Menu Close

Riset: hubungan antara kurikulum universitas dan motivasi mengikuti gerakan mahasiswa di Yogyakarta

Ribuan mahasiswa terlibat dalam aksi Gejayan Memanggil tahun 2019 di Yogyakarta. Rongaphotography/shutterstock.

Mahasiswa mempunyai peran penting dalam politik Indonesia sepanjang sejarah. Namun, penelitian mengenai apa yang memotivasi mahasiswa untuk ikut dalam sebuah gerakan, serta bagaimana kurikulum universitas berkontribusi (atau tidak berkontribusi) terhadap gerakan mahasiswa, masih terbatas.

Riset terbaru saya, yang menggali motivasi mahasiswa dalam mengikuti aksi ‘Gejayan Memanggil’ 2019 lalu, menunjukkan bahwa kurikulum di kampus tidak terlalu berpengaruh dalam memotivasi mahasiswa untuk ikut gerakan yang bertujuan membela hak mereka sendiri atau merespon situasi politik.

Gejayan Memanggil merupakan aksi mahasiswa terbesar di Yogyakarta setelah reformasi 1998.

Lebih dari 5.000 mahasiswa dan aliansinya bergabung di aksi tersebut untuk menuntut beragam produk legislasi yang bermasalah karena anggota DPR RI yang akan mengakhiri masa jabatannya sedang “kejar setoran”.

Dalam riset ini, saya melakukan survei kepada 169 mahasiswa peserta aksi, wawancara dengan pengurus fakultas dan koordinator program sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM), 3 kali online Focus Group Discussion (FGD) dengan 5-7 peserta di setiap sesi, serta studi dokumen terhadap kurikulum di departemen yang terkait dengan isu politik dan gerakan sosial (Departemen Ilmu Politik/Ilmu Pemerintahan/Ilmu Politik dan Pemerintahan) di tujuh universitas di seluruh Indonesia.

Riset saya ini justru menunjukkan bahwa persepsi mahasiswa sebagai “agen perubahan” merupakan faktor terpenting dalam keputusan mahasiswa untuk ikut aksi protes, bukan kurikulum universitas.

Persepsi ‘agen perubahan’ sebagai motivasi utama

Hasil survei menunjukkan bahwa dorongan utama keterlibatan mahasiswa dalam aksi jalanan karena mereka yakin bahwa mereka adalah agen perubahan dan bagian dari kekuatan moral, bukan gerakan politik yang dirancang secara sistematis.

Hal ini setidaknya dapat dilihat dari jawaban sebagian besar mahasiswa peserta aksi sebagai berikut:

Survei tunjukkan idealisme mahasiswa adalah alasan utama mengikuti aksi.

Jawaban atas pertanyaan yang lebih spesifik terkait persepsi “mahasiswa adalah agen perubahan” dapat dilihat dalam diagram berikut:

Lebih dari 80% mahasiswa percaya mereka adalah agen perubahan.

Persepsi ini ternyata ditentukan juga oleh angkatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa mahasiswa baru atau angkatan muda, semakin meyakini kebenaran persepsi ini.

Mereka berada pada tahun pertama atau kedua masa perkuliahan sehingga baru mengorientasikan diri pada kehidupan baru dan bersemangat dengan hal-hal baru dalam kehidupan perkuliahan, termasuk bergabung dalam aksi protes yang diorganisir oleh kakak tingkatnya.

Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum belum berdampak pada pandangan dan sikap politik mereka.

Sampai sejauh mana dampak kurikulum?

Pendapat yang mengatakan bahwa kurikulum di universitas memotivasi partisipasi dalam gerakan mahasiswa umumnya berangkat dari pandangan bahwa kurikulum memiliki peran tambahan selain untuk belajar.

Peneliti di bidang pendidikan seperti Michael W. Apple dari University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat (AS), misalnya, berargumen bahwa peran kurikulum di universitas tidak sebatas pada aktivitas pembelajaran, melainkan memiliki tujuan ideologis dan politik dalam membentuk karakter manusia.

Reformasi di bidang pendidikan terkait kurikulum juga memiliki nilai ideal yakni mendorong pada peserta didik dalam membentuk kewargaan dan meresapi nilai demokrasi dan multikulturalisme.

Penelitian Dennis Fung dan Angie Su, peneliti dari Hong Kong, menemukan bahwa pengenalan kurikulum baru bernama liberal studies pada tahun 2009 melatarbelakangi aksi turun ke jalan Umbrella Protest yang dilakukan mahasiswa di sana pada tahun 2014.

Kurikulum baru tersebut menekankan beberapa kata kunci seperti “keadilan sosial”, dan “kredibilitas pemerintah” yang juga merupakan juga -kata kunci yang muncul selama aksi turun ke jalan. Di sini kita melihat bagaimana kurikulum menjadi kunci gerakan mahasiswa dan di siswa di Hong Kong.

Sementara di Indonesia, hasil studi dokumen terhadap kurikulum di departemen yang terkait dengan isu politik dan gerakan sosial di 7 universitas, yaitu Universitas Hasanuddin di Sulawesi Selatan, Universitas Andalas di Sumatra Barat, Universitas Nusa Cendana di Nusa Tenggara Timur, Universitas Indonesia di Jakarta; Universitas Jenderal Sudirman di Jawa Tengah, Universitas Brawijaya di Jawa Timur; dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, menunjukkan bahwa memang terdapat beberapa mata kuliah yang mengasah sensitivitas mahasiswa pada isu-isu sosial dan politik.

Universitas Gadjah Mada memiliki mata kuliah ‘Pengantar Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kewarganegaraan’ yang merupakan mata kuliah wajib di semester 1. ‘Gender dan Politik’ merupakan mata kuliah pilihan di Universitas Andalas dan Universitas Brawijaya. Sementara Departemen Politik dan Pemerintahan di Universitas Nusa Cendana menawarkan kelas bertajuk ‘Demokrasi dan Hak Asasi Manusia’, ‘Gerakan Sosial dan Politik Identitas’, dan ‘Politik Agraria’.

Namun, karena sebagian besar mata kuliah yang ditawarkan lebih berorientasi pada pengetahuan, maka mata kuliah hanya memberikan sedikit kontribusi terhadap kepekaan mahasiswa. Contohnya, karena mahasiswa hanya tahu sedikit tentang menjadi warga negara yang baik, mereka tidak pernah benar-benar terlibat dalam kegiatan sosial di luar kelas.

Aspek lain yang tak kalah penting sebenarnya adalah metode pembelajaran. Kalau ia bersifat normatif maka sulit bagi mahasiswa untuk menginternalisasi nilai secara utuh. Buktinya, dari hasil FGD, mahasiswa menyampaikan bahwa meskipun mata kuliah ‘Pancasila’ bersifat wajib, perkuliahan sangat normatif dan tidak banyak membantu secara praktis bagaimana caranya menjadi active citizens.

Beberapa dosen mendorong mahasiswa terlibat kegiatan aksi sebagai bagian dari pembelajaran. Di Fisipol UGM, contohnya, Departemen Ilmu Politik dan Departemen Hubungan Internasional menawarkan mata kuliah ‘Kajian Konflik dan Perdamaian’ yang mendorong mahasiswa mengikuti aksi demonstrasi untuk mempelajari praktik-praktik perdamaian yang digunakan oleh pegiat aksi.

Kita dapat melihat di sini bahwa, meskipun siswa belajar tentang gerakan sosial, mata kuliah tidak secara otomatis membantu mereka mempelajari cara mengatur atau melakukan aksi. Materi kuliah tidak memfasilitasi siswa memposisikan dirinya sebagai warga negara yang mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya melalui gerakan kolektif. Pengetahuan mereka masih sebatas pengetahuan saja dan tidak ditransformasikan menjadi nilai-nilai yang terinternalisasi.

Jadi, meskipun beberapa mata kuliah di universitas berpotensi untuk menumbuhkan semangat aktivisme, hubungan antara aktivitas politik mahasiswa dengan kurikulum studi tetap terbatas. Hasil penelitian saya ini memperlihatkan bahwa persepsi mahasiswa sebagai agen perubahan masih menjadi motivasi utama di balik keputusan mahasiswa untuk mengikuti aksi, khususnya mereka yang belum banyak keterlibatannya dalam gerakan mahasiswa.

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh salah satu peserta FGD yang menyebutkan bahwa baginya, ikut aksi turun ke jalan adalah bagian dari tugasnya sebagai mahasiswa:

Saya masih ingat ketika kami berbaris dan berjalan, kami melewati sebuah proyek bangunan. Para pekerja berteriak memberi semangat pada kami. Saya merasa terharu, dan merasa ikut aksi ini merupakan sesuatu yang memang harus saya lakukan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now