Menu Close
Muhammad Adimaja/Antara Foto

Dukungan publik Indonesia atas hukuman mati menurun; survei yang lebih tajam menangkap opini publik lebih baik

Indonesia, seperti negara lain di Asia Tenggara, selama beberapa dekade ini telah mendukung penerapan hukuman mati, terutama untuk pelanggaran terkait narkoba.

Sikap tegas ini dibuktikan dengan hasil-hasil survei nasional yang menunjukkan dukungan kuat publik terhadap hukuman mati.

Namun, survei-survei ini tidak dilakukan dengan menggunakan metodologi ketat dan hasilnya tidak bisa diandalkan.

Survei terbaru kami yang menggunakan metodologi yang lebih teliti menemukan minimnya keyakinan publik pada hukuman mati.

Survei tersebut menunjukkan bahwa meski mayoritas publik (69%) mendukung hukuman mati, hanya 35% yang merasa ‘sangat’ mendukungnya.

Data tersebut menunjukkan bahwa dukungan responden terhadap hukuman mati menurun ketika mereka mengetahui lebih dalam tentang ruang lingkup dan pelaksanaan hukuman mati.

Jadi, jika keputusan negara untuk mempertahankan hukuman mati merujuk pada suatu kehendak publik secara demokratis, maka para pembuat kebijakan seharusnya memperketat penelitian empiris yang independen untuk mencari tahu opini publik secara tepat.

Dukungan yang rapuh dan mudah dimanipulasi

Kami bekerja dengan IPSOS, sebuah perusahaan riset pasar internasional dan terkemuka, untuk mensurvei opini publik lewat metode pengambilan sampel probabilitas acak berlapis dan mendapatkan 1.515 responden di Aceh, Bali, Jabodetabek, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Yogyakarta.

Kami menemukan bahwa walau secara umum dukungan atas hukuman mati terbilang tinggi, dukungan ini didasarkan pada asumsi bahwa hukuman mati dilakukan secara adil dan proporsional. Ketika orang mengetahui bahwa yang terjadi dalam kenyataan tidaklah demikian, dukungan atas hukuman mati berkurang.

Meski 69% publik mendukung berlanjutnya hukuman mati, hanya 35% yang memberikan dukungan ‘sangat kuat’. Ketika hukuman alternatif ditunjukkan (seperti penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat), dukungan atas hukuman mati turun menjadi hanya 25%.

Pertanyaan-pertanyaan lebih mendalam menunjukkan bahwa dukungan awal publik mencerminkan reaksi naluriah yang emosional - keinginan untuk melihat pelaku dihukum - alih-alih keputusan yang dibuat dengan informasi dan pengetahuan yang baik.

Yang juga penting kami temukan adalah responden sebenarnya tidak memiliki pengetahuan tentang hukuman mati. Hanya 2% yang menganggap diri mereka memiliki informasi sangat baik, dan hanya 4% yang menyatakan bahwa mereka sangat peduli terhadap masalah ini.

Ketika kasus-kasus spesifik diberitahukan pada responden, dukungan mereka berkurang.

Misalnya, ketika responden mendapat rincian tentang seorang laki-laki yang membunuh seorang pemilik toko dengan senjata api selama perampokan, 40% responden menganggap pelaku pantas dihukum mati. Tapi ketika responden diberitahu lebih lanjut bahwa pria tersebut sebelumnya sama sekali tidak memiliki catatan kejahatan, dukungan atas hukuman mati berkurang menjadi hanya 9%.

Demikian pula di kasus berbeda, 50% responden menilai seorang gembong pengedar narkoba pantas dihukum mati. Tapi untuk kasus serupa, saat terdakwa adalah seorang miskin yang tidak berpendidikan, dukungan menurun menjadi 14%.

Lebih dari setengah responden mendukung hukuman mati karena mereka yakin bahwa hukuman mati dapat mencegah kejahatan yang serius. Lebih dari sepertiga akan mendukung penghapusan hukuman mati jika pemuka agama setuju penghapusan.

Lebih lanjut, di Indonesia, ketika responden ditanya tentang langkah-langkah yang lebih cocok untuk mengurangi kejahatan serupa, mereka cenderung menolak hukuman mati dan lebih mempercayai sistem pengaturan yang efektif, pengurangan kemiskinan, atau bantuan terapeutik, seperti perawatan kesehatan untuk para pecandu narkoba.

Ketika ditanya langkah apa paling efektif untuk mengurangi kejahatan narkoba, hanya 9% responden yang menyarankan untuk menambah vonis hukuman mati, dan hanya 6% yang menyarankan penambahan eksekusi mati.


Read more: Membongkar mitos hukuman mati


Perlunya metode survei yang lebih baik

Survei-survei di Indonesia, meski jarang diadakan, menunjukkan sekitar 75% publik mendukung hukuman mati. Survei yang diluncurkan Indo Barometer pada 2015 menunjukkan 84% dukungan publik atas hukuman mati bagi pengedar narkoba.

Meski survei superfisial dapat memberikan gambaran tentang perubahan opini dari waktu ke waktu, survei tersebut tidak dapat mengukur kekuatan opini, pengetahuan tentang topik, atau bagaimana pendapat publik pada kejahatan apa atau pelaku kejahatan yang bagaimana yang pantas dijatuhi hukuman mati.

Survei semacam itu tidak dapat mencerminkan tanggapan publik atas pelanggaran yang melibatkan hal-hal spesifik, misalnya hal-hal yang dapat memberatkan atau meringankan hukuman.

Penelitian analisis komparatif opini publik dari delapan negara menunjukkan bahwa data tentang opini publik hanya dapat dihasilkan oleh survei yang dilakukan dengan prosedur ketat dan metodologi yang maju, seperti yang diluncurkan oleh The Death Penalty Project di Malaysia, Trinidad dan Zimbabwe.

Penelitian empiris yang ketat dan independen yang mampu menangkap nuansa-nuansa opini publik menjadi penting jika keputusan untuk mempertahankan hukuman mati dibuat berdasarkan kehendak publik secara demokratis.


Read more: Stop penjarakan pengguna narkotika


Apa langkah berikutnya?

Penelitian empiris yang kuat terutama sangat penting untuk mempelajari perdagangan narkoba di Indonesia, karena tingkat keprihatinan nasional dan internasional tentang bahaya yang disebabkan oleh narkoba terbilang tinggi .

Kami menemukan bahwa ketika publik mendapat informasi yang akurat mengenai penggunaan hukuman mati, dukungan awal yang tinggi akan menurun secara drastis.

Ini menunjukkan bahwa semakin banyak publik mendapat informasi tentang hukuman mati dan pelaksanaannya, semakin sedikit dukungan yang muncul.

Dukungan juga berkurang ketika orang dihadapkan pada pilihan-pilihan peringanan hukuman atau alternatif lain seperti penjara seumur hidup.

Sesuai juga dengan revisi KUHP sedang berlangsung, perlu adanya pertimbangan kembali atas respon peradilan pidana terhadap perdagangan narkoba di Indonesia, serta peninjauan atas implikasinya pada yurisdiksi di Asia Tenggara yang juga memiliki masalah serupa.

Indonesia harus mengembangkan kebijakan berbasis bukti pada upaya pengendalian narkoba dan kejahatan, tanpa asumsi bahwa masyarakat menuntut hukuman mati.

Opini publik seringkali sangat sensitif terhadap informasi baru, terutama ketika informasi tersebut dirancang khusus untuk menanggapi perdebatan publik. Opini publik harus diukur dengan hati-hati demi kebijakan publik yang sehat.


Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now