Menu Close

Kemesraan Rusia-Cina: membaca misi Putin dalam memperluas pengaruh di Asia

Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) dan Presiden Cina Xi Jinping. plavi011/Shutterstock

Presiden Cina Xi Jinping mengunjungi Moskow untuk menemui Presiden Rusia Vladimir Putin pada 20-22 Maret 2023. Kunjungan ini dilakukan hanya beberapa hari pasca terbitnya surat perintah Mahkamah Pidana Internasional terkait penangkapan Putin atas dugaan kejahatan perang di Ukraina.

Seakan tak terpengaruh perintah tersebut, saat bertemu Putin, Xi menekankan pentingnya hubungan Rusia-Cina untuk membentuk tatanan multipolar dan membatasi dominasi Barat. Multipolaritas adalah suatu konsep dalam hubungan internasional yang menggambarkan terdistribusinya kekuasaan dan pengaruh politik, ekonomi, dan militer secara merata di antara beberapa negara atau pusat kekuatan utama dalam sistem global.

Kunjungan Xi membalas kunjungan Putin ke Beijing tahun lalu menjelang Olimpiade Musim Dingin. Saat itu, keduanya menandatangani kemitraan “tanpa batas”. Sejak invasi Rusia ke Ukraina dan sanksi bertubi-tubi dari negara-negara Barat terhadap Rusia, Cina menjadi mitra ekonomi yang sangat penting – bahkan terbesar – bagi Rusia. Tercatat nilai perdagangan Rusia-Cina tahun 2022 sebanyak US$190 miliar (Sekitar Rp 2.858 triliun).

Sejarah kedekatan Rusia-Cina dan misi multipolarisasi

Secara historis, kedekatan Rusia dan Cina saat ini merupakan konsekuensi rekonsiliasi diplomatik kedua negara sejak berakhirnya Perang Dingin pada akhir 1980-an. Tahun 1996, para pemimpin kedua negara saat itu, Presiden Boris Yeltsin dan Presiden Jiang Zemin, menandatangani “kemitraan strategis untuk dunia multipolar” dan kedekatan ini dilanjutkan oleh para penerus mereka.

Ada beberapa kesamaan yang mendorong kedekatan mereka.

Pertama, kekecewaan dan kekhawatiran keduanya terhadap hegemoni (dominasi satu negara terhadap tatanan global) Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Hal ini tampak dalam kritik mereka terhadap promosi demokrasi liberal dan intervensionisme Barat yang dianggap ancaman oleh Rusia dan Cina.

Kedua, baik Rusia maupun Cina aktif mengembangkan hubungan dengan kawasan non-Barat, seperti Afrika dan Amerika Latin, untuk membangun alternatif terhadap hegemoni Barat dan mempromosikan mereka sebagai model yang “menarik” ketimbang Barat.

Ketiga, terlepas perbedaan rasial keduanya, baik Rusia dan Cina menempatkan kebanggaan terhadap budaya, tradisi dan sejarah masing-masing yang kaya sebagai pondasi patriotisme, sehingga tidak mengejutkan jika kedua negara membawa penghormatan terhadap kekayaan dan keragaman budaya dalam kebijakan luar negeri mereka.

Keempat, memburuknya hubungan Rusia dan Barat sejak aneksasi Krimea (2014) dan invasi skala penuh ke Ukraina yang berujung pada penerapan sanksi ekonomi dalam skala besar membuat Rusia melihat Cina sebagai satu-satunya raksasa ekonomi yang bisa menghadirkan peluang untuk menanamkan pengaruhnya ke Asia-Pasifik.


Read more: Kebangkitan Cina sebagai negara adidaya: Apa dampaknya bagi Indonesia, Asia dan tatanan global?


Dalam dokumen kebijakan luar negerinya, Rusia melihat Asia sebagai kawasan yang dinamis dengan kekuatan ekonomi dan demografinya, serta melihat pentingnya Asia pasca berakhirnya ‘Barat-sentrisme’ alias dominasi Barat dalam hubungan internasional.

Faktanya, negara-negara besar di Asia seperti Cina, India, Pakistan, dan Indonesia tidak menjatuhkan sanksi terhadap Rusia. Sikap Asia yang tidak sekuat Barat dalam mengurangi kerja sama dengan Rusia pasca invasi ke Ukraina ini semakin meningkatkan nilai tambah Asia bagi Rusia.

Sementara, Asia melihat Rusia sebagai alternatif di tengah potensi bipolaritas (dua kutub dengan kekuatan seimbang dalam sistem global) AS-Cina di kawasan agar Asia mempunyai lebih banyak pilihan mitra dan tidak terjebak pada persaingan keduanya.

Meskipun tidak sekuat AS dan Cina, Rusia bisa menawarkan manfaat yang cukup banyak bagi Asia, seperti kerja sama pertahanan melalui ekspor alutsista (alat perang) dan latihan militer dengan berbagai negara Asia, serta kerja sama energi dengan meningkatkan ekspor minyak dan gas Rusia ke Asia pasca sanksi Uni Eropa terhadap Rusia.

Rusia memiliki cukup banyak proyek energi di Asia, seperti kilang minyak di Indonesia (tepatnya Tuban) dan Vietnam, serta pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Cina, India dan Bangladesh. Rusia juga ikut dalam berbagai forum Asia, seperti East Asia Summit (EAS), ASEAN Regional Forum (ARF) dan ASEAN Defence Ministers Meeting Plus (ADMM+) serta cukup rutin membahas kerja sama keamanan, seperti kontraterorisme dan keamanan siber.

Peran Cina untuk misi Rusia

Dalam strategi Rusia mendekati Asia, Cina mempunyai peran penting sebagai kekuatan politik, ekonomi dan diplomatik di kawasan. Cina merupakan salah satu penerima alutsista terbesar dari Rusia dan sejak invasi Rusia ke Ukraina dan telah menjadi konsumen besar bagi produksi minyak dan gas Rusia, terutama melalui pipa Power of Siberia.

Selain itu, Rusia juga menghubungkan proyek integrasinya dengan Cina, seperti melalui BRICS (yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan), Uni Ekonomi Eurasia (EAEU), Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), dan ASEAN dalam konsep Greater Eurasian Partnership yang pertama disuarakan Putin tahun 2016.

Tantangan dalam hubungan Rusia-Cina

Terlepas dari kedekatannya, hubungan Rusia-Cina memiliki beberapa tantangan.

Pertama, meskipun hubungan Rusia-Eropa memburuk, Eropasentrisme tetap kuat di Rusia, terutama karena kedekatan kultural dan sejarah.

Pembangunan di Rusia juga masih berfokus pada Eropa, dengan wilayah timur Rusia cenderung stagnan dan mengalami krisis demografi ketika negara-negara Asia Timur ekonominya berkembang pesat.

Kedua, ada kekhawatiran dominasi ekonomi Cina dan potensi Rusia menjadi terlalu bergantung pada Cina. Isolasi yang dihadapi Rusia dan kebangkitan Cina dapat membuat Cina memegang dominasi dalam hubungannya dengan Rusia, terlebih jika melihat Rusia tidak punya pilihan selain bergantung pada Cina. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu kekhawatiran di wilayah timur jauh Rusia, terutama jika semakin banyak warga Cina yang bekerja di sana dan menghadirkan gesekan sosial.

Ketiga, sejauh mana Cina “membela” Rusia juga patut diperhatikan. Pada Paralimpiade Beijing, Komite Olimpiade Internasional (IOC) mendiskualifikasi atlet Rusia dari keikutsertaan karena invasi Rusia ke Ukraina, dan tidak ada protes atau ketidaksetujuan yang terlihat dari panitia lokal atau pejabat Cina. Padahal, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, saja pernah menyebut “semua negara, termasuk yang sedang berperang” harus bisa ikut Olimpiade Paris 2024, yang diyakini berpengaruh pada rencana IOC mengizinkan keikutsertaan Rusia di Paris meskipun di bawah bendera netral.

Dari dinamika dan tantangannya, dapat dilihat hubungan Rusia-Cina adalah salah satu kalkulasi penting dalam geopolitik kawasan, mengingat ukuran dan pengaruh kedua negara yang besar.

Dampak hubungan kedua negara akan menarik dikaji negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia, sebagai negara yang bertekad menjadi kekuatan menengah di kawasan. Indonesia perlu memperhitungkan hubungannya dengan Rusia dan Cina secara cermat.

Penting bagi Indonesia untuk menjaga hubungan baik serta mencari peluang-peluang kerja sama yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan kepentingan nasionalnya. Namun, di saat yang sama, penting juga bagi Indonesia untuk menjaga prinsip-prinsip kebijakan luar negerinya ketika berhubungan dengan kedua negara, terutama terkait integritas teritorial dan nilai kedaulatan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now