Menu Close
Mahkamah Konstitusi. Aditya Pradana Putra/Antara Foto

Politik itu penuh negosiasi, tetapi etika dan legitimasi harga mati

Selama perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, kita semua sering mendengar penyebutan istilah ‘etika’. Penyebutan ini berangkat dari dugaan-dugaan kuat bahwa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengintervensi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilu demi meloloskan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres dari capres Prabowo Subianto.

MK disebut-sebut telah melanggar kode etik, sehingga banyak pula masyarakat yang meragukan legitimasi hasil Pemilu ini.

Sebagai akademisi bidang hukum, saya bermaksud memberikan penjelasan normatif mengenai etika dan mengapa hal ini menjadi sangat penting untuk diperjuangkan saat ini.

Saya memulai tulisan singkat ini dengan adagium ‘non omne quod licet honestum est’ yang artinya, ‘not all that is permitted, is honorable’. Dalam Bahasa Indonesia, ini berarti ‘tidak semua yang diperbolehkan itu terhormat’. Adagium ini memiliki makna bahwa tuntutan etika atau moralitas berada di atas hukum.

Apa itu etika?

Menurut K. Bertens, filsuf dan tokoh etika Indonesia, etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam berfikir, bersikap, dan mengatur tingkah lakunya. Nilai dan norma tersebut biasanya identik dengan akhlak dan moral.

Pada konteks politik, etika menjadi pegangan nilai dan norma bagi penyelenggara negara dalam membuat kebijakan serta keputusan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) serta nilai-nilai demokrasi.

Seberapa jauh etika menjadi hal yang penting dalam berpolitik bergantung pada ‘legitimasi’ proses politiknya.

Apa itu legitimasi?

Legitimasi adalah bentuk pengakuan dan penerimaan publik terhadap kebijakan, regulasi, dan keputusan yang dibuat oleh penyelenggara negara melalui koridor hukum (legitimate).

Ada pula istilah legalitas, yaitu keabsahan dalam penyelenggaraan negara. Artinya, tindakan pemerintah dan penegakan hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (legal).

Legalitas dan legitimasi adalah fondasi untuk menciptakan dan memelihara rule of law (negara yang berlandaskan hukum) di suatu negara. Dengan kata lain, kedua unsur ini yang menjaga marwah negara hukum.

Pada konteks negara hukum, legalitas menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan penyelenggaraan negara dan penegakan hukum secara memaksa (force), sementara legitimasi adalah pengakuan dan penerimaan publik terhadap kebijakan, regulasi, dan keputusan pemerintah yang muncul dengan kesadaran sendiri (voluntary).

Secara umum, hal-hal yang diakui dan diterima (legitimate) sudah pasti sah atau legal. Namun, ada kalanya hal-hal yang dipandang legal belum tentu diakui dan diterima (legitimate).

Ada tiga dasar legitimasi. Pertama, rational bureaucratic authority yang artinya kebijakan, regulasi, dan keputusan harus dibuat melalui prosedur yang sesuai pada peraturan hukum yang berlaku. Proses yang beretika menjadi salah satu bagian dari peraturan tersebut.

Jika dikaitkan dengan kontestasi politik, maka teori ini mengisyaratkan agar segala keputusan yang dibuat dalam rangka pemilu harus dihasilkan dari proses yang sesuai dengan etika serta peraturan hukum yang berlaku.

Contohnya adalah Putusan MK terkait batas usia capres dan cawapres yang dibuat dalam sebuah proses yang melanggar etika karena Ketua Hakim pada saat itu, Anwar Usman, adalah paman dari Gibran. Dalam hal ini, Gibran adalah pihak yang diuntungkan oleh Putusan tersebut. Pelanggaran etika ini telah dibuktikan dalam keputusan Majelis Kehormatan MK pada 7 November 2023.

Kedua adalah charismatic authority, yang merujuk pada personalitas penyelenggara negara yang harus menjunjung tinggi etika politik dalam mengambil keputusan dan dalam bertindak.

Contoh untuk konteks pemilu adalah penyelenggara negara harus bersikap etis dan tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. Hal ini kerap dipermasalahkan, salah satunya ketika pembagian bansos di tengah musim kampanye dinilai bermuatan politis.

Ketiga, traditional authority, yang berarti bahwa pelaksanaan penyelenggaraan negara harus mencerminkan nilai serta norma yang hidup dalam masyarakat (socially accepted norms).

Jika dikaitkan dengan pemilu, maka teori ini mengharuskan agar proses penyelenggaraanya tidak bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, termasuk keadilan.

Demonstrasi yang akhir-akhir ini kerap dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk memprotes soal adanya dugaan kecurangan dalam proses Pemilu 2024 dan menyuarakan Pemilu yang jujur dan adil, adalah tanda bahwa masyarakat saat ini memandang penyelenggaraan negara tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat.

Seberapa penting etika dalam berpolitik?

Berdasarkan penjelasan di atas, etika adalah bagian dari setiap ukuran dasar legitimasi. Dengan demikian, etika menjadi hal penting dalam berpolitik karena dari situlah bentuk pengakuan serta penerimaan publik terhadap penyelenggaraan negara akan tumbuh.

Sebaliknya, jika etika tidak dijaga dengan baik dalam proses penyelenggaraan negara termasuk pemilu, maka legitimasi penyelenggaraan tersebut tidak akan tumbuh sebagaimana idealnya. Sebaliknya, malah akan cenderung menimbulkan perasaan ketidakadilan.

Jika etika tidak terjaga dan legitimasi dalam penyelenggaraan negara tidak terwujud, maka dampaknya akan ada terhadap komitmen untuk menjaga rule of law (prinsip negara hukum).

Prinsip negara hukum pada dasarnya melambangkan penyelenggaraan negara yang bebas dari tindakan sewenang-wenang, dan merupakan syarat penting untuk menjamin perlindungan HAM, khususnya hak demokratis setiap warga negara untuk memilih dan mendapatkan pemimpin melalui jalur yang adil.

Politik itu penuh negosiasi, namun etika merupakan elemen penting dalam berpolitik yang tidak bisa dikesampingkan, mengingat kaitan eratnya dengan legitimasi dan prinsip negara hukum.

Jika etika berpolitik tidak dapat dijaga hanya demi mencapai kekuasaan, ini akan menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan demokrasi ke depannya.

Proses penyelenggaraan Pemilu kemarin sudah penuh kontroversi yang mengarah pada dikesampingkannya etika dan menyebabkan keraguan akan legitimasinya. Kini saatnya kita menjaga agar tidak terjadi pelanggaran etika lebih jauh atau kecurangan terhadap hasil pemilihannya.

Publik memegang peran penting untuk memastikan bahwa politik di negara kita dapat membuka lembaran baru yang bersih dari coretan etika.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now