Menu Close

Riset: di Papua, tahun pemilu selalu disertai dengan meningkatnya kekerasan

Deklarasi pemilu damai di Papua Barat Daya. Olha Mulalinda/Antara Foto

Pada tahun 2024, Indonesia akan mengadakan dua pesta pemilihan besar.

Pertama adalah Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan mencakup pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sekaligus pemilihan legislatif DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota serta DPD, semuanya akan diselenggarakan dalam satu waktu yang sama pada 14 Februari. Kedua adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memilih Gubernur dan Bupati/Walikota, yang akan dilaksanakan pada bulan November.

Sayangnya, Indonesia masih memiliki banyak catatan hitam terkait penyelenggaraan pemilu. Terakhir, Pemilu 2019 banyak memakan korban jiwa, terutama dari anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), yang meninggal karena kelelahan. Belum lagi terjadinya polarisasi di level akar rumput hingga kerusuhan massa yang memprotes hasil Pilpres.

Di tanah Papua secara khusus, siklus pemilu cenderung menghasilkan ekses negatif berupa peminggiran kemanusiaan, seperti lumpuhnya pelayanan publik (sekolah, fasilitas kesehatan), banyaknya pengungsi domestik, dan kelaparan.

Berdasarkan data yang kami himpun di Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, sejak Januari 2010 hingga 31 Oktober 2023, tercatat ada 505 konflik yang disertai dengan kekerasan di Papua.

Patut menjadi perhatian bahwa Pemilu 2024, dengan segala kecenderungannya untuk memecah-belah masyarakat di level akar rumput, dapat menjadi ancaman besar sekaligus pintu masuk bagi eskalasi siklus konflik yang disertai kekerasan di Papua.

Catatan berdarah pemilu di Papua

Sejak menjadi bagian dari negara Indonesia pada tahun 1969, Papua kerap merekam sejarah panjang atas siklus konflik dan kekerasan yang tidak selesai hingga sekarang.

Khusus terkait tahun politik, temuan kami menunjukkan bahwa rangkaian pemilu lima tahunan selalu disertai dengan kenaikan angka konflik dan kekerasan di Papua.

Lonjakan angka konflik terbesar selalu terjadi pada satu tahun sebelum pemilu. Sebab, meskipun secara resmi kampanye pemilu baru dimulai beberapa bulan sebelum hari pencoblosan, agenda kampanye politik sebenarnya sudah dimulai sejak satu tahun sebelumnya.

Pada 2013 atau setahun menjelang Pemilu 2014, contohnya, angka konflik meningkat hingga 70%. Pada 2018, jelang Pemilu 2019, kenaikannya mencapai 21%, dan 2023 (data per 31 Oktober) kenaikannya sebesar 52%.

Grafik Jumlah Kasus Konflik yang disertai kekerasan di Papua tahun 2010-2023* Database tindak kekerasan Gugus Tugas Papua UGM

Berdasarkan observasi kami, dinamika politik yang terjadi setahun sebelum pemilu itulah yang paling rawan menyebabkan polarisasi, perpecahan, dan potensi konflik masyarakat di akar rumput. Ini berlaku untuk daerah manapun, tak terkecuali Papua.

Dalam hampir setiap rangkaian pemilu dan pilkada di Papua, selalu ada konflik pada setiap tahapannya.

Contoh nyatanya adalah pada tahapan pendaftaran calon Pilkada Kabupaten Puncak tahun 2011. Partai Gerindra sebagai partai pengusung memberikan rekomendasi ganda pada kedua calon Bupati Kabupaten Puncak. Ini menyulut perang antarpendukung yang kemudian bereskalasi menjadi perang saudara yang tidak dapat terhindarkan. Akibat konflik ini, 51 warga sipil meninggal dunia.

Contoh konflik dalam tahapan kampanye adalah pada Pilkada Kabupaten Tolikara tahun 2012. Perseteruan berawal dari konvoi massa pendukung kandidat Bupati Husman Wanimbo yang berpapasan dengan massa pendukung rivalnya, John Tabo. Mereka saling ejek, lempar batu, dan berakhir konflik saling panah, mengakibatkan satu orang tewas dan satu lainnya luka.

Ada pula konflik yang terjadi saat masa tenang, contohnya pada Pilkada Kabupaten Puncak Jaya tahun 2017. Acara bakar batu oleh massa kandidat Bupati Yustus Wonda bersama kandidat Henok Ibu yang seharusnya berjalan dengan damai malah berakhir dengan konflik karena massa kandidat nomor tiga, Yuni Wonda, mengira ada aksi pembakaran posko. Aksi tersebut diakhiri dengan kekerasan yang menyebabkan satu orang tewas dan 12 lainnya luka-luka.

Tahapan pemungutan dan perhitungan suara pun rawan terjadi konflik. Dalam Pilkada Kabupaten Puncak Jaya tahun 2012, terjadi insiden baku tembak antara aparat keamanan dengan kelompok bersenjata (KB) ketika pemungutan suara sedang dilaksanakan. KB mengeluarkan tembakan yang langsung dibalas oleh anggota TNI. Walaupun tidak ada korban jiwa, aksi ini menunjukkan intensi KB untuk mengganggu jalannya pemilu.

Dinamika konflik di Papua yang mengiringi tahapan Pemilu 2024 sudah mulai terlihat sejak tahun ini, bahkan tingkat kekerasannya berpotensi lebih parah dan tersegmentasi dengan menyasar kantor-kantor pemerintah.

Agustus lalu, kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Yakuhimo, dan tiga kantor perangkat daerah lain dibakar oleh KB. Ini mengindikasikan pesan bagi pemerintah akan bagaimana pelaksanaan Pemilu 2024 di Papua nanti.

Tindakan kekerasan juga terjadi di beberapa tempat lain, seperti pembakaran Kantor Distrik dan SMP Kramomongga, dan pembakaran Kantor Distrik Fakfak Tengah yang diikuti dengan penganiayaan terhadap Kepala Distrik Kramomongga hingga tewas.

Motif kekerasan

Dari 505 data konflik yang kami himpun tersebut, kami mengidentifikasi setidaknya ada lima motif yang memicu terjadinya kekerasan, yakni sosio-kultural, politik lokal, ekonomi, separatisme, dan motif lain yang tidak teridentifikasi.

Dari seluruh motif tersebut, separatisme menjadi penyumbang terbesar dengan persentase sebesar 68,71%, diikuti motif sosio-kultural sebesar 18,42%.

Masih berdasarkan data yang kami himpun, dari 105 total jumlah kekerasan yang terjadi di Papua selama Januari hingga Oktober 2023, 60 di antaranya bermotif separatisme.

Terbaru, Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang sempat berkantor di Papua pada 9-13 Oktober tidak dapat mengurangi laju konflik disertai kekerasan di Papua. KB semakin berani melakukan tindak kekerasan seperti penyerangan terhadap pekerja puskesmas di Papua Tengah, dan pemerkosaan terhadap dua perempuan di Kabupaten Yahukimo. Konflik berakhir dengan satu korban meninggal dunia.

Eskalasi tindak kekerasan yang terjadi di Papua tentu akan mengganggu—-bukan hanya persiapan menjelang Pemilu 2024, tetapi juga stabilitas sosial dan politik masyarakat Papua.

Rekomendasi: desentralisasi yang lebih radikal

Negara perlu merespons eskalasi intensitas tindak kekerasan yang terjadi di Papua menjelang Pemilu 2024, agar catatan kelam dan berdarah tersebut tidak terus berulang.

Besar kemungkinan polarisasi politik dan konflik horizontal antarelemen masyarakat akar rumput akan terulang kembali di Papua selama tahun politik. Pasalnya, mekanisme dan sistem pemilu di Papua secara umum masih sama–mengikuti pemerintah pusat—-terlepas dari status “otonomi khusus” Papua yang seharusnya bisa membuka ruang-ruang kekhususan untuk mengatur pemilu.

Sistem noken sebagai bentuk kekhususan pemilu di Papua yang sudah diterapkan sejak 2004 di beberapa daerah pedalaman pun tampaknya belum efektif meredam konflik kekerasan. Masih banyak tindak kekerasan terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang justru menerapkan sistem noken, seperti di Kabupaten Yahukimo, Puncak Papua, dan Nduga.

Kebijakan otonomi khusus yang selama ini didominasi oleh transfer dana segar dari pusat, juga tampak belum cukup efektif untuk meredam potensi konflik.

Negara perlu mengupayakan pendekatan yang lebih “radikal” terhadap kebijakan desentralisasi, khususnya terkait pemilu agar dapat meredam eskalasi tindak kekerasan di Papua.

Mungkin inilah saat yang tepat bagi negara untuk memberikan otonomi yang benar-benar khusus pada Papua, dengan membentuk partai lokal dan mengatur mekanisme pemilu yang mengikuti karakteristik budaya pada tiap-tiap suku/adat masyarakat Papua. Pendekatan semacam itu sudah pernah dilakukan negara ke Aceh dan cukup berhasil dalam meredakan konflik separatisme di sana.

Untuk semua elit yang berkepentingan pada Pemilu 2024, mari belajar dari pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya dengan berhenti menyebar ujaran kebencian, disinformasi, dan hal-hal lain yang berpotensi dapat memicu konflik antarmasyarakat akar rumput. Papua dan Indonesia membutuhkan demokrasi yang sehat, tanpa kekerasan, dan tanpa darah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now