Menu Close

Riset: Pilkada langsung di Papua selalu rawan konflik, pemerintah perlu lakukan transformasi

Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Papua 2018. Spedy Paereng/Antara Foto

Secara teoritik, pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung menjadi upaya pendalaman demokrasi di tataran lokal. Pada saat yang sama, perhelatan ini menjadi bagian dari pendewasaan politik tentang kalah dan menang.

Namun dalam konteks Papua, pilkada langsung tak jarang menjadi sumber konflik baru yang menelan banyak korban jiwa, rusaknya fasilitas publik, serta berhentinya roda pemerintahan. Tingginya intensitas konflik juga menempatkan dua provinsi di Papua dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tertinggi di Indonesia pada pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2017 dan 2018.

Kami para peneliti dari Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada melakukan studi untuk melihat peta dan sumber konflik pilkada langsung di Papua tahun 2005 hingga 2020. Hasil studi menunjukkan pilkada langsung di Papua tidak pernah sepi dari konflik, mulai dari prapelaksanaan hingga pascapilkada. Aktor yang terlibat juga beragam, mulai dari elit partai politik, pasangan calon, tokoh masyarakat, dan penyelenggara Pilkada.

Deretan konflik di tiap tahapan Pilkada Papua

Intensitas konflik yang tinggi menempatkan Papua masuk zona merah pelaksanaan pilkada langsung. Konflik bahkan terjadi hampir di setiap tahapannya.

Pertama, konflik di tahap pendaftaran calon.

Gambaran konflik tahap pendaftaran dapat dilihat pada Pilkada Kabupaten Puncak tahun 2011. Konflik bermula ketika Partai Gerindra memberikan rekomendasi ganda terhadap dua pasangan calon (paslon) – Elvis Tabuni-Hery Dosinaen dan Simon Alom-Yosia Tenbak.

Konflik antar pendukung kedua paslon itu bergeser menjadi perang saudara yang mengakibatkan 53 orang meninggal, ratusan luka-luka, dan puluhan rumah serta perkantoran hangus terbakar. Roda pemerintahan juga lumpuh karena konflik berkepanjangan.

Konflik serupa turut terjadi pada Pilkada Kota Jayapura tahun 2010, Kabupaten Mappi pada 2016, dan Kabupaten Mimika pada 2018.

Kedua, konflik selama masa kampanye.

Pada tahap ini, konflik sering kali terjadi ketika antarmassa pendukung paslon bertemu saat kampanye terbuka.

Contohnya, dua massa pendukung paslon Pilkada Kabupaten Tolikara pada 2012 berpapasan dan mengakibatkan aksi saling ejek hingga berujung lempar batu dan saling panah. Kejadian ini mengakibatkan dua orang meninggal dunia, 28 terluka, serta beberapa rumah dan perkantoran habis terbakar.

Ketiga, konflik saat distribusi logistik.

Persoalan distribusi logistik seringkali terkendala tingginya tingkat kesulitan geografis. Pesawat Trigana Air yang mengangkut logistik pemilihan Gubernur Papua 2018, contohnya, ditembak oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) saat hendak mendarat di Bandara Kenyam, Nduga. Atas kejadian tersebut, pilot mengalami luka tembak.

Keempat, konflik selama masa tenang.

Gambaran konflik pada masa tenang misalnya terlihat pada Pilkada Kabupaten Puncak Jaya tahun 2017. Kejadian tersebut mengakibatkan dua orang meninggal dunia akibat luka tembak dan bacok di Kampung Papagaru, Distrik Irimuli, Puncak Jaya.

Kelima, konflik saat pemungutan suara.

Contohnya adalah aksi saling tembak antara aparat keamanan dengan KKB ketika proses pemungutan suara Pilkada Kabupaten Puncak Jaya (2012). KKB dinilai ingin mengganggu jalannya proses pemungutan suara.

Di kabupaten yang sama, konflik juga terjadi pada pemungutan suara ulang (PSU) di enam distrik pada Pilkada Puncak Jaya 2017. Kejadian tersebut mengakibatkan satu warga meninggal dan tiga aparat keamanan terluka. Konflik serupa juga terjadi pada Pilkada Kabupaten Tolikara 2012 dan Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Papua 2018.

Keenam, konflik saat proses penghitungan suara.

Contoh konflik pada tahap ini yaitu pada Pilkada Kabupaten Intan Jaya 2017. Massa pendukung terlibat bentrok pada proses penghitungan suara. Calon petahana yang tidak puas dengan hasil penghitungan bahkan mengeluarkan senjata api dan menembakkannya ke udara.

Kejadian ini mengakibatkan massa semakin memanas berkepanjangan, dan berujung menjadi perang saudara. Kejadian tersebut juga menyebabkan perekonomian lumpuh, intensitas kekerasan meningkat, aktivitas pendidikan terhenti, dan sebagian besar masyarakat serta aparatur sipil negara (ASN) harus mengungsi ke kabupaten lain.

Ketujuh, konflik pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Papua menjadi penyumbang sengketa Pilkada terbanyak ke MK pada tahun 2017. Putusan MK yang seharusnya menjadi resolusi konflik justru menjadi sumber konflik baru. Massa yang tidak puas atas putusan MK kerap melakukan aksi kekerasan, membakar rumah warga, perkantoran, dan fasilitas umum.

Konflik pascaputusan MK ini misalnya yang terjadi pada Pilkada Kabupaten Yahukimo 2011, Kabupaten Dogiyai 2012, Kabupaten Sorong Selatan 2015, dan Kabupaten Yalimo 2020.

Akar Permasalahan

Deretan konflik yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa konflik pilkada langsung di Papua sangat kompleks, bahkan menjadi proses politik yang sangat mahal. Pasalnya, perhelatan ini menelan banyak korban jiwa serta harus dibayar dengan hancurnya kohesivitas sosial.

Terdapat setidaknya empat akar permasalahan yang memicu terjadinya konflik akibat pilkada langsung di Papua.

Pertama, sikap tidak siap kalah.

Sikap tersebut setidaknya tercermin dari banyaknya daerah yang mengajukan permohonan sengketa ke MK – meskipun mayoritas gugatan tersebut harus batal demi hukum karena tidak memenuhi persyaratan.

Sikap tidak siap kalah tidak lepas dari kuatnya ikatan kekerabatan yang menjunjung tinggi harga diri kelompok. Pilkada di Papua kerap menjadi arena peperangan baru yang menyangkut harga diri kelompok. Setiap anggota kelompok akan berjuang keras dan mengorbankan berbagai hal demi memperoleh kemenangan. Jika tidak dikelola dengan baik dan diberikan pendidikan politik, jalur Papuanisasi berdasarkan kesetiaan suku dapat terus memicu konflik horizontal.

Di sisi lain, berbagai studi juga menunjukkan bahwa fenomena etnosentrisme di Papua terus meningkat dengan adanya Pilkada langsung.

Kedua, masih bermasalahnya penerapan prosedur regulasi normal.

Penggunaan sistem noken di beberapa daerah masih memiliki banyak celah interpretasi. Sistem noken seringkali masih dimaknai secara teknis sebagai pengganti surat suara ketimbang sebagai konsensus bersama dalam membuat keputusan. Di sisi lain, sistem noken juga sering digunakan sebagai klaim kemenangan, tapi tidak didukung bukti yang kuat.

Ketiga, penyelenggara Pilkada yang belum profesional dan independen.

KPU dan Bawaslu di tingkat daerah tercatat melakukan banyak pelanggaran hukum maupun kode etik untuk memenangkan kandidat tertentu yang memiliki kedekatan kekerabatan dengan mereka. Akibatnya, tidak jarang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus memberikan peringatan keras, bahkan memberhentikan, anggota penyelenggara yang terbukti bersalah.

Keempat, kendala administratif.

Tingginya tingkat kesulitan geografis dan rendahnya tingkat konektivitas antar wilayah menyebabkan banyaknya sistem kependudukan dan daftar pemilih tetap bermasalah dan tidak sesuai fakta di lapangan. Rendahnya kualitas data tersebut tak jarang menjadi awal permasalahan pelaksanaan Pilkada langsung di Papua.

Urgensi transformasi konflik untuk menekan konflik

Kompleksitas konflik di Papua menunjukkan adanya permasalahan serius pada proses pendalaman demokrasi. Pilkada langsung yang seharusnya menjadi pondasi utama pendalaman demokrasi tanpa kekerasan dan pertumpahan darah ternyata gagal terlaksana di tanah Papua.

Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan transformasi konflik terhadap pilkada langsung di Papua sebagai katalis perubahan sosial untuk membantu mengatasi, mengubah, dan mentransformasikan hubungan antara mereka yang saling berkonflik menjadi lebih harmonis, sehingga konflik tidak terulang di masa mendatang.

Studi kami ini mengusulkan transformasi pada tiga level: individu, organisasi, dan sistem. Ketiganya harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan terintegrasi.

Transformasi individu yaitu mematangkan kembali elit politik dan masyarakat dalam berdemokrasi tanpa kekerasan. Transformasi organisasi menitikberatkan pada lahirnya penyelenggara pilkada yang profesional dan independen. Sementara transformasi sistem adalah adanya kejelasan regulasi penyelenggaraan pilkada di Papua – yang saat ini sangat diperlukan.

Transformasi konflik ini menjadi semakin mendesak menyusul diresmikannya empat provinsi baru di tanah Papua yang tentunya akan melaksanakan pilkada langsung pada 2024.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now