik. Hal ini mencegah kita untuk mentransfer informasi yang telah diperoleh sebelumnya ke konteks terkini. Katakanlah, di bawah tekanan, kita tidak dapat memanfaatkan akumulasi pengalaman secara efektif.

3. Rekonsolidasi Memori kita tidak kaku, tetapi membantu kita beradaptasi dengan kondisi kontekstual yang baru dan memfasilitasi pembelajaran. Proses memperbarui dan menstabilkan kembali ingatan kita disebut rekonsolidasi. Namun, stres menghambat pembaruan, dan dengan demikian rekonstruksi jejak ingatan kita dengan mengintegrasikan informasi baru.

Jika perubahan sistemik dalam proses psikologis kita ini diabadikan di sebagian besar populasi - dan paparan yang terus menerus terhadap adegan kekerasan membantu - pengambilan keputusan politik dan sosial yang rasional oleh warga negara dan para pemimpin mereka akan terhambat.

Dan kebangkitan populisme, polarisasi, peningkatan konflik kekerasan dan, akibatnya, krisis demokrasi liberal dapat diperburuk oleh ketidakmampuan untuk menghadapi tantangan-tantangan yang menghadang kita secara rasional dan dalam jangka panjang.

Karena ketika kepala kita pusing, mustahil untuk membuat keputusan yang logis. Mungkin itu sebabnya mereka dilemparkan kepada kita.


Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Spanyol

This article was originally published in Spanish

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now