Menu Close

Mengapa kusta di Indonesia belum juga hilang?

Keterlambatan mengobati penyakit kusta berdampak pada disabilitas seumur hidup. NLR

Artikel ini merupakan bagian dari serial #AkhiriPenyakitTerlupakan#

Indonesia menyumbang kasus penyakit kusta nomor tiga (sekitar 12.000) di dunia setelah Brazil (19.600) dan India (103 ribu).

Sebenarnya Indonesia telah mencapai penghapusan kusta secara nasional pada 2000 dengan angka prevalensi tingkat nasional 0,9 per 10.000 penduduk. Namun sejak 2001 sampai kini, situasi kusta di Indonesia statis dengan prevalensi 0,7 per 10.000 penduduk.

Kasus-kasus baru tetap ditemukan. Pada 2021, misalnya, ada sekitar 7.100 penderita kusta baru dengan proporsi kasus anak mencapai 11% dari jumlah kasus baru.

Angka ini masih jauh di bawah target pemerintah di bawah 5%.

Setiap tahun ada temuan kasus baru sekitar 17.000-20.000 kasus. Selain itu, kasus-kasus kusta baru dengan disabilitas pada mata, kaki, dan telapak tangan masih di atas 10%. Jika kasus-kasus ini terlambat ditangani, mereka bisa mengalami disabilitas seumur hidup.

Apa yang sebenarnya terjadi? Sebuah riset untuk rencana aksi terbaru menemukan ada banyak penyebab yang membuat kusta tetap bercokol di negeri ini selama puluhan tahun. Penyebab ini berasal dari internal (Kementerian Kesehatan dari pusat sampai kabupaten) dan eksternal (penyedia layanan kesehatan, dokter, peneliti, organisasi penyandang kusta, disabilitas, dan masyarakat sipil)

Penyakit lama

Kusta atau dikenal sebagai Hansen’s disease adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae). Bakteri ini ditemukan pertama kali oleh dokter Norwegia Gerhard Armauer Hansen pada 1874.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan kusta sebagai satu dari 20 penyakit tropis yang terlupakan (neglected tropical disease) dan ditarget bisa dihapus pada 2030. Penyakit ini banyak ditemukan di negara-negara atau daerah-daerah miskin dengan sanitasi buruk, akses air bersih kurang, dan sistem layanan kesehatan lemah.

Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi, permukaan mukosa saluran pernafasan bagian atas, dan mata.

Kusta ditularkan melalui cipratan atau percikan air liur yang keluar dari hidung atau mulut ketika batuk, bersin, atau berbicara, selama kontak erat dengan penderita yang tidak diobati.

Kusta dapat disembuhkan dan pengobatan pada tahap awal dapat mencegah kecacatan.

Indonesia telah berupaya untuk menghapus kusta tapi kerap kali tidak mencapai target. Dalam dokumen kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kesehatan 2020-2024, pemerintah memasukkan penghapusan kusta di tingkat kabupaten sebagai salah satu indikator penanganan penyakit tropis terabaikan.

Penanggulangan kusta juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2019. Masalahnya adalah masih ada enam provinsi yang memiliki kasus kusta. Ada juga sebanyak 98 kabupaten dan kota yang belum mencapai penghapusan kusta.

Kementerian Kesehatan Indonesia menargetkan penghapusan kusta tahun depan.

Dari stigma hingga resistensi obat

Dari riset itu, yang berlangsung dari September 2022 hingga Januari 2023 dengan 78 partisipan dari pembuat kebijakan nasional hingga organisasi yang mengadvokasi kusta, ada sejumlah temuan di berbagai level dalam menghapus kusta di Indonesia.

Pertama, stigma kusta. Stigma diri oleh pasien kusta atau orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), stigma masyakarakat, dan stigma oleh tenaga kesehatan masih kuat.

Misalnya, stigma status predikat penyandang kusta tetap melekat pada pasien bisa mencapai seumur hidup, sekalipun si pasien telah menyelesaikan rangkaian pengobatannya, dinyatakan sembuh, dan tidak menular.

Kedua, akses pelayanan sebagian besar wilayah endemis kusta di Indonesia berada di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan dengan kendala geografis yang tinggi dan tantangan cuaca.

Papua Barat menjadi provinsi dengan prevalensi kusta tertinggi di Indonesia, yakni 9,89 per 10.000 penduduk. Posisinya diikuti oleh Maluku Utara (5,32 per 10.000 penduduk).

Ketiga, tata laksana dan pencegahan belum optimal karena tiga keterlambatan: (1) terlambat datang ke layanan kesehatan karena stigma dan masalah akses pelayanan, (2) terlambat didiagnosis karena faktor tenaga kesehatan, dan (3) terlambat diobati karena ketersediaan obat, faktor tenaga kesehatan, serta jaminan kesehatan untuk penanganan komplikasi dan rehabilitasi yang tidak memadai.

Keempat, integrasi lintas program untuk pencegahan dan penanggulangan kusta perlu banyak melibatkan lintas program misal promosi kesehatan, kesehatan sekolah, kesehatan lingkungan, dan farmasi yang belum optimal.

Kelima, kerja sama lintas sektor dan swasta dalam penghapusan kusta dan penghilangan stigma masih rendah. Belum terbentuk mekanisme koordinasi lintas sektor dan swasta yang efektif.

Keenam partisipasi masyarakat dalam penemuan kasus dan pengurangan stigma masih rendah.

Ketujuh, kebijakan dan manajemen program pendanaan pusat dan daerah untuk pencegahan dan penanggulangan kusta masih rendah atau bahkan tidak ada.

Ada kesenjangan anggaran yang besar antara pemerintah pusat dan daerah. Total kebutuhan anggaran untuk program kusta di Indonesia periode 2023-2027 diperkirakan sekitar Rp32 triliun.

Pada 2023, rencana kontribusi pemerintah pusat hanya sekitar 58%. Sedangkan kontribusi pemerintah daerah diperkirakan cuma 21%. Harapannya, pada akhir 2027 porsi pendanaan dari pemerintah daerah akan naik menjadi 33% dan pendanaan dari pemerintah pusat turun jadi 34%.

Potensi sumber pendanaan lain yang diharapkan dapat mendukung pencapaian program adalah dana hibah, bantuan luar negeri, swasta, dan lembaga filantropi. Dana dari luar pemerintah diperkirakan sekitar 12% dari total anggaran kusta Indonesia pada 2023, kemudian naik menjadi sekitar 13% pada 2025, dan 15% pada 2030.

Kurangnya pemahaman dan komitmen terhadap kusta juga menimbulkan kesalahpahaman。Misalnya, ada daerah yang telah mencapai penghapusan kusta merasa telah terbebas dari kusta dan tidak membutuhkan alokasi sumber daya untuk penghapusan kusta.

Kedelapan surveilans kusta yang sering terlambat sehingga menghambat kegiatan perencanaan yang berbasis data seperti pengadaan obat.

Kesembilan, belum banyak riset terkait pelaksanaan tindakan yang efektif untuk meningkatkan kepatuhan berobat, meredam stigma, disabilitas dan gangguan kesehatan mental akibat kusta serta resistensi obat.

Strategi percepatan penghapusan kusta

Untuk mempercepat penghapusan kusta, setidaknya ada empat strategi yang bisa Indonesia lakukan.

Pertama, menggerakkan masyarakat dengan memanfaatkan berbagai sumber daya masyarakat. Strategi ini menekankan peran pasien, keluarga, dan masyarakat sebagai fokus utama program pencegahan dan penanggulangan kusta. Indikator dampak yang akan dicapai oleh program pencegahan dan penanggulangan kusta juga perlu mengacu pada peran-peran tersebut.

Kedua, meningkatkan kapasitas sistem pelayanan kesehatan dalam mencegah, menemukan sejak dini, mendiagnosis dan penatalaksanaan kusta secara komprehensif dan berkualitas.

Strategi ini untuk menghasilkan pelayanan kesehatan yang komprehensif untuk kusta mulai pencegahan sampai rehabilitasi.

Ketiga, meningkatkan integrasi dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan dan fasilitas kesehatan, baik pemerintah maupun swasta. Strategi ini harus berjalan mulai tingkat nasional hingga tingkat desa.

Integrasi dapat dilakukan melalui integrasi pesan-pesan edukasi ke masyarakat, integrasi dengan program lainnya, dan integrasi dalam monitoring data.

Keempat, memperkuat komitmen, kebijakan, dan manajemen program dalam penanggulangan kusta. Strategi ini merupakan strategi pendukung yang dilakukan pada tingkat nasional hingga desa untuk meningkatkan sumber daya dan kapasitas dalam melaksanakan ketiga strategi sebelumnya. Strategi ini meliputi tata kelola dan kepemimpinan, manajemen program serta perbaikan berkelanjutan.

Implementasi dari strategis di atas juga perlu mengutamakan perlindungan kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Tanpa implementasi keempat strategi secara maksimal, program penghapusan kusta yang ditargetkan tahun 2024 oleh pemerintah Indonesia dan WHO pada 2030 sulit dicapai.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now