Menu Close

“Politik bisnis” dalam pilkada menyulut risiko perusakan lingkungan hidup

Pengendara melintas di depan mural bertema Pilkada serentak 2020.
Mayoritas paslon pilkada 2020 adalah pengusaha, menurunkan harapan akan perbaikan tata kelola lingkungan di daerah. ANTARA FOTO/Umarul Faruq

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 9 Desember 2020 tidak memperlihatkan adanya prospek perbaikan bagi kebijakan dan tata kelola lingkungan hidup di Indonesia.

Pasalnya, hampir setengah (45%) dari keseluruhan pasangan calon (paslon), atau sekitar 640 pasangan, adalah pengusaha yang mayoritas berasal dari industri konstruksi dan tambang.

Tahun ini, ada sembilan pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, serta 37 pemilihan walikota.

Berdasarkan pengamatan kami, hanya dua pasangan calon (paslon) kepala daerah yang secara terbuka menyatakan diri sebagai pro-lingkungan.

Paslon bupati dan wakil bupati Siak, Provinsi Riau, Alfedri dan Husni Merza menandatangani piagam komitmen untuk perbaikan dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup.

Sementara, Berry Nahdian Forqan dan Pahrijani sebagai paslon bupati dan wakil bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, merupakan aktivis lingkungan yang bergiat dalam perlindungan kawasan Pegunungan Meratus.

Selebihnya adalah para pengusaha yang akan beradu modal dalam berebut kuasa pengelolaan bisnis sumber daya alam.

Pilkada bukan lagi “bisnis politik” di mana pengusaha menanamkan investasi berupa pembiayaan kegiatan kampanye kandidat, melainkan “politik bisnis” di mana para pengusaha merebut kursi pimpinan daerah agar memperkuat jejaring bisnis mereka.

Dengan demikian, harapan untuk transformasi kebijakan lingkungan di tangan para kandidat kepala daerah menjadi semu.

Cari modal, balik modal

Peneliti politik Edward Aspinall dan Ward Berenschot telah menuliskan mahalnya biaya pilkada dalam buku mereka Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia, terbit tahun 2019.

Para peneliti ini mencontohkan situasi di Kalimantan Tengah di mana kandidat bupati harus menyetorkan Rp7 miliar kepada partai politik untuk menjamin nominasi mereka sebelum kampanye.

Para kandidat juga harus menanggung biaya operasional kampanye, termasuk memberi honor tim sukses, membeli barang bantuan serta uang untuk membeli suara.

Untuk daerah yang berpenduduk sedikit, seperti Nusa Tenggara Timur, Aspinall dan Berenschot menghitung kasar rerata biaya total maju ke pemilihan bupati mencapai Rp10 miliar.

Sementara, untuk daerah yang lebih kaya, seperti Kalimantan Timur, angka ini bisa mencapai Rp40 miliar.

Marcus Mietzner, profesor ilmu politik dari Australian National University, mengungkapkan bahwa pilkada secara langsung memerlukan biaya besar, mulai dari survei popularitas kandidat hingga dana untuk menggerakkan mesin jejaring organisasi partai demi mendapatkan dukungan.

Sementara, sumber keuangan partai politik (parpol) yang sah sangat minim dan bantuan resmi dari anggaran negara terbatas.

Sebagai gambaran, pada bulan Mei dan Juli 2020, Kementerian Dalam Negeri “hanya” mengeluarkan Rp126,3 miliar sebagai dana bantuan keuangan dari negara bagi sembilan partai politik yang lolos ke DPR RI tahun 2019.

Dana dari negara yang terbatas dan asingnya budaya donasi publik terhadap partai politik atau kandidat membuat parpol dan kandidat mereka beralih kepada para “cukong” (pengusaha).

Pilkada dan kebakaran hutan

Dalam riset 2019, tentang hubungan antara pilkada dengan kebakaran hutan, para peneliti mengamati titik api dari citra satelit untuk kejadian kebakaran hutan dalam kurun waktu 17 tahun (2001-2017) di Sumatra dan Kalimantan.

Mereka menemukan, pada 2004, 2009 dan 2014, tepat setahun sebelum pelaksanaan pilkada langsung (2005, 2010 dan 2015), jumlah titik api mencapai 20.000-30.000 titik.

Jumlah titik api tertinggi terjadi tahun 2015, yaitu hampir 50.000 titik api.

Pada tahun yang sama, Indonesia melaksanakan pilkada langsung serentak di delapan provinsi, 170 kabupaten, dan 26 kota, mayoritas di Pulau Sumatra dan Kalimantan.

Kedua pulau ini menjadi “langganan” kebakaran hutan hampir setiap tahun.

Temuan tersebut memperkuat hasil riset tahun 2012 yang dilakukan sekelompok ahli multi-disiplin dari London School of Economics, Massachusetts Institute of Technology, University of Maryland, dan World Bank terkait dengan jumlah izin pembukaan lahan yang meningkat drastis sebelum pelaksanaan pilkada.

Setahun sebelum Pilkada adalah saat kritis bagi kandidat membutuhkan modal dan krusial bagi transaksi antara elit pengusaha dengan kandidat (biasanya petahana).

Bisnis seperti biasa

Absennya agenda perlindungan lingkungan hidup dalam visi misi para kandidat Pilkada 2020 sudah bisa memperlihatkan motivasi bisnis semata-mata.

Sebagai contoh, di Kalimantan Tengah, dua paslon gubernur dan wakil gubernur mendukung program food estate, yang menurut para aktivis lingkungan akan memperparah kondisi lahan gambut di Indonesia.

Di Jawa Tengah, ada kandidat calon bupati - calon wakil bupati yang memprioritaskan investasi dalam sektor industri sebagai lokomotif ekonomi lokal, namun tidak eksplisit menyatakan agenda konkret penanganan dampak (mitigasi) terhadap lingkungan.

Ada pula daerah dengan rekam jejak konflik sumber daya alam antara perusahaan tambang dan kelompok petani, tetapi para kandidat kepala daerah tersebut belum menunjukkan visi dan keberpihakan pada pelestarian lingkungan secara tegas.

Alih-alih menghadirkan optimisme, terutama dengan kondisi wabah dan terbitnya UU Cipta Kerja 2020, Pilkada 2020 hanya mengulang keraguan sama dari pemilu ke pemilu.

Meski ada penegasan tentang pengarusutamaan Tujuan Pembangunan Global (Sustainable Development Goals) oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebagai upaya untuk memastikan keberlanjutan lingkungan hidup ke dalam kebijakan negara, nampaknya ini masih menjadi tantangan berat dalam implementasi di daerah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,000 academics and researchers from 4,949 institutions.

Register now