Menu Close

Riset: permintaan maaf Belanda kepada Indonesia dan pengakuan tindakan kekerasan pada 1945-1949 bukan hal baru

kolonialsim.

Pemerintah Belanda secara resmi meminta maaf kepada Indonesia minggu lalu atas keterlibatannya dalam “kekerasan sistematis dan ekstrem” selama perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda antara 1945 dan 1949.

Permintaan maaf tersebut mengubah posisi resmi pemerintah Belanda sejak penyelidikan terakhir yang menggunakan anggaran negara mereka pada 1969. Penyelidikan itu menyatakan bahwa “sikap berlebihan” militer Belanda selama Revolusi Nasional Indonesia bersifat tidak teratur dan luar biasa.

Permintaan maaf Belanda tersebut berdasar temuan sejarawan Belanda dan Indonesia. Proyek mereka didanai oleh pemerintah Belanda melalui tiga lembaga penelitian Belanda.

Tim penelitian Indonesia dan Belanda tersebut menyimpulkan bahwa para pemimpin Belanda pada akhir 1940-an telah melakukan kekerasan ekstrem dan mendorong impunitas untuk para pelaku militer. Sebagian besar dari pelakunya tidak pernah dihukum. Para peneliti juga berhati-hati untuk tidak menyalahkan tentara individu dalam temuannya.

Namun catatan tentara Belanda sendiri – terutama foto-foto amatir, ribuan di antaranya berisi bukti kekejaman selama bertahun-tahun. Para tentara tersebut juga merekam jenis kekerasan lain yang belum mendapat perhatian yang layak.

Penelitian saya telah menunjukkan bahwa foto-foto pribadi tersebut tidak seperti buku harian yang dirahasiakan. Tentara menduplikasi dan membagikannya, kadang-kadang otoritas militer juga menggunakannya.

Foto adalah bagian penting dari cerita

Foto terkadang merupakan satu-satunya catatan yang ditinggalkan oleh prajurit Belanda. Mereka juga menyimpan kenangan pengalaman masa perang yang dihilangkan di laporan-laporan resmi.

Foto-foto tersebut memberikan bukti kekejaman yang “tidak direkam”, seperti ringkasan pembantaian tentara dan warga sipil Indonesia.

Foto-foto tersebut juga menunjukkan bagaimana sikap Belanda dalam mengizinkan segala bentuk kekerasan yang dilakukan tentaranya, termasuk hukuman pembakaran desa dan tembakan senjata berat ke orang sipil.

Foto-foto tersebut juga secara rutin menunjukkan patroli saat orang Indonesia ditahan, diintimidasi, dan disiksa secara sewenang-wenang.

‘Aksi bersih-bersih’ dekat Piyungan, Yogyakarta pada 26 April 1949. Image Bank WWII, NIOD, Amsterdam

Foto-foto ini adalah bagian dari kenangan perang yang mungkin disembunyikan dari wartawan surat kabar, birokrat Belanda atau bahkan anak-anak tentara veteran, tapi mereka beredar di antara kelompok-kelompok tertentu.

Tindakan untuk “menyembunyikan dan melupakan” aksi kekerasan ini telah menjadi bagian dari fenomena sosial dan politik yang lebih luas, yang kemungkinan terjadi karena kurangnya kemauan politik untuk meluruskan fakta di balik penjajahan kolonialisme Belanda di Indonesia.

Versi lain sejarah

Sampai pada akhir 1990-an, buku-buku veteran Belanda masih menggunakan foto-foto tentara dari tahun 1940-an untuk mendukung [mitos tentang tindakan militer Belanda sebagai upaya menjaga perdamaian dan bukannya pasukan siap perang][https://uwap.uwa.edu.au/products/visualising-human-rights]

Para pemimpin militer seperti Jenderal Simon Spoor, kepala staf tentara nasional dan kolonial Belanda yang berperang di Indonesia, adalah otak di balik pencitraan itu. Kesan tersebut juga merupakan persepsi diri dari puluhan ribu sukarelawan dan wajib militer Belanda yang dikerahkan bersamaan pasukan nasional dari tahun 1946.

Foto-foto mereka menggambarkan kemarahan dan kekecewaan terhadap warga sipil Indonesia yang menderita kekurangan gizi dan penyakit. Mereka menghubungkan ini sebagai akibat dari aksi “teroris” militan yang dilakukan pejuang Indonesia dan bukan sebagai efek dari pendudukan Jepang baru-baru ini (1942-1945) atau akibat dari blokade Belanda yang menghentikan pasokan dari mencapai daerah-daerah yang dikuasai pihak Republik.

Gambar menunjukkan ‘contoh kesejahteraan yang ditinggalkan oleh TRI di Masing, Jawa Barat’. Image Bank WWII, NIOD, Amsterdam

Kamera juga menangkap realitas kekerasan yang dilakukan Indonesia

Kamera tentara juga merekam kekejaman yang dilakukan oleh orang Indonesia.

Ini tetap menjadi topik yang kompleks dan sensitif, seperti yang ditunjukkan oleh kontroversi penggunaan istilah “bersiap” baru-baru ini untuk mengenang korban kekerasan Indo-Eropa dalam pameran Rijksmuseum, Revolusi!, di Belanda.

Di Indonesia, karya seni dan komunitas baru-baru yang diciptakan untuk mengakui tindakan kekerasan terhadap etnis Cina selama Perang Revolusi mengingatkan kita kembali akan sejarah panjang kekerasan etnis dalam revolusi itu. Kadang-kadang ini berkaitan dengan visi yang saling bertentangan tentang siapa yang dimaksud bangsa Indonesia dan siapa yang dimasukkan dalam perjuangan melawan kolonialisme.

Penelitian saya menyarankan bahwa foto-foto dari tentara belanda itu menimbulkan pertanyaan bagaimana warga sipil Indonesia bisa bertahan selama konflik yang terjadi setelah era penjajahan Jepang.

Perempuan Indonesia, misalnya, terkadang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan juga memberikan layanan seks bagi tentara Belanda. Foto-foto tentara biasanya meromantisasi transaksi tersebut, yang bagi para wanita, adalah cara mereka untuk mencari nafkah.

Catatan tentara menunjukkan situasi yang bahaya bagi para wanita ini. Mereka bisa menjadi sasaran hinaan dan juga dicurigai dalam lingkungan militer yang pelaku pemerkosaan dan kekerasan seksual sering tidak dihukum.

Tentara Belanda dengan cucian ‘babus’. Image Bank WWII, NIOD, Amsterdam

Oleh karena itu, foto-foto tentara Belanda memberikan gambaran tentang orang-orang Indonesia yang terabaikan dalam perdebatan tentang siapa yang harus dikenang sebagai pahlawan, korban, atau pelaku dalam memperingati era perang, baik di Belanda maupun di Indonesia.

Arina Apsarini Putri Asrofi dari Binus University menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now