Menu Close
Pembangunan simpang susun Semanggi di Jakarta Pusat menggunakan uang pengembang sehingga bisa dengan cepat diwujudkan. www.shutterstock.com

Kebijakan kilat, pemimpin inovatif, dan nasib demokrasi Indonesia

Kepala daerah di Indonesia selalu mengalami sebuah dilema dalam berinovasi: antara bergerak cepat—dengan menerabas aturan dan mengabaikan proses konsultasi publik—dan menjalani proses demokratis yang memakan waktu.

Pilihan terakhir bisa jadi membuat hasil akhir program tidak segera tampak dalam waktu lima tahun ia menjabat.

Dilema ini berlangsung sejak kebijakan desentralisasi diberlakukan di Indonesia hampir dua dekade yang lalu.

I Gede Winasa, Bupati Jembrana, Bali (1999-2009), dan Untung Wiyono, Bupati Sragen, Jawa Tengah (2001-2011) adalah contoh inovator lokal di periode awal desentralisasi. Winasa memperkenalkan kebijakan kesehatan gratis (JKJ atau Jaminan Kesehatan Jembrana), dan Untung dikenal karena mendorong pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Keduanya menjadi model pemimpin terbaik di negeri ini. Sayangnya, kedua figur inovator ini dipenjara. Sebagian sebabnya karena menerabas aturan, sebab yang lain karena murni kriminalitas (kasus penipuan).

Dalam rangka melindungi para pemimpin lokal dari jerat hukum akibat inovasi yang ia lakukan, Presiden Joko Widodo berjanji untuk memberikan jaminan hukum bagi pemimpin inovatif. Kalau inovasi mereka gagal, pemimpin daerah tidak bisa dikriminalisasi.

Namun demikian, dilema tetap dihadapi para pemimpin daerah sampai sampai saat ini.

Ahok: inovasi dan diskresi

Dilema yang sama tampaknya dihadapi oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Jakarta saat ia menjabat sebagai gubernur “pemimpin daerah inovatif”. Ahok dikenal sebagai gubernur pekerja keras dalam mewujudkan mimpi Jakarta sebagai kota modern dunia. Mimpi yang sudah tertanam sejak gubernur Ali Sadikin memimpin ibu kota di tahun 1960an-1970an.

Kepemimpinan Ahok dianggap—oleh sebagian orang—berhasil memecahkan banyak masalah kronis di ibu kota seperti banjir (dengan mengeruk sungai sambil menggusur warga miskin), kebersihan (dengan mengerahkan pasukan oranye), dan melawan korupsi di tubuh birokrasi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (dengan mengunci kata sandi dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

Selain itu, ada “inovasi” lain seperti pembangunan simpang susun Semanggi dan pembangunan ruang publik ramah anak dan ruang hijau di Kalijodo. Ia menuntaskan semua program ini melalui apa yang dikenal sebagai “diskresi”.

Makna istilah ini menurut kamus Oxford adalah kebebasan untuk memutuskan dalam sebuah kondisi khusus. Dalam konteks sektor publik menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, diskresi dilakukan pejabat untuk mengatasi masalah konkret yang ditimbulkan oleh peraturan tidak lengkap, misalnya. Atau dalam konteks lain adalah situasi darurat yang dihadapi pemimpin seperti saat menghadapi bencana alam.


Baca juga: Apakah Indonesia butuh kantor anggaran legislatif?


Di tengah ketakjelasan definisi, Ahok mendefinisikan sendiri apa itu “diskresi”, yakni “mengisi kekosongan aturan hukum”. Dengan menggunakan definisi ini, ia melakukan kesepakatan dengan para pengembang dalam pembangunan DKI: pengembang yang terlibat reklamasi Teluk Jakarta diminta menyumbang fasilitas publik senilai 15% dari penjualan tanah di pulau sebagai syarat mendapat izin reklamasi.

Kedua, ia membolehkan pengembang menambah koefisien luas bangunan (KLB), aturan yang terkait dengan luas bangunan yang bisa dibangun berbanding dengan luas tanah yang tersedia, dengan membayar dana “kompensasi”.

Dana dari dua pos ini yang kemudian digunakan untuk membangun fasilitas publik seperti simpang susun Semanggi dan pembangunan jalan inspeksi. Warga ibukota senang dengan fasilitas ini, karena dianggap mengurangi macet dan menahan banjir.

Inovasi, pragmatisme pemimpin, dan kelas menengah

Populernya inovasi kepala daerah di mata warganya seperti pembenar bahwa inovasi tersebut sudah berjalan di jalur yang benar. Padahal tidak selalu demikian.

Inovasi yang dilakukan oleh pemimpin daerah masuk dalam kerangka kebijakan kilat (fast policy). Dalam artikel ilmiahnya, Bob Jessop, memaknai “fast policy” sebagai

karakteristik pengambilan kebijakan publik yang siklus kebijakannya diperpendek, pengambilan keputusan yang dipercepat, peluncuran program yang kilat, eksperimentasi kebijakan, dan perubahan panduan dan standar yang terus-menerus. Jessop mengatakan praktik ini menguntungkan orang yang bekerja dalam jadwal yang ketat dan akibatnya mengurangi jumlah pemangku kepentingan dalam proses kebijakan dan membatasi arena deliberasi, konsultasi, dan negosiasi.

Selain itu kebijakan kilat juga berakar pada praktik para manajer profesional di sektor swasta. Daniel Kahneman yang menulis buku Thinking Fast and Slow (Berpikir Cepat dan Pelan), adalah rujukan utama para manajer ini. Majalah manajemen bisnis bergengsi Harvard Business Review mengeluarkan edisi khusus membahas pengambilan keputusan yang lebih cepat.

Demokrasi bukan gerai makanan cepat saji karena harus menimbang banyak kepentingan. . Shutterstock

Dalam konteks Indonesia, menjadi pemimpin yang cepat mengambil keputusan dan menerabas aturan, dianggap sebagai jalan keluar cerdas asal demi kepentingan publik. Pemimpin seperti ini disukai sebagian warga yang tidak terkena dampak negatif kebijakannya. Misalnya, warga kelas menengah yang tak sabar dengan masalah banjir di ibu kota mendukung kebijakan penggusuran warga di bantaran sungai.

Namun, ada yang terlewat dalam tindakan inovatif. Pertama, ia mengabaikan proses politik yang melibatkan institusi demokratis seperti lembaga perwakilan (DPRD). Dalam konteks DKI misalnya, pemimpin DKI meminta pengembang pulau buatan atau pemohon penambahan KLB untuk membayar dalam bentuk barang—alih-alih dalam bentuk denda yang masuk kas negara terlebih dulu sesuai aturan yang berlaku. Ahok tidak melalui proses publik di DPRD, sebuah proses lazim terkait dengan penggunaan dana publik dalam sebuah sistem demokratis.

Kedua, kebijakan publik yang dianggap inovatif, jarang melibatkan partisipasi warga guna mencari solusi bersama. Kebijakan inovatif ini selalu tidak dapat memuaskan semua pihak. Misalnya, “normalisasi” sungai dibutuhkan agar aliran air sungai lancar, tetapi warga kota kelas bawah yang tinggal di bantaran sungai perlu hidup layak juga.

Melibatkan warga bantaran sungai dianggap lambat dan karenanya dianggap tidak responsif. Kebijakan yang lambat dianggap tidak inovatif.

Demokrasi adalah tradisi perlahan

Kebijakan publik berbasis proses demokratis memakan waktu. Di dalamnya proses konsultasi terus menerus dilakukan guna memastikan semua pihak bisa menerima apa yang diputuskan.

Peran warga, baik secara langsung, maupun melalui wakil di lembaga perwakilan, tidak hanya berhenti dalam momentum demokrasi elektoral setiap lima tahun sekali. Pasca pemilihan umum, saat proses kebijakan yang nyata berlangsung selama lima tahun, adalah waktu di mana warga perlu terus ikut serta dalam proses demokrasi.

Kemampuan merespons secara cepat apa yang dibutuhkan warga adalah satu hal yang memang menjadi tugas pemimpin yang dipilih warganya. Namun tanpa kehati-hatian, “kebijakan kilat” bisa menjadi lawan bagi demokrasi. Secara perlahan kita telah menyaksikan ini di Indonesia.

Jika kita masih menyepakati nilai utama dalam sistem demokrasi, yang bertumpu pada peran warga, maka kita perlu memaklumi bahwa demokrasi bukanlah proses kilat dan efisien. Demokrasi bukan gerai makanan cepat saji seperti McDonald’s atau KFC. Tapi ia merupakan proses yang menjamin warga mendapat tempat utama dalam proses politik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now