Menu Close
Untuk mendukung BPJS-Kesehatan, pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS sejak 1 Juli 2020. www.shutterstock.com

Kenaikan iuran BPJS bukan solusi terhadap masalah kesehatan di Indonesia: 4 hal yang perlu dilakukan

Sejak Juli tahun lalu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah mengalami defisit yang diperkirakan mencapai Rp 28 triliun. Kerugian itu naik tiga kali lipat defisit yang dialami pada akhir 2018.

Terjadinya pandemi COVID-19 diperkirakan akan memperburuk defisit ini. Sedikitnya 1,9 juta pekerja di Indonesia telah diberhentikan dari pekerjaan mereka selama pandemi ini. Kesulitan ekononomi yang dialami oleh masyarakat kemungkinan akan menurunkan jumlah peserta yang terdaftar dan dapat mengurangi sumber pendapatan bagi BPJS-Kesehatan.

Untuk mendukung BPJS-Kesehatan, pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS sejak 1 Juli 2020.

Berdasarkan rencana tersebut, pemerintah akan menaikkan iuran untuk layanan kelas 1 sebesar 87,5% hingga mencapai Rp150.000 per bulan per orang, kelas 2 sebesar 96% jadi Rp 110.000, dan kelas 3 sebesar 65% jadi Rp 35.000.

Namun, langkah ini hanya akan mengatasi masalah jangka pendek. Kenaikan iuran tidak efektif untuk mengatasi masalah struktural yang sedang dihadapi oleh BPJS, seperti masalah peningkatan pendapatan hingga prioritas layanan kesehatan.

Lewat tulisan ini, kami ingin menunjukkan mengapa kenaikan iuran bukan solusi terbaik. Kami juga telah mengidentifikasi empat strategi alternatif supaya asuransi BPJS bisa menjadi lebih inklusif dan berkelanjutan untuk menjamin akses seluruh rakyat Indonesia terhadap layanan kesehatan yang setara.

Mengapa kenaikan iuran bukan solusi terbaik?

Indonesia adalah negara yang mengelola asuransi kesehatan universal terbesar di dunia dengan jumlah peserta mencapai 80% jumlah penduduk atau sekitar 224 juta peserta, termasuk 96 juta masyarakat miskin.

Sistem asuransi tersebut merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk mewujudkan cakupan kesehatan semesta (universal health coverage), agar seluruh lapisan masyarakat Indonesia memiliki akses terhadap layanan kesehatan.

Rencana kenaikan iuran ini dapat menghambat upaya pemerintah untuk mewujudkan universal health coverage tersebut karena akses terhadap layanan kesehatan hanya dapat dinikmati oleh masyarakat dengan daya beli tinggi. Kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan memilih untuk tidak membayar iuran atau harus menurunkan kelas kepesertaan BPJS Kesehatan.

Hanya sepertiga dari 74 juta pekerja informal di Indonesia yang merupakan penerima bantuan iuran dari pemerintah. Sisanya harus mendaftar dan membayar iuran secara mandiri sesuai kemampuan masing-masing.

Sampai 2019, hanya setengah dari peserta mandiri yang membayar iuran secara konsisten. Apabila ini adalah cerminan dari kesanggupan membayar masyarakat, kenaikan iuran akan semakin menurunkan kemampuan masyarakat rentan untuk membeli asuransi kesehatan. Pekerja informal yang relatif sehat akan cenderung memilih berhenti menjadi anggota.

Motivasi untuk membayar iuran asuransi juga merupakan faktor yang penting. Sebagian besar dari mereka yang bertahan merupakan kelompok yang membutuhkan layanan kesehatan berkaitan dengan penyakit yang diderita. Hal ini terlihat dari tingginya rasio klaim dari peserta mandiri dibandingkan dengan penerima bantuan iuran.

Kenaikan iuran tidak dapat menyelesaikan masalah terkait bias kepesertaan. Kenaikan iuran justru memperburuk masalah. Mereka yang memutuskan untuk tetap membayar, kemungkinan besar karena mereka akan membutuhkan layanan kesehatan di kemudian hari. Kelompok masyarakat yang sehat kemungkinan besar akan drop-out, sehingga yang kemudian bertahan adalah kelompok masyarakat yang ‘sakit’.

Idealnya, sistem asuransi kesehatan dirancang supaya masyarakat tetap sehat melalui layanan pengobatan dasar dan upaya pencegahan, sehingga kebutuhan terhadap layanan sekunder/tersier dapat ditekan. Realitanya, sampai saat ini sebagian besar proporsi dana asuransi kesehatan nasional masih dialokasikan untuk membayar klaim rumah sakit, khususnya berkaitan dengan penyakit kronis yang seharusnya dapat dicegah melalui layanan primer. Pada periode 2014 dan 2016, hampir 80% pengeluaran tahunan BPJS Kesehatan adalah untuk membayar klaim layanan kesehatan sekunder dan tersier.

Sistem asuransi kesehatan nasional di Indonesia masih tetap berorientasi pada pengobatan atau sering disebut ‘asuransi kesakitan’. Kenaikan iuran tidak akan efektif apabila BPJS Kesehatan tetap memprioritaskan layanan kesehatan sekunder/tersier bagi kelompok masyarakat yang ‘sakit’.

Solusi alternatif

Kenaikan iuran – kala semua hal yang lain dalam sistem kesehatan tetap sama – bukanlah opsi kebijakan yang terbaik. Kami sarankan sejumlah perubahan struktural strategis yang lebih mendesak untuk dilakukan.

Pertama, kita harus bisa mengenali kelompok masyarakat yang bisa berkontribusi dengan lebih baik. Sistem kelas mencerminkan kemampuan para peserta untuk membayar iuran sebenarnya dan ini harus dievaluasi. Penciptaan standar diperkirakan akan dapat mendorong pelayanan kesehatan yang adil kepada semua peserta.

Alih-alih dengan penentuan kelas, iuran dapat diperhitungkan berdasarkan kelompok pendapatan. Untuk melakukan hal ini, BPJS Kesehatan dapat berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Kedua, pengumpulan dana yang cukup dari masyarakat akan dapat lebih terjamin ketika pemerintah mewajibkan kepersertaan kepada semua warga negara, tanpa terkecuali. Untuk keadilan dalam melakukan hal ini, pemerintah dapat menjamin alokasi subsidi tersampaikan dengan tepat, melalui pemutakhiran dan verifikasi populasi yang miskin dan hampir miskin.

Ketiga, BPJS Kesehatan dapat mengorientasikan ulang pelayanan kesehatan menuju model pelayanan preventif. Untuk mendorong pendekatan ini, pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan dan demerintah daerah, harus memperkuat peran Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) sebagai tulang punggung pelayanan preventif dan penyakit kronis. Pemerintah juga perlu memperkuat kerja sama dan melakukan integrasi antara sektor publik dan swasta di tingkat pelayanan primer.

Terakhir, BPJS Kesehatan sendiri harus mengutamakan transparansi. Dinas Kesehatan lokal dan masyarakat luas telah mengeluhkan kurangnya transparansi BPJS Kesehatan, yang membuat warga enggan mendaftarkan diri.

Keterbukaan data yang kritis kepada publik merupakan langkah praktis dan simbolis yang kuat untuk mendukung mekanisme internal BPJS Kesehatan dalam merespons kebutuhan perubahan secara efektif. Transparansi penting untuk mencegah tindakan penipuan administratif, seperti klaim ganda. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, masyarakat luas akan terus mempertanyakan kredibilitas BPJS-Kesehatan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now