Menu Close
(Sumber:Shutterstock)

Riset: mayoritas sertifikat energi terbarukan tak efektif mengurangi emisi, cuma pencitraan korporasi

Korporasi besar berlomba-lomba mematok target pengurangan emisi gas rumah kaca dari konsumsi listrik. Mereka berharap rencana perusahaan dapat sejalan dengan Perjanjian Iklim Paris dan standar pengurangan emisi versi Science-Based Targets Initiative, koalisi global untuk pengurangan emisi perusahaan.

Salah satu pendekatan yang ditempuh adalah melalui sertifikat energi terbarukan yang berasal dari penggunaan tenaga solar, angin, ataupun energi lainnya ke jaringan-jaringan listrik.

Namun, studi terbaru kami justru menunjukkan perusahaan hanya mengandalkan sertifikat tersebut dalam laporan pengurangan emisinya. Padahal, sertifikat ini tak benar-benar mengurangi emisi yang dilepaskan dari konsumsi listrik perusahaan.

Apa itu sertifikat energi terbarukan?

Listrik yang diproduksi di mayoritas tempat merupakan kombinasi berbagai sumber energi: terbarukan maupun tidak terbarukan. Setrum yang dihasilkan kemudian mengalir ke jaringan yang saling terhubung untuk disalurkan ke para konsumen, termasuk perusahaan-perusahaan.

Namun, tak ada cara yang pas untuk memisahkan sumber listrik yang digunakan (dari energi terbarukan atau energi fossil) saat memasuki jaringan listrik. Karena itu, perusahaan membeli sertifikat energi terbarukan. Produk ini diterbitkan oleh produsen listrik setiap kali mereka menambah listrik berbasis energi terbarukan (dihitung dengan satuan megawatt jam atau MWh) ke dalam jaringannya.

Sertifikat ini seakan menjadi bukti valid perusahaan untuk mengklaim bahwa aktivitas mereka bersumber dari (atau tengah berupaya menggenjot) energi terbarukan. Dokumen tersebut juga digunakan untuk mengurangi jumlah emisi yang dilaporkan dalam aktivitas perusahaan. Oleh karena itu, produk ini menjadi andalan perusahaan untuk pencitraan ‘ramah lingkungan.’

Di Indonesia, per akhir 2021, ada 28 perusahaan yang telah membeli sertifikat energi terbarukan. Sertifikat ini diterbitkan oleh PT PLN, berbasis setrum dari pembangkit listrik energi terbarukan setempat.

Masalah yang timbul

Ada asumsi bahwa pembelian sertifikat oleh perusahaan memicu produksi energi terbarukan, sehingga dapat mengurangi emisi dari pembangkitan listrik. Asumsi ini menjadi dasar perhitungan yang jamak dipakai di perusahaan-perusahaan: pembelian satu sertifikat energi terbarukan sama dengan penggunaan 1 MWh listrik bebas emisi.

Sebuah fotoilustrasi dari pusat energi terbarukan yang dikonseptualisasikan dengan turbin angin dan panel surya di dekat pelabuhan.
Sertifikat energi terbarukan dikeluarkan oleh pembangkit listrik setiap kali mereka menambahkan satu megawatt-jam listrik terbarukan ke jaringan. (Shutterstock)

Sayangnya, asumsi ini mudah terbantahkan karena bukti yang mendukung manfaat sertifikat energi terbarukan sangat minim. Sebaliknya, sejumlah riset justru menyatakan harga sertifikat tersebut terlalu murah dan belum tentu berhasil mendongkrak investasi sektor energi bersih.

Keraguan tersebut memang menjadi masalah utama dalam perkara perdagangan sertifikat ‘hijau’ di dunia. Misalnya, perusahaan-perusahaan di Eropa yang menggunakan listrik dari sumber ‘kotor’ bisa saja membeli sertifikat energi terbarukan dari pembangkit listrik tenaga air di Norwegia yang sudah berumur puluhan tahun dengan harga yang murah.

Jadi, apa artinya sertifikat tersebut untuk upaya pengurangan emisi yang digaungkan korporasi? Sertifikat tersebut jelas tidak menambah jumlah pasokan energi bersih.

Klaim yang berlebihan

Kami menganalisis laporan emisi 115 perusahaan yang memiliki target pengurangan emisi. Sepanjang 2015-2019, mereka melaporkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 31% dari energi yang sudah dibeli. Secara kolektif, pengurangan tersebut sejalan dengan standar pengurangan emisi korporasi versi Science-Based Targets Initiative sebesar 4,2 persen per tahun.

Grafik yang menunjukkan pengurangan emisi yang diklaim dan nyata dari perusahaan yang membeli sertifikat energi terbarukan.
Pengaruh sertifikat energi terbarukan pada pengurangan emisi listrik yang dilaporkan perusahaan. (Penulis), Author provided

Namun, 89% dari ratusan perusahaan ini melaporkan pengurangan emisi berasal dari pembelian sertifikat energi terbarukan. Ini bisa diartikan bahwa mayoritas korporasi tidak menambah konsumsi energi terbarukan ataupun melakukan aktivitas pengurangan emisi lainnya.

Di sisi lain, porsi upaya pengurangan emisi yang benar-benar dilakukan perusahaan hanya sekitar 10% dari total klaim mereka. Porsi ini jauh dari ampuh untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 2°C. Ketimpangan tersebut punya dampak besar karena karena setiap kenaikan suhu akan menimbulkan kerusakan serta kerugian berlipat-lipat bagi penghuni bumi.

Adapun porsi 10% upaya pengurangan emisi tersebut dicapai melalui dekarbonisasi jaringan listrik. Sayangnya, upaya ini tak sepadan karena pada saat yang sama, konsumsi listrik perusahaan-perusahaan juga naik signifikan.

Adakah sertifikat yang bermanfaat?

Sejumlah sertifikat energi terbarukan sebenarnya memiliki potensi untuk meningkatkan kapasitas energi bersih.

Misalnya, studi kami menyoroti sertifikat yang terhubung dengan perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement) dapat merangsang produksi listrik energi bersih.

Bagi perusahaan, sertifikat model ini memberikan kepastian dan mengikat mereka untuk membeli pasokan setrum dari pembangkit listrik energi terbarukan selama minimum 10 tahun ke depan.

Sedangkan bagi produsen listrik, perjanjian tersebut menjamin keuntungan jangka panjang yang bisa dimanfaatkan untuk menambah kapasitas pembangkitan atau investasi listrik energi bersih berikutnya.

Porsi sertifikat ini –- dibandingkan sertifikat yang diragukan keasliannya -– memang masih kecil. Namun, jumlah transaksinya terus bertambah. Sejumlah korporasi bahkan memprioritaskan sertifikat dari produsen lokal dibandingkan sertifikat dari pengobral sertifikat murah berskala besar, seperti Norwegia.

Empat langkah perbaikan

Kami mencatat setidaknya ada empat hal yang perlu diubah oleh perusahaan agar laporan pengurangan emisinya bisa dipercaya.

  1. Media harus betul-betul mengkritisi klaim perusahaan seputar sertifikat energi terbarukan. Seperti kritik terhadap konsep transaksi karbon, media harus menekan korporasi besar untuk membuktikan bahwa pembelian sertifikat mereka efektif mengurangi emisi.

  2. Investor harus menanamkan modal ke perusahaan yang betul-betul berkontribusi terhadap dekarbonisasi sistem kelistrikan.

  3. Standar perhitungan pengurangan emisi harus diubah. Upaya ini bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan hanya bisa mengklaim telah mengurangi emisi jika sudah membeli sertifikat yang benar-benar berhasil mengurangi emisi.

  4. Pembuat kebijakan dapat melarang penggunaan sertifikat energi terbarukan yang tidak efektif mengurangi emisi dari korporasi.

Riset kami menambah bukti bahwa upaya pengurangan emisi secara sukarela dari perusahaan tak berdampak signifikan. Karena itu, demi mencapai tujuan Perjanjian Paris, perubahan kebijakan besar-besaran untuk mengurangi emisi harus dilakukan di seluruh dunia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now