Menu Close

Lemahnya sistem pendanaan riset di Indonesia semakin terasa di tengah pandemi: berikut pengalaman para dosen

(Unsplash/Dan Dimmock), CC BY

Skema pendanaan penelitian dari pemerintah Indonesia saat ini belum mampu menopang riset yang sifatnya multi-tahun akibat siklus anggaran negara yang sifatnya tahunan. Ini menyulitkan dosen untuk merancang riset jangka panjang.

Berdasarkan data terakhir UNESCO, besaran anggaran riset yang dialokasikan pemerintah Indonesia pun masih sangat rendah (0,1% dari Pendapatan Domestik Bruto pada 2021) bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga (0,5% di Thailand, 1,3% di Malaysia, dan 2,1% di Singapura).

Pandemi COVID-19 yang ‘memaksa’ pemerintah untuk mengatasi krisis – sehingga menggeser anggaran dan prioritas riset – semakin memperparah kondisi ini bagi banyak peneliti dan dosen.

Seberapa banyak dukungan pendanaan yang diberikan untuk riset-riset yang dilakukan selama pandemi? Bagaimana nasib pendanaan riset dengan topik yang tidak berkaitan dengan pandemi secara langsung?

Kami di Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) melakukan wawancara mendalam dengan tiga dosen di perguruan tinggi di Indonesia untuk mendapat gambaran tentang lika-liku pendanaan riset selama pandemi.

Berikut cerita mereka.


Read more: Memajukan industri pengetahuan di Indonesia, apa yang bisa dilakukan pemerintah?


Dana penelitian yang berkurang

Pandemi berdampak pada penurunan alokasi anggaran riset yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Asumsinya, riset tidak dilaksanakan secara tatap muka atau turun lapangan ketika pandemi.

Berdasarkan pengalaman Shahnaz Safitri, dosen psikologi di Universitas Indonesia (UI) yang fokus pada riset efektivitas pembelajaran, penurunan dana riset pada awal pandemi mencapai 50% dari yang biasanya sekitar Rp 300 juta untuk riset sosial yang berjangka panjang. Baru pada tahun kedua pemberian dana riset mulai pelan-pelan bertambah.

Jumlah anggaran yang berkurang ini, menurut Shahnaz, sebenarnya masih cukup untuk desain penelitian psikologi yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Tapi, beda halnya dengan rekan-rekannya yang menggunakan pendekatan kualitatif.

“Untuk desain penelitian kuantitatif, dosen psikologi [di UI] biasanya memakai instrumen survei daring. Yang lebih terdampak adalah peneliti kualitatif karena harus turun lapangan, atau peneliti eksakta karena membutuhkan biaya yang besar untuk peralatan”, ujar Shahnaz.

Masalah yang berbeda juga diceritakan oleh Daryanto, dosen teknik elektro di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Alokasi hibah dari pemerintah selama pandemi tidak berdasarkan kebutuhan riil yang diajukan dosen peneliti. Jatah hibah kini diplot dengan kisaran angka tertentu (seperti 50 juta, 100 juta, 200 juta, dan seterusnya).


Read more: Bukan (hanya) soal anggaran. Bagaimana dana riset dibelanjakan juga penting


Bagi Daryanto, pembatasan anggaran ini menyulitkan dosen dan peneliti, terutama yang berada di rumpun teknik dan eksakta karena penelitian yang dilakukan membutuhkan pembelian peralatan atau infrastruktur lainnya.

“Seringkali, kampus juga belum menyediakan infrastruktur yang memadai untuk riset”, kata Daryanto.

Meski ada penurunan dana riset secara umum di ranah non-pandemi, Aryo Wicaksono dari Universitas Airlangga (UNAIR) mengamati adanya dampak positif pasca COVID-19.

Menurutnya, pandemi memberikan stimulus masyarakat untuk melakukan perubahan di berbagai sektor. Aryo memprediksi tren topik riset ke depan tidak lagi membahas dampak pandemi, namun seharusnya sudah membahas proses resiliensi (bounce back) masyarakat terhadap krisis.

Ada akar masalah yang lebih besar

Selain isu besaran anggaran anggaran riset pemerintah, terdapat permasalahan lain terkait pendanaan penelitian di Indonesia.

Pertama, masalah pemerataan pendanaan riset.

Pendanaan riset yang proporsinya didominasi APBN – itu pun hanya 0,1% dari PDB untuk 2021 – seringkali hanya bisa diakses oleh perguruan tinggi unggulan dan dosen yang mempunyai jam terbang riset tinggi.

Daryanto menyebutkan “pola pembinaan dosen muda yang tidak terstruktur dengan baik” membuat dosen-dosen muda kurang mempunyai kesempatan untuk memenangkan hibah riset. Temuan ini senada dengan hasil riset Reality Check Approach (2017) yang menunjukkan bahwa untuk memenangkan hibah riset, dosen muda memerlukan profil “dosen senior” di dalam pengajuan proposalnya.


Read more: Sepak terjang peneliti muda Indonesia: berkembang pesat tapi masih terbentur banyak tantangan


Kedua, pelaporan hasil riset yang masih berorientasi administratif ketimbang aspek substansi riset.

Tingginya beban administrasi membuat dosen peneliti seperti Shahnaz, Aryo, dan Daryanto kekurangan motivasi untuk mendaftar hibah riset dari pemerintah.

“Pemerintah memang mulai berorientasi untuk kebijakan pendanaan riset berbasis luaran (output), namun pada kenyataannya dosen masih disibukkan dengan nota-nota bukti dan pelaporan yang kaku,” ujar Daryanto.

Ia menambahkan bahwa orientasi pelaporan berbasis laporan pertanggungjawaban (LPJ) keuangan menyulitkan dosen untuk melakukan hilirisasi hasil penelitian menjadi produk.

“LPJ keuangan kan sifatnya per termin satu tahun anggaran, sehingga sistem ini tidak memungkinkan penelitian untuk menjadi sebuah produk.”

Di tengah penurunan besaran hibah riset selama pandemi, kompetisi yang kurang sehat maupun beban administrasi yang berat semakin membatasi akses banyak dosen untuk mendanai riset berkualitas.

Kompetisi yang kurang sehat dan beban administrasi menghambat banyak dosen mengakses dana riset yang memadai. (Shutterstock)

Memperbaiki birokrasi riset

Pengalaman dosen peneliti seperti Shahnaz, Aryo, dan Daryanto menunjukkan bahwa hambatan yang muncul akibat alokasi anggaran yang menurun selama pandemi hanyalah satu gejala tambahan dari masalah yang lebih besar – yakni ekosistem pendanaan riset yang buruk.

Lalu, apa yang perlu dilakukan pemerintah dalam jangka panjang?

Menurut Shahnaz, dalam jangka pendek, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) perlu menginisiasi suatu pusat pembelajaran (learning center) khususnya untuk dosen peneliti muda. Hal ini penting untuk meningkatkan peluang dosen muda mendapatkan hibah.

Tak hanya menjalankan fungsi peningkatan kapasitas, learning centre juga dapat berperan sebagai jembatan kolaborasi antarperguruan tinggi di Indonesia.

Kemudian, dalam jangka panjang, Aryo dan Dayanto mengusulkan pentingnya penyederhanaan birokrasi penelitian di Indonesia.

Daryanto menekankan pentingnya pemberian dana berdasarkan kebutuhan topik yang diteliti dosen, bukan berdasarkan pada tahun anggaran sehingga bisa meningkatkan jumlah inovasi.

Sementara, Aryo menyarankan untuk menguatkan prosedur etik, dan pembenahan peran penelaah proposal penelitian agar relevan dengan topik yang diajukan peneliti.

Ini selaras dengan rekomendasi Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) pada 2019 agar pemerintah Indonesia menunjuk lembaga tepercaya untuk mengelola pemberian hibah dari Dana Abadi Penelitian supaya proses manajemen proposal penelitian menjadi lebih profesional dan terpisah dari siklus tahunan negara.

Krisis tentu akan datang dan pergi mengguncang dunia riset, tapi ekosistem pendanaan penelitian yang matang akan membantu dosen dan peneliti melewatinya dengan lebih baik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now