Menu Close

Indonesia semestinya mencari keuntungan lebih atas upaya perdamaian dan bantuan luar negerinya

Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi wakil presiden saat itu Jusuf Kalla menyalami sejumlah ulama yang mengikuti pertemuan trilateral ulama Afganistan, Indonesia dan Pakistan di Istana Bogor, Jawa Barat, pada 2018.
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Wakil Presiden saat itu Jusuf Kalla menyalami sejumlah ulama yang mengikuti pertemuan trilateral ulama Afganistan, Indonesia dan Pakistan di Istana Bogor, Jawa Barat, pada 2018. Wahyu Putro A/Antara Foto

Bulan lalu, dalam sebuah wawancara, mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla mengungkapkan inisiatifnya untuk membantu proses ke arah kesepakatan damai antara pemerintah Afghanistan dan kelompok fundamentalis Islam Taliban.

Indonesia menyambut baik peran sebagai fasilitator perjanjian damai tersebut menyusul permintaan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani saat berkunjung ke Indonesia pada 2017.

Setahun kemudian, Presiden Joko “Jokowi” Widodo melakukan kunjungan balasan ke Kabul pada Januari. Pada Mei 2018, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan perdamaian trilateral Afghanistan sebagai bagian dari “Diplomasi Islam”.

Komitmen Indonesia sebagai fasilitator perdamaian di Afghanistan mencerminkan aspirasinya untuk mengembangkan upaya bina damai (peacebuilding) di level global dan regional.

Namun sayangnya upaya tersebut belum memberikan manfaat nyata bagi kepentingan nasional Indonesia.

Pemerintah seharusnya bisa mulai mempertimbangkan untuk menyusun strategi upaya perdamaian dan pemberian bantuan luar negeri yang sesuai dengan dan dapat memenuhi kepentingan nasional.

Upaya bertahun-tahun

Indonesia memulai kontribusi perdamaiannya tahun 1956 dengan bergabung pada misi penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu United Nations Emergency Forces (UNEF) I.

Sejak saat itu, Indonesia secara aktif berkontribusi pada fasilitasi perdamaian dan pemeliharaan perdamaian di tingkat regional dan global. Kontribusi ini memperkuat citra diri Indonesia “mitra sejati perdamaian dunia”.

Di Asia Tenggara, Indonesia telah berperan dalam berbagai upaya perdamaian kawasan. Salah satunya dengan menjadi bagian dari Tim Pemantau Internasional (International Monitoring Team, IMT) di Filipina Selatan. Selain itu Indonesia juga memfasilitasi perdamaian dalam konflik Thailand-Kamboja pada tahun 1990-an. Indonesia juga terlibat dialog aktif dengan Myanmar untuk mendorong demokratisasi antara 2011 dan 2014.

Aktivisme diplomatik ini menjadi salah satu dasar bagi Indonesia untuk mengembangkan visi sebagai “peacebuilder dan peacemaker” yang berkontribusi pada perdamaian regional dan global.

Indonesia juga dikenal lewat aktivisme “middle power”. “Kekuatan menengah” adalah istilah untuk menggambarkan suatu negara yang bukan termasuk negara adidaya, namun memiliki pengaruh dan pengakuan internasional yang signifikan.

Cara negara middle power membangun pengaruh adalah dengan soft power, yaitu bukan melalui kekuatan material seperti kekuatan militer maupun daya dorong ekonomi melainkan dengan berbagi pengalaman demokratisasi dan pengelolaan konflik.

Indonesia, misalnya, adalah bagian dari MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea, Turki, dan Australia. Kemitraan informal kekuatan menengah ini berdiri pada 2013 di sela-sela Sidang Umum PBB dengan tujuan memperbaiki tata kelola global yang berpihak ke negara adidaya.

Sebagai negara mitra pembangunan, Indonesia baru-baru ini juga memberikan bantuan senilai Rp 36,5 miliar (sekitar US$ 2,5 juta) untuk mengatasi pandemi COVID-19 di Palestina.

Upaya ini selaras dengan nilai-nilai Indonesia yang mempromosikan Kerja Sama Selatan-Selatan dan diplomasi soft power “tangan di atas” (memberikan bantuan alih-alih menerima).

Peluncuran Indonesia AID (IndoAID) pada 2019 juga menandai pergeseran Indonesia dari negara penerima bantuan menjadi negara pemberi bantuan.


Read more: Apa dampak diplomasi bantuan Indonesia ke kawasan Pasifik?


Apa untungnya untuk Indonesia?

Menakar dampak dari aktivisme ini tidaklah mudah karena kontribusi Indonesia bersifat tidak dapat diukur, seperti citra positif negara sebagai “mitra sejati untuk perdamaian dunia”.

Namun demikian, Indonesia tidak seharusnya mengabaikan pentingnya mengevaluasi apa dan sejauh mana kontribusi upaya perdamaian dan bantuan internasional Indonesia bagi kepentingan nasionalnya.

Pada era Orde Baru (1966-1998), misalnya, politik luar negeri Indonesia cenderung mengacu pada “lingkaran konsentris”. Kawasan terdekat Indonesia - seperti Asia Tenggara misalnya - merupakan inti dari fokus kebijakan luar negerinya.

Bahkan setelah jatuhnya Orde Baru, beberapa aktivitas politik luar negeri Indonesia masih bertumpu pada lingkaran konsentris ini.

Termasuk di dalamnya adalah aktivitas di Kepulauan Pasifik – seperti mengadakan Forum Indonesia-Pasifik Selatan pada 2019, dan keterlibatan RI dengan Timor Leste setelah kemerdekaannya dari Indonesia pada 1999. Terkait hal tersebut, terdapat juga beberapa upaya diplomasi untuk mengurangi dukungan untuk separatis Papua Barat.

Bantuan Idonesia untuk Palestina adalah komitmen normatif berdasarkan solidaritas anti-kolonial. Hal ini juga bisa dilihat sebagai upaya balas budi karena Palestina adalah entitas pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Lebih penting lagi, setelah melewati transisi demokrasi, yang dimulai pada 1998, Indonesia menegaskan dirinya sebagai negara Muslim moderat terbesar pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014).

Berkontribusi pada proses perdamaian Afghanistan merupakan salah satu ekspresi dari identitas ini selain juga berpartisipasi pada gerakan global untuk memerangi radikalisme.

Jika dibandingkan dengan negara donor tradisional yang berasal dari dunia Barat dan aktor-aktor perdamaian lainnya, Indonesia bisa dibilang cukup unik.

Hal ini karena Indonesia mendasari aktivitas perdamaian dan bantuan internasional pada gerakan berbasis solidaritas sembari mengembangkan citra rendah hati dan sikap tidak mencari keuntungan.

Politik luar negeri dan kepentingan nasional memang dapat berkontribusi pada usaha Indonesia dalam pembentukan citra dan identitas yang berbasis solidaritas. Namun demikian, pemerintah Indonesia perlu mengevaluasi lebih lanjut bagaimana upaya ini dapat memberi keuntungan nyata bagi kepentingan nasional.

Dampak positif dan nyata tersebut dapat berupa akses pasar yang lebih baik, preferensi perdagangan yang lebih besar, serta interaksi antarmasyarakat yang lebih intens.

Dampak-dampak yang lebih nyata ini pada gilirannya akan dapat bertransformasi menjadi pengaruh politik. Dengan demikian, Indonesia dapat lebih mempromosikan nilai-nilainya, seperti demokrasi dan resolusi konflik secara damai ke negara lain.

Dalam hal ini, Indonesia harus mempertimbangkan keterlibatan yang lebih erat dengan negara-negara dalam lingkaran konsentrisnya.

Tetangga-tetangga dekat ini seringkali hanya menjadi bagian dari prioritas jangka pendek Indonesia, bahkan kadang diabaikan. Tetangga dekat RI seperti Myanmar adalah contoh nyata negara yang seharusnya diprioritaskan dalam aktivitas perdamaian dan bantuan asing Indonesia.


Read more: Memanfaatkan kekuatan universitas sebagai aktor baru dalam diplomasi global


Jalan ke depan

Indonesia harus secara strategis menyusun rencana kegiatan bantuan pembangunan dan aktivisme perdamaiannya untuk mendapatkan manfaat yang lebih nyata.

Mencari keuntungan nyata tidak selalu merupakan situasi kalah-menang.

Mempertimbangkan prioritas nasional saat memberikan bantuan asing dan aktivisme penjaga perdamaian dapat menghasilkan solusi yang saling menguntungkan.

Hal tersebut akan membantu Indonesia menciptakan keterlibatan jangka panjang yang lebih mendalam ketimbang membuat agenda jangka pendek sesaat. Pada saat yang sama, bantuan pembangunan dan aktivisme perdamaian juga akan memberdayakan negara lain.

Untuk mencapai ini, pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri, harus lebih banyak melibatkan dan menerima masukan dari lembaga think tank, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk warga negaranya, untuk merumuskan lebih baik rencana pemberian bantuan pembangunan dan aktivisme perdamaiannya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now