Menu Close

Kaum muda diremehkan di panggung politik: kita perlu dorong peran dan pengakuan mereka sebagai pemimpin dan politikus

Beberapa politikus muda berbincang dalam sidang permohonan terkait batas usia calon kepala daerah di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2019. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Banyak orang Indonesia masih menganggap kaum muda sebagai sekumpulan orang yang apatis, apolitis, atau hanya sekadar sebagai suatu kelompok pemilih.

Bahkan, di ruang politik formal pun, data menunjukkan bahwa dari total 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019, hanya sekitar 4% saja (atau 24 orang) yang berusia kurang dari 30 tahun.

Tanpa partisipasi yang bermakna dari kaum muda, demokrasi hanya menjadi suatu ajang pemilihan politik semata. Supaya demokrasi bisa inklusif, kaum muda harus punya peran aktif dan berdaya sebagai pemangku kepentingan serta pemecah masalah di komunitas mereka.

Sayangnya, kaum muda ini masih menghadapi berbagai tantangan dalam memberikan dampak yang luas – khususnya dalam ruang politik formal seperti institusi publik dan partai politik.

Diremehkan di ruang politik yang eksklusif

Banyak orang di Indonesia memiliki persepsi bahwa usia muda menandakan belum matangnya pengalaman maupun kemampuan seseorang untuk terjun ke dunia politik.

Sebagai gambaran, pada 2019, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi oleh beberapa politikus muda dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk menurunkan syarat usia calon kepala daerah.

Saat ini, seseorang harus berusia minimal 30 tahun untuk menjadi gubernur, dan 25 tahun untuk jadi bupati atau wali kota.

Anggapan tentang minimnya kompetensi politik kaum muda berakar pada pandangan masyarakat bahwa mereka sebatas bagian atau sumber dari masalah, atau seringkali sebagai ‘aset’ – yakni diperlakukan sebatas subyek yang perlu dibimbing orang dewasa agar mencapai visi atau tujuan tertentu. Budaya senioritas juga memperkuat persepsi ini.

Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa kaum muda memiliki kapasitas dalam memimpin dan membangun gerakan.

Banyak kaum muda telah membuktikan mereka mampu menjadi pendidik, relawan, hingga memberi masukan pada program terkait berbagai macam isu seperti pengurangan risiko bencana, perlindungan anak dan perempuan.


Read more: Riset: standar pemerintah untuk "anak muda yang ideal" buta kesenjangan dan minim dukungan negara


Partisipasi kaum muda dalam politik pun masih didominasi oleh mereka yang berlatar belakang kelas sosial dan ekonomi menengah-atas dan memiliki privilese untuk mengakses berbagai sumber daya.

Politisi muda di DPR atau institusi publik saat ini, misalnya, kebanyakan memiliki kekayaan besar dan berpendidikan tinggi. Banyak yang juga masuk ke politik karena anggota keluarga mereka sebelumnya terlibat di suatu partai.

Selain itu, laporan tahun 2017 dari Institute of Development Studies di University of Sussex, Inggris, menemukan bahwa di antara kaum muda Indonesia, partisipasi politik perempuan masih sangat rendah. Mereka mengalami banyak hambatan termasuk norma sosial di Indonesia yang belum mendukung peran aktif perempuan di ruang publik.

Padahal, menurut Anne Phillips, profesor ilmu politik di London School of Economics (LSE), Inggris, di dalam sistem politik perlu ada bentuk keterwakilan secara acak yang mencerminkan komposisi berbagai kelompok masyarakat – yang ia sebut sebagai ‘politics of presence’ – sehingga kepentingan semua kelompok tersalurkan dengan baik.

Mendorong partisipasi kaum muda yang bermakna

Representasi politik kaum muda itu penting, namun tidak cukup.

Untuk mewujudkan partisipasi mereka yang bermakna, ada tiga hal yang juga perlu dilakukan.

Pertama, mengingat kaum muda adalah kelompok yang beragam, partai politik dan pemangku kepentingan perlu lebih banyak membangun ruang yang inklusif dan demokratis untuk mereka.

Sistem pemilu dan regenerasi partai politik harus dibenahi untuk menjamin kaum muda bisa terpilih secara demokratis berdasarkan kompetensi mereka – tanpa harus mengandalkan privilese atau koneksi keluarga.

Namun, selain itu, representasi politik juga tidak hanya tentang jumlah.

Pemangku kepentingan perlu lebih sensitif melihat kelompok muda mana yang masih tersisih – contohnya perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat – beserta tantangan apa saja yang mereka hadapi terkait identitasnya tersebut.

Upaya yang dapat dilakukan adalah memperbanyak pembahasan berbasis riset dan bukti mengenai situasi kelompok rentan, dan memberikan akses partisipasi dan dorongan lebih kepada kelompok tersebut.

Kedua, memastikan penguatan kapasitas orang muda untuk bisa memberikan dampak yang besar di ruang politik.

Dukungan yang diberikan dapat berupa upaya membangun kapasitas berpikir kritis serta memperkuat pengetahuan mereka mengenai demokrasi dan hak warga negara.

Salah satu upaya ini adalah “Latih Logika”, platform kursus daring tentang muatan berpikir kritis yang dikembangkan oleh Communication for Change (C4C), dan juga didukung lembaga kami, sejak 2019.

Pelatihan semacam ini bisa mendukung kapasitas kaum muda untuk berkomunikasi di ruang politik formal, serta meningkatkan kemampuan analisis mereka terkait berbagai permasalahan sosial dan politik.

Masalah lain yang juga sering ada dalam program bagi kaum muda adalah perspektif yang terlalu berpusat pada visi generasi lama tentang bagaimana partisipasi politik kaum muda yang “ideal” dilakukan.

Berbagai program berbasis 'duta’, misalnya, seperti Duta Pancasila atau Duta Anti-Narkoba sekedar menjadi gerakan yang melanggengkan visi generasi lama dan jarang memberi ruang bagi kaum muda mengkritisi isu penting seperti diskriminasi warga negara atau kebijakan rehabilitasi pengguna narkotika.

Hal ini dapat mengesampingkan beragam kelompok muda dengan potensi dan kebutuhan yang juga penting didengar.

Padahal, saat ini pun terdapat ancaman bagi aktivis muda terkait kebebasan berekspresi, misalnya pembungkaman kritik melalui UU ITE.

Upaya membangun partisipasi kaum muda harus bersamaan dengan melindungi kebebasan sipil mereka, serta menjamin akuntabilitas negara dengan melibatkan partisipasi mereka dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.

Ketiga, menciptakan ruang bagi terwujudnya kemitraan antara kaum muda dan kelompok generasi lebih tua untuk saling berbagi kuasa dan transfer ilmu.

Salah satu bentuk upaya ini adalah mendorong adanya dialog lintas-generasi untuk saling belajar dan memahami.

Saat ini, misalnya, model Panel Penasihat Muda (Youth Advisory Council) di berbagai lembaga pembangunan banyak diadopsi untuk mendorong partisipasi kaum muda dalam penyusunan program dan kebijakan.

Ruang diskusi yang terbuka memungkinkan kaum muda dan generasi di atasnya untuk meruntuhkan tembok-tembok stereotip yang sering disematkan kepada kedua belah pihak, serta mengurangi kemungkinan munculnya konflik. Dialog perlu dilakukan dengan cara-cara konstruktif dan demokratis yang mengakomodasi kebutuhan dan peran setara antar kedua belah pihak.

Membangun partisipasi politik yang bermakna tidak hanya selesai dengan memberikan akses pada kaum muda untuk berpolitik.

Kaum muda memerlukan lingkungan yang lebih setara dan inklusif, sehingga bisa memiliki dampak yang lebih luas di tingkat institusi publik maupun partai dan organisasi politik.


Asep Ridwan Wahyudi, peserta Belajar Kerja di PUSKAPA, turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now