Menu Close

Melihat perlawanan stereotip perempuan Indonesia di film pendek Tilik

Sebuah adegan dari film Tilik Ravacana Films

Film pendek Tilik yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetya, telah menjadi perbincangan di media sosial Indonesia.

Sejak diunggah ke Youtube pada 17 Agustus 2020, Tilik sudah ditonton lebih dari 16 juta kali dengan respons yang beragam dari para netizen.

Tilik mengisahkan perjalanan sekelompok perempuan dari pedesaan yang menaiki truk bak terbuka untuk menjenguk Bu Lurah mereka yang dirawat di rumah sakit.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, para perempuan ini dengan antusias bergosip tentang seorang perempuan muda bernama Dian yang diduga memiliki pekerjaan yang ‘tidak pantas’ dan menjalin hubungan asmara dengan putra Bu Lurah (Fikri).

Penonton dan sesama sineas memuji sinematografi Tilik dan akting para pemerannya yang luar biasa. Namun, film ini juga menuai kontroversi karena menggambarkan perempuan secara tidak pantas.

Beberapa kritikus menilai bahwa Tilik mengagungkan stereotip tertentu yakni perempuan senang bergosip yang kebenarannya belum dibuktikan. Akhir dari film ini juga memperkuat stigma negatif perempuan sebagai perusak rumah tangga orang lain.

Ada kritik yang juga menuduh film ini bersifat misoginis karena isinya yang tampak membenci dan berprasangka buruk terhadap perempuan.

Namun, saya yakin Tilik lebih kompleks dari itu karena penggambaran perempuan yang beragam dalam film tersebut.

Melihat dengan sudut pandang yang berbeda

Jika melihat narasi Tilik dan penggambaran berbagai karakter di film ini secara dekat, para perempuan mengambil panggung utama dalam film ini.

Steve Neal, seorang pakar film dari Inggris, menjelaskan bahwa karakter-karakter yang memiliki stereotip tertentu di dalam sebuah film memberikan “ciri-ciri karakter yang monoton dengan struktur yang berulang”.

Namum, di dalam film Tilik, pemeran perempuannya beragam, mulai dari Bu Tejo yang terkenal kejam hingga Dian yang misterius. Keberagaman ini menawarkan representasi perempuan yang bervariasi, sehingga tidak ada ruang untuk memunculkan stereotip perempuan yang kaku.

Bu Tejo (memakai kerudung hijau) berbicara dengan sesama perempuan desa. Ravacana Films

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa stereotip perempuan dalam film ini tidak ada.

Di Indonesia, perempuan cenderung identik dengan peran domestik atau posisi yang terpinggirkan karena budaya patriarki masyarakat Indonesia yang kuat.

Namun, Tilik berusaha untuk mematahkan stereotip tersebut dengan karakter Bu Lurah. Desa yang didiami para perempuan ini dipimpin oleh seorang perempuan. Bu Lurah tidak hanya digambarkan sebagai perempuan yang mampu memimpin desa, tapi juga sebagai pemimpin yang dicintai warganya karena mereka berinisiatif untuk mengunjunginya begitu mengetahui bahwa dia dirawat di rumah sakit.

Bahkan, latar belakang Bu Lurah bertentangan dengan norma sosial yang konservatif.

Hal ini karena Bu Lurah menjadi ibu tunggal yang hidup bersama putranya setelah bercerai dari suaminya (Minto). Ini bertentangan dengan citra perempuan yang seringkali direpresentasikan oleh media arus utama sebagai pelengkap pasangan atau kerabat laki-laki mereka.

Penggambaran kelompok perempuan yang tampaknya senang bergosip di Tilik tidak bisa dianggap sebagai gambaran stereotip perempuan juga. Pasalnya, pengemudi truk laki-laki (Gotrek) juga digambarkan dalam film ini sebagai sosok yang senang mendengarkan para perempuan tersebut bergosip sambil mengemudi.

Pada adegan lain, Gotrek juga mencoba untuk menguping salah satu pembicaraan telepon. Artinya, laki-laki di dalam film ini juga direpresentasikan sebagai penyuka gosip.

Di akhir film Tilik terkuak bahwa ternyata Dian diketahui menjalin hubungan asmara dengan mantan suami Bu Lurah, bukan putranya. Banyak yang mengkritik bahwa hal ini memperkuat stereotip perempuan muda yang lajang sebagai “perusak rumah tangga”.

Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, film ini menunjukkan bahwa Dian adalah seorang perempuan karir yang mandiri dan secara sadar memutuskan untuk menjalin hubungan dengan laki-laki yang lebih tua.

Akhir cerita yang ironis

Diproduksi oleh Ravacana Films, sebuah rumah produksi yang berbasis di Yogyakarta, dan didanai oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta, Tilik tayang perdana pada 2018 dan dianugerahi film pendek terbaik pada ajang Piala Maya pada tahun yang sama.

Melalui berbagai macam rupa karakter perempuan di film tersebut yang nyaris tidak menggunakan bahasa verbal dalam menyampaikan pesan di Tilik, sejumlah penonton dan kritikus film menyalahkan pembuat film dan dinas kebudayaan setempat sebagai pihak yang memberikan sponsor atas absennya ‘pelajaran moral’ dari film tersebut.

Secara ironis, penonton justru meminta para pembuat film untuk membuat film dengan nilai kultural dan edukatif, sebuah imbauan lama yang juga diperkenalkan rezim otoriter Orde Baru, ketimbang memberikan kebebasan artistik kepada para pembuat film yang muda.

Alih-alih menilai dengan tergesa-gesa, kita sebaiknya membaca film pendek Tilik dengan cermat agar mendapat perspektif yang berbeda yang akhirnya dapat memperkaya wacana publik tentang isu gender di Indonesia.

Ayesha Muna menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,500 academics and researchers from 4,958 institutions.

Register now