Menu Close
Kaum muda mempersiapkan prioritas isu menjelang suatu forum perdebatan politik di Lalitpur, Nepal. (Tom O'Neill), Author provided

Demokrasi ‘deliberatif’? Riset di Nepal menunjukkan model ini bisa memantik anak muda dunia untuk menggunakan hak pilih mereka

Selepas pemilu lokal di Nepal pada awal 2022, surat kabar Kathmandu Post mengekspresikan kekhawatiran bahwa minat warga Nepal untuk menggunakan hak pilih mereka terus memudar.

Di seantero negeri, tingkat partisipasi pemilu jatuh 10% – dari 74% pada 2017 menjadi 64% pada 2022.

Di Kanada, tempat saya mengajar, angkanya bahkan lebih buruk. Pemilu di Ontario pada Juni 2022, khususnya, hanya menarik partisipasi kurang dari setengah populasi pemilih.

Ketidakpedulian terkait pemilu adalah fenomena global. Banyaknya pemilih yang apatis bisa semakin membuka jalan bagi para autokrat dan kelompok kepentingan yang berpengaruh untuk secara sinis memanipulasi hasil pemilu.

Apati politik di antara kaum muda mengindikasikan ketidakpercayaan terhadap budaya politik kontemporer.

Sosiolog Jerman, Karl Mannheim, pernah berargumen bahwa kaum muda perlu mengadaptasi institusi sosial zaman dulu ke realitas kontemporer pada era mereka hidup.

Tapi anak muda di seluruh dunia saat ini berhadapan dengan isu-isu yang hampir tidak pernah dihadapi orang tua mereka, termasuk pasar kerja yang rentan, permintaan yang makin besar terhadap pendidikan tinggi, teknologi yang makin mengglobal, hingga relasi gender yang bergeser. Wajar saja, mereka mempertanyakan bagaimana berbagai institusi demokratis yang telah berumur bisa tetap relevan dengan kebutuhan mereka.

Nepal termasuk demokrasi baru, dan institusi-institusi tersebut diraih dengan jerih payah setelah beberapa dekade perang sipil dan perjuangan politik. Itulah kenapa warga Nepal terlibat dalam pemilu mereka dengan tingkat partisipasi yang patut membuat negara-negara demokrasi lain malu. Tapi, tentu demokrasi tak hanya sekadar tentang penggunaan hak pilih.

A man in a colourful fez and wearing a mask pushes a ruler inside a ballot box,
Seoran petugas pemilu menggunakan penggaris untuk merapikan isi kotak suara dalam pemilu lokal di Kathmandu, Nepal pada Mei 2022. Warga Nepal di seantero negeri menggunakan hak suara mereka untuk memilih perwakilan kota dan anggota komite pengembangan desa. (AP Photo/Niranjan Shrestha)

Warga yang membuat keputusan

Dalam suatu demokrasi representatif, pemilih menggunakan hak suara mereka untuk memilih politikus atau partai mana yang akan mewakili mereka untuk untuk membuat keputusan dan kebijakan terkait berbagai isu dan realitas kontemporer. Politikus dan partai punya kuasa yang besar untuk mendefinisikan apa saja isu dan realitas tersebut, dan bagaimana sebaiknya meresponsnya.

Mempertarungkan dan memanipulasi kekuasaan tersebut telah menjadi fokus utama di banyak demokrasi.

Tapi, akibatnya, kita menjadi kehilangan potensi deliberatif dari demokrasi. Ini adalah ketika warga negara memperdebatkan isu kontemporer di antara mereka sendiri sehingga keputusan yang mereka setujui bersama lebih berbobot dan lebih disepakati secara luas.

Sebagai profesor di bidang kajian kaum muda, saya telah meneliti partisipasi politik bersama sebuah tim aktivis muda Nepal melalui serangkaian majelis kaum muda yang diadakan di banyak daerah di negara tersebut pada 2018 dan 2019.

Dalam majelis yang deliberatif ini, atau sering disebut sebagai “mini-publics”, sekelompok warga negara dipilih untuk secara akurat merefleksikan keberagaman populasi. Mereka ditugaskan untuk “mendeliberasikan” (membahas) suatu isu kontemporer. Mereka kemudian menentukan posisi atau pandangan umum, yang kemudian digunakan untuk mendukung keputusan yang dibuat para wakil politik mereka.

Majelis deliberatif telah lama digunakan di seluruh dunia. Misalnya, ini digunakan untuk merespons isu seperti perancangan anggaran secara partisipatif (participatory budgeting) di Porto Alegre, Brasil, kemudian reformasi konstitusional di Irlandia, hingga reformasi elektoral di British Columbia, Kanada.

Kita merancang majelis kaum muda yang merefleksikan keberagaman di Nepal. Lebih dari 200 anak muda berpartisipasi. Mereka berasal dari kasta Brahmin-Chhetri (elit politik tradisional di negara tersebut); para Adivasi Janajati (kelompok-kelompok etnis dan adat di Nepal); para Madhesi (kelompok orang yang khas secara kebudayaan dan linguistik yang hidup di dataran perbatasan dengan india); dan para Dalit (kasta yang dianggap “untouchable” atau “haram disentuh” yang selama berabad-abad harus menjalani pekerjaan kasar dan terpaksa terlibat “perbudakan utang”).

Three young women dressed in colourful Indigenous garb smile at the camera.
Kaum muda dari kelompok adat di Nepal merayakan festival Ubhauli di Kathmandu pada Mei 2022. (Shutterstock)

Perdebatan panas

Bahkan, ada komposisi yang berimbang antara laki-laki dan perempuan. Para partisipan juga meliputi mereka yang mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ atau menyandang disabilitas – dua komunitas di negara tersebut yang jarang sekali mendapat pengakuan.

Dalam majelis, para partisipan bertugas menyusun deklarasi kolektif yang mengidentifikasi lima prioritas yang perlu ditangani kepemimpinan politik Nepal.

Two grey-haired men, one wearing a fez, shake hands.
Perdana Menteri Nepal, Sher Bahadur Deuba berjabat tangan dengan Perdana Menteri India, Narendra Modi di New Delhi, India pada April 2022. (AP Photo/Manish Swarup)

Perdebatan yang mendahului deklarasi ini sengit dan seringkali panas. Ini menunjukkan bahwa kaum muda Nepal memiliki visi yang bermacam-macam terkait bagaimana mendefinisikan dan merespons bebagai masalah kontemporer di Nepal.

Akan tetapi, majelis menyepakati perlunya kesetaraan yang lebih luas. Mereka juga menginginkan reformasi budaya politik Nepal yang kini didominasi oleh laki-laki kasta tinggi yang berpengaruh, serta sarat dengan nepotisme.

Tentu, jika hanya mengandalkan deklarasi-deklarasi ini saja, nilainya akan terbatas tanpa ada tindak lanjut dari para pembuat kebijakan. Namun, dengan menggunakan mini-publics yang deliberatif sebagai model, para delegasi kaum muda mempresentasikan deklarasi mereka kepada suatu panel berisi pemimpin politik dari ketiga level pemerintahan di Nepal.

Meski demikian, demokrasi deliberatif belum menjadi aspek dalam budaya politik Nepal. Para pemimpin lebih familier dengan kegiatan memobilisasi kaum muda untuk aksi politik, ketimbang benar-benar mendengarkan kaum muda.


Read more: Kaum muda diremehkan di panggung politik: kita perlu dorong peran dan pengakuan mereka sebagai pemimpin dan politikus


Beberapa pemimpin yang diundang ke majelis, dengan santun mendengarkan deklarasi para kaum muda, kemudian sekadar memberikan pidato umum layaknya sedang berbicara dalam suatu acara kampanye politik. Tapi, beberapa lainnya tertantang oleh para delegasi muda dan merespons isu-isu prioritas mereka.

Majelis kaum muda yang kami buat masih bersifat eksperimental. Para pemimpin politik yang menghadirinya pun tidak punya kewajiban untuk menindaklanjuti hal-hal yang disampaikan. Tapi, eksperimen ini menunjukkan bahwa deliberasi dan dialog bisa memantik partisipasi politik.

Dalam suatu video dokumenter tentang riset kami, kaum muda di Nepal menunjukkan bahwa mereka adalah advokat yang artikulatif, kompeten, dan penuh semangat, baik bagi diri mereka maupun untuk komunitas sekitar.

Pada masa ketika norma-norma demokratis tampaknya terus menurun di seluruh dunia, demokrasi deliberatif adalah satu obat yang menurut riset kami layak untuk diperjuangkan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now