Menu Close
Vaksinator menyuntikkan vaksin COVID-19 penguat (booster) kedua atau dosis keempat kepada seorang warga di Puskesmas Sukagalih, Bandung, Jawa Barat, 25 Januari 2023. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom

Riset eksperimen di Jawa Barat: duta vaksin lokal bisa turunkan keraguan vaksin COVID

Keyakinan terhadap vaksin menurun dalam beberapa tahun terakhir, bahkan ketika vaksin disebut sebagai teknologi terpenting untuk pengendalian pandemi COVID-19.

Pada Juni 2022 - ketika studi kami lakukan- hanya 61 negara yang memenuhi target WHO untuk tingkat vaksinasi penuh 70%.

Stagnasi ini sebagian disebabkan oleh misinformasi tentang manfaat vaksinasi – yang merajalela selama pandemi COVID-19.

Hal ini mengkhawatirkan, terutama bagi mereka yang masih ragu-ragu untuk melakukan vaksinasi. Kecenderungan virus untuk bermutasi mengindikasikan infeksi COVID-19 akan tetap membawa risiko kematian yang signifikan.

Salah satu masalahnya adalah strategi untuk meningkatkan penerimaan vaksin tetap terfokus pada strategi persuasif melalui media massa yang sifat penyampaian pesannya satu arah. Strategi ini sebagian besar mengabaikan kebutuhan akan pendekatan berbeda terhadap mereka yang paling ragu-ragu: memulai interaksi dua arah.

Riset kami, dengan pendekatan eksperimen acak di Jawa Barat, berfokus pada masyarakat yang betul-betul enggan mendapatkan vaksin. Saat kami mulai riset, 85% penduduk di Jawa Barat sudah mendapat setidaknya vaksin dosis pertama, sehingga partisipan pada penelitian kami betul-betul orang-orang yang ragu terhadap vaksin COVID.

Riset ini menunjukkan bahwa pengiriman duta vaksin lokal ke rumah-rumah penduduk yang anti-vaksin bisa mengurangi level keraguan vaksin.

Duta vaksin ke rumah penduduk

Jawa Barat kami pilih karena secara historis setidaknya menjadi tempat terjadinya beberapa kejadian luar biasa (KLB) seperti wabah difteri pada 2017 dan campak berulang, sehingga menarik untuk ditelaah lebih lanjut pada konteks COVID.

Dalam studi ini, kami melakukan kampanye informasi dari rumah ke rumah kepada 3.254 individu dewasa yang belum divaksinasi. Mereka tersebar di 279 desa di tiga kabupaten (Bogor, Cirebon dan Kuningan).

Kampanye ini untuk mempromosikan vaksin COVID-19 di lingkungan pedesaan Jawa Barat—daerah yang vaksin tersedia secara luas, tapi tingkat vaksinasi belum mencakup semua penduduk.

Di Jawa Barat, sekitar 4 dari 10 orang yang belum menerima vaksin sangat menentang vaksinasi. Ada 8 dari 10 orang tidak mempercayai vaksin atau percaya bahwa sistem kekebalan yang kuat sudah cukup untuk melindungi mereka dari COVID-19.

Pada awal penelitian kami (Februari 2022), lebih dari 360.000 orang di Jawa Barat mengalami “putus vaksin” – individu yang telah menerima dosis pertama tapi belum menggunakan dosis kedua dalam 6 bulan setelah dosis pertama.

Kami merekrut duta vaksin dari komunitas lokal untuk memberikan informasi tentang manfaat vaksin COVID-19 secara keseluruhan.

Kami merekrut tiga jenis duta lokal dari masing-masing desa untuk menyampaikan informasi tentang manfaat vaksinasi melalui kunjungan pribadi ke rumah. Mereka adalah duta dari kader kesehatan (petugas kesehatan masyarakat), pemuka desa (dipilih melalui nominasi oleh responden), dan orang awam.

Duta ini dilatih dan diberi tugas untuk melakukan dialog intensif “one-on-one” dengan partisipan. Duta berkunjung dua kali ke rumah partisipan. Kunjungan pertama sekitar 30 menit untuk berdialog dan kunjungan kedua, seminggu setelah kunjungan pertama, hanya memberikan pamflet informasi vaksinasi dan menanyakan komitmen responden ikut vaksinasi.

Kami menggunakan pendekatan komunikasi interpersonal melalui pertemuan tatap muka. Pendekatan ini lebih cocok daripada intervensi informasi media sosial karena beberapa alasan. Pertama, interaksi langsung lebih efektif daripada komunikasi satu arah karena memungkinkan duta vaksin untuk mengklarifikasi fakta penting tentang vaksin. Kedua, kunjungan rumah dapat menjangkau individu lansia, kelompok rentan yang relatif lebih sulit dijangkau oleh media sosial.

Kami memprediksi individu yang lebih terkemuka atau berpengetahuan seperti pemuka desa setempat atau kader kesehatan akan lebih efektif meyakinkan responden untuk divaksinasi dibandingkan dengan orang awam.

Tidak ada perbedaan signifikan antarkelompok duta

Ada tiga temuan utama dalam studi kami.

Pertama, kunjungan rumah oleh duta vaksin mengoreksi beberapa kesalahpahaman tentang vaksin COVID-19.

Kami mengamati proporsi individu yang melaporkan kekhawatiran akan efek samping (sebagai alasan untuk tidak melakukan vaksinasi) menurun tajam dari 28% menjadi 15%.

Kedua, responden menganggap duta yang dinominasikan–setengahnya adalah aparat desa–lebih baik dalam menyampaikan informasi tentang vaksin dibandingkan dua jenis duta vaksin lainnya.

Ketiga, kami mendapati tingkat registrasi dan vaksinasi di kalangan responden meningkat (registrasi 7,8% dan vaksinasi 3,6%%) dari survei baseline.

Namun, kami tidak menemukan perbedaan signifikan dalam tingkat registrasi dan vaksinasi antarkelompok duta vaksin.

Hal ini mungkin terjadi karena tidak ada dampak yang berbeda dari intervensi terhadap pengetahuan dan keyakinan tentang COVID-19 di seluruh kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa meski duta vaksin yang dinominasikan dianggap lebih efektif, informasi yang mereka sampaikan tidak ditindaklanjuti oleh responden.

Implikasi bagi kebijakan

Meski hasil utama studi ini tidak memperlihatkan dampak pada tingkat vaksinasi, kami menemukan bahwa perempuan dan responden dengan status sosial ekonomi rendah lebih responsif terhadap duta vaksin dari kader kesehatan dibandingkan dengan duta vaksin dari kelompok orang awam.

Ada beberapa kemungkinan penjelasan mengapa intervensi kami tidak meningkatkan penggunaan vaksin COVID-19 di antara sasaran populasi dan mengapa jenis duta vaksin tidak berdampak.

Pertama, populasi target penelitian kami cenderung sangat ragu—responden belum divaksinasi bahkan satu tahun setelah vaksin COVID-19 pertama kali tersedia pada Januari 2021.

Hal ini didukung oleh temuan sebagian besar responden (60%) menolak gagasan penawaran insentif uang tunai untuk vaksinasi dari pemerintah. Selain itu, kami menemukan indikasi bahwa responden menjadi kurang peduli terhadap pandemi.

Alternatif kebijakan yang lebih “memaksa” seperti mewajibkan vaksin sebagai syarat sekolah, pekerjaan, perjalanan, ataupun administrasi mungkin perlu dipertimbangkan oleh pemerintah.

Kedua, edukasi mengenai manfaat dan risiko vaksin tetap perlu dilakukan pada individu yang ragu terhadap vaksin, mengingat mereka yang anti-vaksin umumnya berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Edukasi mungkin perlu dilakukan dalam jangka waktu yang lebih panjang dengan intensitas yang lebih tinggi.

Ketiga, respons pemerintah dengan melibatkan polisi, TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengadakan vaksinasi massal mungkin dapat menjadi opsi terakhir.

Sebab, kebijakan ini dikhawatirkan dapat meningkatkan keraguan terhadap otoritas medis.

Temuan kami menunjukkan bahwa kampanye informasi dalam bentuk virtual atau tatap muka saja dalam jangka pendek mungkin tidak efektif dalam mempromosikan vaksinasi di kalangan individu yang sangat ragu, terutama ketika penyebaran infeksi menurun dan cakupan imunisasi telah tinggi.

Pengambil kebijakan dapat mempertimbangkan studi ini dan menerapkannya pada konteks program vaksinasi lain di luar COVID-19.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now