Menu Close

Riset di Bandung dan Padang: mayoritas korban kekerasan seksual berusia 10-19 tahun, pelaku kenal korban, dan lambat dilaporkan

Kampanye hentikan pelecehan seksual di Stasiun Manggarai, Jakarta, 22 Desember 2022, saat memperingati Hari Ibu. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/foc

Kasus kekerasan seksual makin sering diberitakan oleh media massa. Makin banyak korban berani bersuara dan menuntut keadilan.

Di media massa, tindakan pidana itu kerap ditulis dalam banyak istilah seperti pencabulan, pelecehan, sodomi, pemerkosaan, dan berbagai istilah lain yang mengindikasikan ada pemaksaan, ancaman, intimidasi, dan relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban dalam konteks hubungan seksual.

Pertanyaannya: bagaimana sebenarnya karakteristik kasus kekerasan seksual, termasuk korban, pelaku, dan waktu, dari sudut pandang medis? Dan bagaimana pula reaksi korban dan keluarganya terhadap masalah serius ini?

Riset saya – berdasarkan data 150 rekam medis korban kekerasan seksual yang diperiksa di Rumah Sakit Umum Pendidikan (RSUP) Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat dan RSUP Djamil Padang, Sumatera Barat – menunjukkan bahwa mayoritas korban berusia 10-19 tahun, pelaku orang dekat yang dikenal oleh korban, waktu kejadian siang hari, dan kasusnya kerap kali terlambat dilaporkan ke penegak hukum dan petugas kesehatan.

Data riset ini saya ambil dari rekam medis kasus korban kekerasan seksual selama periode 2014-2018 yang berkunjung ke rumah sakit tersebut untuk mendapatkan layanan medikolegal, yakni layanan terkait kasus hukum yang memerlukan evaluasi medis independen dan kesaksian ahli.

Mengetahui karakteristik kasus kekerasan seksual yang diperiksa di rumah sakit akan membantu kita untuk penegakan hukum, pemulihan korban, dan pencegahan kejahatan serupa terulang ke depan.

Karakter kasus kekerasan seksual

Riset ini menunjukkan lebih dari 80% korban kekerasan seksual merupakan perempuan, belum menikah, dan didominasi oleh kelompok anak-anak dan remaja dengan kelompok usia terbanyak 10-19 tahun di RSUP Djamil Padang.

Lebih mengejutkan, korban kekerasan seksual yang diperiksa di RSUP Hasan Sadikin Bandung berusia lebih muda, yakni pada kelompok usia 0-9 tahun.

Hal ini menunjukkan bahwa anak berpotensi lebih besar menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan usia dewasa. Di samping lebih rendahnya pengetahuan tentang kekerasan seksual pada anak, persepsi ini dikaitkan dengan kerentanan mental anak yang lebih mudah diberikan ancaman, paksaan maupun bujuk rayu.

Anak-anak sering kali tidak memiliki keberanian untuk menolak, apalagi jika pelaku merupakan orang yang ia kenal.

Masyarakat perlu menyadari bahwa sebagian besar pelaku kekerasan seksual bukan hanya sekadar orang yang dikenal namun juga dipercaya oleh korban, misalnya pacar, tetangga, guru bahkan ayah kandung sendiri.


Read more: Derita anak pekerja migran: ditinggalkan orang tua, menjadi korban kekerasan seksual


Jika diamati menurut waktu kejadian, kekerasan seksual dapat terjadi kapan saja, bahkan sebagian besar korban-korban kekerasan seksual di kedua rumah sakit utama ini, mengalami peristiwa kekerasan seksual pada siang hari.

Data riset menunjukkan kasus kekerasan seksual lebih banyak terjadi pada siang hari (51%) dibanding malam hari (38%). Temuan ini berbeda dengan data kekerasan seksual di Jerman yang menyatakan 60% kekerasan seksual terjadi pada malam hari.

Tempat-tempat privat seperti rumah, kos, atau hotel lebih sering dijadikan tempat beraksi bagi pelaku dibandingkan tempat-tempat umum.

Temuan lainnya adalah sebagian besar korban kekerasan seksual baru datang memeriksakan diri dalam rentang lebih dari 24 jam hingga 1 minggu setelah peristiwa kekerasan seksual. Kondisi ini mungkin dapat mewakili kondisi di rumah sakit lainnya di Indonesia yakni korban cenderung tidak segera melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.

Tanpa disadari, keterlambatan pemeriksaan ini mengakibatkan hilangnya peluang untuk mendapatkan bukti kekerasan seksual secara medis. Hal ini berujung pada lemahnya penuntutan terhadap pelaku di ranah pidana.

Tidak dapat dimungkiri bahwa faktor budaya masyarakat Indonesia menjadi penyebab utama keterlambatan ini. Adanya stigma negatif, terbukanya aib, rasa malu, dan takut dikucilkan, sering kali menjadi alasan bagi para korban dan keluarganya mengurungkan niatnya melaporkan kekerasan seksual yang dialami.

Kita harus merangkul korban kekerasan seksual agar mereka kuat menghadapi masalah ini dan kita bantu mencari keadilan melalui pelaporan ke polisi dan pemeriksaan medis untuk bukti di pengadilan.

Perlu penanganan yang tepat dan cepat

Peristiwa kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak psikologis terutama pada korban anak. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus bagi pihak berkepentingan.

Gangguan stres, depresi, dan kecemasan pascatrauma yang dialami korban, dapat berujung pada ide bunuh diri atau bahkan korban dapat menjadi pelaku kriminal di kemudian hari.

Mengingat dampak yang cukup besar tersebut, penanganan korban kekerasan seksual harus dilakukan secara multidisiplin (kolaborasi dokter forensik, psikolog, hukum), sehingga kebutuhan korban dapat terpenuhi secara holistik dan terintegrasi, baik kebutuhan medis, psiko-sosial dan medikolegal.

Tidak hanya mengutamakan kompetensi pemeriksaan medis, namun juga mengutamakan pengumpulan dan menjaga keutuhan barang bukti.


Read more: Pakar Menjawab: kenapa banyak korban kekerasan seksual malah minta maaf atau menarik laporannya?


Penanganan korban kekerasan seksual yang tepat, cepat dan terarah akan sangat membantu dalam memahami bagaimana terjadinya luka dan apakah luka tersebut sesuai dengan riwayat kronologis yang disampaikan korban.

Secara hukum, penyelesaian kasus kekerasan seksual di Indonesia telah diatur dalam KUHP, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,, UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Kementerian Kesehatan Indonesia telah membuat panduan tata laksana korban kekerasan seksual bagi pelayanan Kesehatan.

Selain itu, kita perlu meningkatkan peran Pusat pelayanan Terpadu (PPT) atau Pusat Krisis Terpadu (PKT) di level provinsi dan kabupaten dan kota sebagai unit khusus pelayanan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual.

Konsep pelayanan terpadu ini mengutamakan layanan 24 jam yang multidisiplin (kerja tim) dan komprehensif dengan memperhatikan kebutuhan korban. Jenis pelayanan mencakup pemeriksaan fisik, penanganan luka-luka fisik, penanganan gangguan psikologis akut, penanganan untuk pencegahan penyakit menular seksual dan HIV, pelayanan kesehatan reproduksi, pelayanan medikolegal, konseling psikososial (untuk semua tipe rumah sakit), dan konseling hukum (terutama untuk rumah sakit tipe A yang memiliki jangkauan pelayanan lebih luas).

Tantangan

Salah satu kendala saat ini adalah baru beberapa rumah sakit di Indonesia yang pembiayaan layanan korban kekerasan seksual dijamin oleh pemerintah daerah (digratiskan), sementara masih ada yang dibebankan kepada pihak korban. Pemeriksaan untuk forensik biasanya ditanggung oleh kepolisian.

Selain itu, kasus yang dapat ditangani dengan baik hanya pada kasus yang dilaporkan ke polisi. Sementara masih banyak kasus kekerasan seksual di masyarakat yang belum terjaring, baik karena ketidaktahuan ataupun menutupi aib.

Kita berharap UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat meningkatkan efektivitas penanggulangan kekerasan seksual. Di level pendidikan tinggi, Peraturan Menteri Pendidikan No. 30 Tahun 2021 mewajibkan setiap perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus.


Read more: Permendikbudristek PPKS: apa manfaatnya bagi pemberantasan kekerasan seksual di kampus?


Edukasi kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan seksual pada anak di rumah maupun sekolah, membiasakan anak menceritakan aktivitasnya kepada orang tua, pengawasan dan kontrol lingkungan sosial anak, menjadi beberapa upaya preventif terjadinya kekerasan seksual.

Kita perlu meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat baik secara langsung ataupun melalui media sosial tentang kekerasan seksual agar lebih banyak pihak yang berani melapor (speak up) akan kekerasan seksual yang diketahuinya.

Media skrining berupa motode atau aplikasi ramah anak perlu kita kembangkan untuk digunakan di sekolah-sekolah, sebagai bentuk deteksi dini bagi pihak sekolah dalam mengenali anak-anak yang berisiko menjadi korban kekerasan seksual. Media ini diharapkan dapat dipakai secara rutin di sekolah, untuk memandu guru mengenali anak-anak yang berisiko mengalami kekerasan seksual.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now